Keberangkatan Pengembaraan

Di bawah langit merah keemasan yang merekah di ufuk timur, tahun baru Ngalam Suro menyambut dunia dengan keheningan sakral. Handoko berdiri tegap di pelataran Padepokan Agungdhijoyo Winoto, siluetnya gagah di antara bayangan bangunan joglo yang megah. Angin subuh berembus lembut, membawa harum dupa yang masih mengepul dari pelataran dan embun segar yang menggantung di ujung dedaunan.

Di tangannya, tombak kesayangannya berkilat lembut, pantulan cahaya fajar menari di sepanjang bilahnya. Ia memolesnya dengan saksama, bukan sekadar membersihkan, tapi seakan mempersiapkan senjata itu untuk menyongsong takdir besar yang sudah lama menanti. Di sorot matanya, terpatri tekad yang tak bisa dipadamkan suatu tekad seorang pemuda yang ingin membuktikan bahwa dirinya layak menjadi kesatria sejati dari tanah Wijonayem.

"Ngalam Suro... bulan para pengembara."

Handoko berbisik pelan, suaranya hanyut bersama angin subuh yang berembus lirih. Matanya berbinar penuh semangat, memantulkan cahaya fajar yang perlahan merayap di cakrawala. Hari ini bukan sekadar hari pertama di tahun baru — ini adalah panggilan jiwa bagi para calon kesatria. Panggilan untuk berlatih, berpetualang, dan membuktikan diri di hadapan dunia.

Namun, tahun ini terasa lebih megah, lebih bergetar di dadanya. Ngalam Suro kali ini membawa nuansa yang berbeda, seakan udara sendiri berbisik tentang takdir besar yang menanti di ujung perjalanan. Sayembara tujuh tahunan akan segera dihelat, ajang sakral yang bukan hanya memilih Pengembara Bulan Sabit baru, tapi juga membuka gerbang menuju legenda.

Pengembara yang terpilih bukan sekadar pemenang. Mereka adalah harapan, sosok yang dipercaya mampu menggoyahkan takdir dan mengubah nasib Chandraklana. Dan Handoko, dengan seluruh gairah dan mimpinya, bertekad menulis namanya dalam epos agung itu.

Dari belakang, suara tawa ceria menyentaknya dari lamunan.

"Handoko! Tombak itu mau dipoles apa mau dinikahi, hah? Udah kilat banget dari tadi!" seru Jaka, sahabatnya yang terkenal jahil.

Tak jauh darinya, Agniran, keponakan mereka yang lebih tua tapi sama bersemangatnya — ikut terkekeh, suaranya renyah menyatu dengan udara pagi.

"Kalau tombak itu makin bersih, jangan-jangan malah jadi rebutan buaya putih di Pegunungan Lumut nanti!" godanya sambil menyeringai.

Handoko mendengus, menoleh sambil menyeringai lebar. "Biar saja. Kalau buaya itu suka sama tombakku, bakal kusuruh dia ngelap tombak ini tiap pagi!"

Tawa mereka pecah, meledak mengusir dinginnya pagi. Suara mereka menggema di pelataran padepokan yang masih basah oleh embun. Di balik canda itu, ada nyala semangat yang tak bisa disembunyikan.

Mereka tahu, Pegunungan Lumut menanti. Penuh misteri, bahaya, dan mungkin... kehormatan yang hanya bisa diraih oleh mereka yang berani melangkah.

Tanpa banyak bicara lagi, Handoko segera melengkapi perlengkapannya. Ia tak membawa banyak, hanya tombak yang sudah berkilat, tas pinggang berisi sedikit perbekalan, dan lentera kecil yang tergantung di sisinya.

Angin pagi kembali berhembus pelan, membuat ujung rambutnya berkibar lembut. Ia menarik napas panjang, membiarkan udara segar memenuhi dadanya. Handoko bukan tipe yang suka ribet. Ia percaya lebih pada kelincahannya daripada beratnya persenjataan.

Bagi Handoko, tombak di tangannya bukan sekadar senjata. Itu adalah perpanjangan dari dirinya sendiri, lincah, cepat, dan mematikan. Ia lebih suka bergerak gesit seperti angin, daripada terbebani oleh perlengkapan yang terlalu banyak.

