Di Aula Langit Terbuka, suasana bergemuruh oleh riuh rendah suara manusia. Bangunan megah tanpa atap ini dikelilingi pilar-pilar batu raksasa yang menjulang kokoh, dihiasi ukiran bulan sabit yang bersinar samar saat tertimpa cahaya matahari. Relief-relief kuno melapisi dinding batu di sekelilingnya, menceritakan kisah panjang Sanajayan — dari zaman kejayaan hingga peperangan yang membentuk dunia saat ini.
Di tengah aula, ratusan delegasi dari berbagai kota telah berkumpul. Mereka mengenakan pakaian adat khas daerah masing-masing, menciptakan pemandangan yang bagaikan lautan warna-warni. Jubah emas dari Wulansana, selendang hijau tua berornamen perak dari Lawes, hingga ikat kepala merah darah dari Ampringan — semuanya bersatu dalam harmoni yang memancarkan keberagaman budaya di bawah naungan Aliansi.
Udara dipenuhi aroma dupa yang dibakar di penjuru aula, melayang lembut di antara sinar matahari yang menyusup dari langit terbuka di atas. Bendera-bendera kota berkibar anggun di belakang para delegasi, melambangkan persatuan meski perbedaan begitu mencolok di mata.
Di bagian depan aula, sebuah mimbar batu putih berdiri megah, memancarkan cahaya cemerlang seolah menyerap sinar mentari. Permukaannya dipahat halus dengan rajah bulan dan matahari, lambang Aliansi. Batu itu tampak seolah bukan hanya tempat berbicara, tapi juga simbol keagungan dan harapan.
Suara gong besar kembali menggetarkan udara,
Kerumunan yang semula riuh mendadak hening. Semua mata tertuju ke ujung aula, menanti siapa yang akan melangkah masuk pertama kali.
Di tengah keramaian itu, Samiranah Angsana Wulandarsa duduk anggun di salah satu bangku kehormatan di Aula Langit Terbuka. Wajahnya yang teduh bagaikan rembulan senja, lembut namun menyembunyikan gelombang kegelisahan yang bergejolak di dalam hatinya. Sebagai mantan Pengembara Bulan Sabit yang masa pengabdiannya hampir usai, ia merasakan beban tak kasat mata yang kian berat di pundaknya — seolah ada tugas terakhir yang belum terselesaikan, sesuatu yang harus ia tuntaskan sebelum tanggung jawab suci itu beralih ke pengembara generasi berikutnya.
Matanya menatap jauh ke depan, melintasi kerumunan yang ramai. Namun, yang ia lihat bukanlah lautan manusia di aula, melainkan bayangan masa lalu — perjalanan panjang, pertempuran yang ia menangkan, dan janji yang ia ucapkan di bawah langit Wulansana. Janji bahwa ia tidak akan berhenti berjuang, meski dunia akan melupakannya.
Ketika juru bicara Aliansi melangkah naik ke mimbar batu putih yang berkilau di bawah cahaya mentari, gemuruh keramaian perlahan mereda. Suasana Aula Langit Terbuka mendadak hening, seolah setiap helaan napas ditahan.
Suara sang juru bicara menggema, dalam dan penuh wibawa, menelusup ke setiap sudut ruangan.
"Rapat Besar Aliansi hari ini adalah momen bersejarah," ucapnya dengan nada khidmat, bagaikan petuah yang meresap ke dalam sanubari semua yang hadir. "Selain membahas persiapan Sayembara Tujuh Tahunan yang dinantikan seluruh Sanajayan, hari ini kita akan mengumumkan hadiah utama — sebuah pemberian yang hanya pantas dimiliki oleh jiwa yang paling layak."
Sekilas, suasana terasa bergetar. Bukan karena suara sang juru bicara semata, melainkan sebagian orang tahu… hadiah utama bukanlah sekadar penghargaan biasa. Rumor tentang hadiah yang "Zaman sebelum cahaya telah menyusup diam-diam, meninggalkan secercah kemurnian yang tak seharusnya ada" memicu rasa penasaran sekaligus kekhawatiran di antara para pemimpin kota dan para calon Pengembara
Sorotan mata tertuju pada Wandarimo yang berdiri dari tempat duduknya. Dengan langkah mantap dan penuh wibawa, ia maju ke depan mimbar. Cahaya matahari sore yang menembus celah pilar batu putih memantulkan kilau samar dari payet gelap pada penadon hijau tua yang ia kenakan, seolah membingkai sosoknya dalam aura yang sulit diartikan — antara kebesaran seorang pahlawan atau bayangan masa lalu yang enggan pergi.
Tatapan matanya tajam menyapu hadirin, membuat keramaian yang semula riuh perlahan meredam menjadi keheningan yang nyaris menyesakkan. Setiap gerakannya mengundang tanya, seolah di balik langkah mantap itu tersimpan rahasia besar yang akan mengguncang Aula Langit Terbuka.
