Lingkaran yang Terkubur

Di kaki Pegunungan Lumut, ketika langit siang mulai berpendar keemasan, langkah ketiga pemuda itu perlahan melambat.

Sebelumnya mereka berjalan penuh semangat, menyusuri jalur tanah yang membelah hutan rindang nan sejuk. Tapi kini, sesuatu di antara semak dan akar pohon tua menghentikan mereka.

"Lihat itu," bisik Agniran, menunjuk celah batu memanjang yang tersembunyi di balik antara batang pohon trembesi besar.

Sebuah gua kecil. Mulutnya nyaris tak terlihat, tertutup lebat lumut dan sulur rambat yang menggantung bagai tirai tua. Ranting di atasnya bergoyang pelan, menebarkan bayangan rapuh di atas pintu masuknya.

Atap gua itu rendah, tapi cukup untuk dimasuki beberapa orang dengan sedikit membungkuk.

Handoko mengernyit. "Gua di sini? Di peta jalur gak ada tanda-tanda apa pun soal ini."

"Ayo lihat sebentar. Gak ada salahnya," ujar Joko, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu, seperti anak kecil yang baru saja menemukan celah ke dunia rahasia.

Tanpa berkata lebih banyak, mereka masuk satu per satu, membungkuk melewati celah batu yang sempit. Di dalam, udara terasa pengap dan lembap. Dinding-dinding gua berwarna coklat tua, lapuk oleh waktu, dan penuh bekas kelembapan yang menua.

Namun yang membuat mereka tercekat bukanlah suasana gua itu, melainkan tanah di tengah ruangan yang terbuka, retak menganga seperti rahang monster bumi.

Di atas retakan itu, terdapat guratan aneh: pola melingkar yang terputus-putus, seolah ada sesuatu pernah dilukiskan dengan teliti, lalu dirusak oleh waktu atau kekuatan yang tak dikenal.

Garis-garisnya samar, namun simetris. Di tengahnya, bekas gosong kehitaman menjalar seperti jaring api yang pernah membakar dari pusatnya.

"Ini... bukan retakan biasa," gumam Handoko, menunduk, tangannya menyentuh permukaan kasar tanah yang hangus.

Agniran mematung, jantungnya berdetak kencang. "Aku pernah dengar... tentang yang seperti ini."

Joko mencoba mencairkan ketegangan dengan nada bercanda, meski matanya tak bisa menyembunyikan rasa gentar.

"Apa ini... bukan lingkaran yang katanya bawa nasib sial itu?"

Agniran menoleh pada Handoko. "Apa ini yang disebut Lingkarang kegelapan itu?"

Mereka bertiga saling berpandangan.

Sunyi gua itu terasa semakin pekat, seolah dindingnya pun ikut mendengarkan.

"Kalau itu yang kamu maksud... kita gak seharusnya ada di sini," jawab Handoko pelan, berdiri dan menatap lingkaran itu sekali lagi sebelum membalikkan badan.

"Tapi... retakan ini kelihatan sudah lama. Sepi. Tidak ada tanda siapa pun datang ke sini dalam waktu dekat," ujar Agniran pelan, seakan mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Mungkin kita bisa masuk sedikit lagi. Siapa tahu ada sesuatu di dalam," sambung Joko, suaranya tenang namun matanya menyapu tiap sudut gua.

Handoko tak berkata apa-apa, hanya membuka tas pinggangnya dan mengeluarkan sebuah kotak lentera kecil. Dengan satu gerakan cepat, ia menyalakan api kecil yang segera memantul di dinding batu, menyapu cahaya hangat ke seluruh ruangan.

Mereka melangkah lebih kedalam gua, namun tak ada yang muncul. Tak ada terowongan rahasia. Tak ada petunjuk terpendam. Tak ada suara lain selain napas mereka sendiri.

Gua itu buntu.

Mereka menyebar, menyentuh dinding, mengamati langit-langit. Hanya bebatuan lembap dan lumut tua yang menyambut.

"Tidak ada apa-apa!" seru Joko, sedikit keras, lalu menoleh dengan tersenyum pada dua temannya.

Handoko menatapnya. "Kenapa senyumu begitu?"

"Buntu…!" Joko menjawab cepat, melenggang santai melewati mereka dan berjalan menuju cahaya di mulut gua.

Agniran dan Handoko saling pandang sebentar, lalu menyusulnya.

Namun di antara langkah yang menjauh itu, rasa penasaran belum sepenuhnya padam.

Karena apa pun yang tersembunyi di balik retakan tua itu... rasanya belum sepenuhnya diam.