Di matanya, petualangan ini bukan cuma latihan. Ini adalah panggilan jiwa. Dan ia siap menjawabnya.

Mereka bertiga berlari keluar dari padepokan yang megah, arsitekturnya bergaya joglo kokoh dengan ukiran rumit menghiasi setiap tiang dan balok. Cahaya mentari pagi merayap pelan di antara celah-celah daun, menyinari gerbang besar dari kayu jati hitam yang menjulang.

Di atas gerbang itu, terpahat gagah nama padepokan mereka: Agungdhijoyo Winoto — ukirannya dalam dan rapi, seakan melawan waktu. Huruf-hurufnya berlapis emas, memantulkan sinar matahari, seolah menegaskan bahwa tempat ini bukan sekadar tempat belajar, tapi juga tempat membangun kehormatan dan takdir.

Handoko melirik nama itu sesaat saat ia berlari melewatinya. Dalam hatinya, ia berjanji akan membawa nama padepokan ini melambung tinggi. Bukan sekadar sebagai murid, tapi sebagai kesatria sejati.

Melewati pematang sawah yang hijau membentang, kaki mereka tak berhenti. Angin pagi berhembus lembut, membuat padi bergoyang pelan seolah melambaikan salam perpisahan. Embun masih menempel di ujung daun, berkilauan diterpa cahaya mentari yang makin meninggi.

Di kejauhan, Pegunungan Lumut menjulang bagai raksasa tua yang diam menanti. Puncak-puncaknya diselimuti kabut tipis, tampak berputar perlahan seolah berbisik akan rahasia yang hanya bisa diungkap oleh para pengembara sejati.

Bayangan tebing dan pepohonan tua membentuk siluet kelam di bawah sinar mentari pagi. Satu jalur sempit menembus ke arah hutan di kaki pegunungan — jalan yang hanya diambil oleh mereka yang cukup berani mencari kehormatan... atau kematian.

Handoko menatapnya dengan sorot mata membara. Ia tak melihat Pegunungan Lumut sebagai ancaman, melainkan panggilan. Di sanalah ia dan sahabatnya akan membuktikan diri.

Di bulan para pengembara ini, mereka bertiga tahu: perjalanan ini bukan sekadar latihan. Setiap langkah yang mereka pijak di tanah Chandraklana seolah berbisik, membimbing mereka menuju sesuatu yang lebih besar — sesuatu yang tak hanya akan mengubah diri mereka, tapi mungkin juga mengguncang takdir dunia ini.

Angin dari Pegunungan Lumut berhembus pelan, membawa aroma hutan basah dan tanah yang menyimpan rahasia. Seakan alam pun tahu, bahwa tiga pemuda ini bukan sekadar berangkat berlatih. Mereka berjalan menuju panggilan yang lebih dalam dari sekadar kehormatan atau menuju takdir yang belum terungkap.

Langkah kaki mereka berpadu serasi, melintasi sawah, hutan, dan kabut di kaki pegunungan. Matahari menggantung malu-malu di ufuk timur, memandangi mereka bertiga yang melaju tanpa ragu. Dalam diam, ketiganya merasakan hal yang sama: ini bukan lagi sekadar perjalanan. Ini adalah awal dari legenda yang belum dituliskan.

Handoko mengepalkan tombaknya erat, jari-jarinya merasakan dinginnya logam yang kini terasa lebih dari sekadar senjata. Cahaya mentari pagi menyapu wajahnya, membiaskan semangat di sorot matanya yang menatap jauh ke depan.

"Aku akan jadi kesatria hebat... dan aku akan pulang dengan membawa nama besar," suaranya lirih namun sarat tekad, seolah bersumpah pada dunia.

Angin berhembus kencang, seakan ikut menjawab janjinya. Di sampingnya, Jaka dan Agniran tersenyum lebar, merasakan kobaran semangat yang sama dalam dada mereka.

Mereka bertiga melangkah, berlari menyongsong cakrawala. Setiap tapak kaki mereka menggema di tanah Chandraklana, bagai ketukan genderang yang menandai lahirnya para petualang.

Dan di bawah langit Ngalam Suro yang membara keemasan, petualangan mereka pun dimulai, petualangan yang akan membawa mereka menembus kabut Pegunungan Lumut, menantang takdir, dan mungkin… menciptakan kisah baru.