"Saudara-saudaraku," seru Wandarimo dengan suara lantang yang menggema di antara pilar-pilar batu putih. Setiap kata yang diucapkannya bagaikan petir yang menyambar perhatian seluruh hadirin. "Sayembara Tujuh Tahunan adalah tradisi yang mengajarkan keberanian, ketangguhan, dan kebijaksanaan — pilar-pilar yang membangun kejayaan Sanajayan."
Ia berhenti sejenak, membiarkan suasana hening yang dipenuhi rasa penasaran meresap ke seluruh sudut Aula Langit Terbuka.
"Namun kali ini," lanjutnya dengan nada lebih dalam, "kita tidak hanya mencari Pengembara Bulan Sabit yang baru. Kita menawarkan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya — hadiah yang akan membakar semangat para pemuda pemudi di seluruh Sanajayan bahkan diluarnya, mendorong mereka melampaui batas keberanian dan kehormatan. Hadiah yang lahir dari kisah lama, dari tangan seorang Penambang Hebat…"
Ia menatap para hadirin satu per satu, lalu mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan benda itu tersinari matahari pagi dengan cahaya keemasan memantul lembut, menciptakan kilauan yang seakan menari di dinding batu aula.
"Hadiah utama Sayembara Tujuh Tahunan kali ini adalah… Akik Kumenteng!"
Suasana Aula Langit Terbuka terasa menegang. Bisik-bisik lirih menyebar bagaikan riak di atas danau. Nama Akik Kumenteng bergema di benak setiap orang yang hadir. Beberapa delegasi saling berpandangan, ada yang penasaran, ada pula yang tampak ragu.
Di samping itu, sejumlah tetua lainnya tampak resah, saling bertukar pandang dengan wajah yang menegang. Seorang pria tua dari barisan belakang berbisik pelan namun cukup terdengar,
"Benda itu seharusnya tak pernah muncul lagi…"
"Bukan seperti yang kamu maksud, cincin itu membuktikannya sendiri…tidak ada Sakadian!"
Samiranah menyipitkan mata, pandangannya terpaku pada Wandarimo. Ia mengenal pria itu sebagai sosok bijak, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Bukan sekadar ketegasan — ada bara yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Wandarimo memandang ke arah hadirin sekali lagi, seolah menantang keraguan mereka. Ia tahu apa yang ia tawarkan bukanlah sekadar hadiah, melainkan api yang bisa membakar atau menerangi.
"Ini bukan lagi soal memenangkan sayembara," ucap Wandarimo, suaranya berat dan penuh makna. "Ini soal menyalakan kembali harapan yang sudah lama padam."
Samiranah langsung berdiri, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Sorot matanya yang biasanya lembut kini membara. Dengan suara lantang, ia memotong pembicaraan Wandarimo.
"Tuan Wandarimo, dengan segala hormat, usulan ini terlalu berbahaya!" serunya, suaranya menggema di aula. "Kita tahu apa yang terjadi terakhir kali benda itu digunakan. Apakah kita benar-benar ingin mengambil risiko sebesar itu hanya untuk sebuah sayembara?"
Ruangan kembali sunyi, kali ini lebih tegang dari sebelumnya. Beberapa anggota Aliansi tampak saling berbisik, sementara yang lain menatap Samiranah dengan penuh harap.
Wandarimo menoleh perlahan ke arahnya. Tatapannya tidak marah, tapi tajam dan menusuk — seolah ia sudah menduga perlawanan ini.
"Samiranah," jawabnya dengan suara rendah namun berwibawa, "Aku tahu betul apa yang kau maksud. Tapi justru karena itulah, kita harus mengambil risiko ini."
Ia melangkah mendekat, tatapannya tidak beranjak dari Samiranah.
"Zaman sekarang butuh lebih dari sekadar keberanian dan ketangguhan. Kita butuh harapan... dan Akik Kumenteng adalah simbol harapan itu. Apakah kita akan terus hidup dalam ketakutan akan masa lalu? Atau kita bangkit dan menciptakan masa depan baru?"
Samiranah mengepal tangannya di sisi tubuhnya. Ia ingin membalas, tapi kata-kata Wandarimo — meski ia benci mengakuinya — terasa menusuk hatinya.
Namun, di balik kegelisahannya, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang Wandarimo sembunyikan. Sesuatu yang lebih dari sekadar harapan atau hadiah sayembara.
"Keberanian tanpa kebijaksanaan adalah kebodohan!" balas Samiranah, suaranya bergetar antara amarah dan kecewa. "Aku mohon, pikirkan kembali. Jangan biarkan masa depan Sanajayan menjadi taruhan!"
Matanya menatap lurus ke arah Wandarimo, tak gentar meskipun sorot mata pria itu dingin dan tajam. Ruangan terasa tegang, seolah-olah udara pun menahan diri untuk bergerak. Bisik-bisik hadirin kembali muncul, kali ini lebih keras dan dipenuhi kecemasan.
"...Ini benar-benar aneh. Sebuah pusaka yang muncul dari Lingkaran Kegelapan, namun tak menunjukkan tanda-tanda khas yang seharusnya menyertai pusaka dari kegelapan itu?..."
Desisan pelan menyusul di antara para hadirin. Beberapa orang saling pandang dengan ekspresi cemas, sementara yang lain menundukkan kepala, seolah tak berani mempercayai apa yang mereka dengar.
Samiranah menatap pusaka itu dengan tatapan yang sulit diartikan — antara ngeri dan penasaran. "Tidak ada pusaka yang bisa melawan sifat aslinya... kecuali ada sesuatu yang lebih besar di baliknya," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah keramaian.
Wandarimo tetap diam sesaat, sorot matanya tak lepas dari Samiranah. Namun tangannya yang menggenggam Akik Kumenteng tak sedikit pun bergetar.
Dilanjutkan Ia berbicara dengan nada tenang, namun suaranya bergema tegas di seluruh aula.
"Justru karena kita tahu risikonya, kita harus menghadapinya, Samiranah," ucap Wandarimo. "Berapa lama lagi kita akan bersembunyi di balik ketakutan atau…jalan lama yang tak lagi memberi kita pada arah yang jelas?. Akik Kumenteng bukan sekadar pusaka, ini adalah harapan — simbol bahwa kita masih punya kekuatan untuk melawan nasib yang seakan sudah ditentukan."
Beberapa hadirin mengangguk pelan, meski masih ada keraguan di mata mereka.
"Tapi kekuatan seperti itu selalu menuntut harga yang mahal," balas Samiranah, suaranya bergetar, tapi ia tetap berdiri teguh. "Apa kau yakin kita siap membayar harganya, Tuan Wandarimo? Akik Kumenteng bukan pusaka biasa. Benda itu lahir dari Batin Pangikrar — dan kita semua tahu apa artinya."
Wandarimo terdiam sejenak, lalu ia menatap Akik Kumenteng di tangannya. Cahaya emasnya memantul di matanya yang tajam.
Aku lebih takut pada kemunduran yang diam-diam membunuh kita... daripada pada pusaka ini," katanya pelan, tapi penuh keyakinan. "Jika kita terus bertahan dengan cara lama, Sanajayan akan hancur juga — hanya saja lebih lambat dan lebih menyakitkan."
Ia lalu menatap hadirin kembali.
"Kalau ada yang menentang, aku akan mendengarnya. Tapi aku tidak akan meminta maaf karena ingin memberi kita kesempatan bertahan... dengan segala cara yang kita punya."
Hening yang mencekam menyelimuti aula. Semua mata beralih ke Samiranah. Wajahnya tegang, tapi sorot matanya menyala dengan tekad.
"Tuan Wandarimo," katanya, suaranya lebih lembut namun tegas, "aku tidak menentang harapan. Tapi aku akan menentang jalan yang akan menghancurkan kita... dari dalam."
Hadirin saling berpandangan. Ketegangan di aula itu seolah bisa diraba.
Samiranah memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Lalu, dengan langkah mantap, ia maju beberapa langkah. Suaranya lirih, tapi penuh ketegasan.
"Harapan yang salah... bisa lebih berbahaya daripada ketakutan, Tuan Wandarimo," ujarnya, matanya menatap langsung ke arah pria itu. "Akik Kumenteng lahir dari Batin Pangikrar — sesuatu yang bahkan para leluhur kita pun gagal memurnikan. Kita tak tahu apakah batu itu membawa harapan... atau justru kehancuran yang belum sempat terbangun."
Wandarimo tersenyum tipis, sinis namun tenang.
"Lalu apa pilihan kita, nona Samiranah? Menunggu keajaiban yang tak pernah datang? Atau mencoba mengubah takdir dengan tangan kita sendiri?"
Ketegangan di aula mencapai puncaknya. Mata-mata menoleh ke arah pemimpin Aliansi, menanti keputusan akhir.
Wandarimo melanjutkan dengan nada lebih dalam, matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan.
"Akik Kumenteng… bukan sekadar hadiah," ucapnya lirih namun menggema. "Ini adalah warisan. Bukti dari masa lalu yang tak boleh dilupakan. Bagi mereka yang mengenal sejarahnya, benda ini bukanlah sekadar kemegahan… melainkan tanda. Sebuah tanda yang memanggil sang Pengembara Bulan Sabit sejati."
Wandarimo berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap. Lalu, dengan suara yang lebih lirih namun menusuk, ia menambahkan:
"Aku percaya... hadiah ini bukan hanya simbol semangat. Ini adalah harapan baru bagi kita semua."
Sorak-sorai pecah di sebagian sisi, sementara di sisi lain, beberapa delegasi tampak berbisik serius. Ramai. Riuh. Namun satu hal pasti: api semangat mulai menyala di Aula Langit Terbuka.