Angin sore berembus pelan, menyusup halus melalui lengkungan-lengkungan megah yang terukir indah dari batu putih cemerlang, disangga tiang-tiang besar yang menjulang gagah di serambi melingkar — salah satu tempat tertinggi di jantung kota Wulansana. Udara terasa ringan, diiringi harum dupa yang melayang lembut, membawa bisikan samar seolah menjadi pesan sunyi dari masa yang telah lama berlalu.
Di sana, berdiri seorang gadis. Sosoknya tegap, namun anggun, seolah menjadi bagian dari keagungan ruangan yang menyerupai candi kuno, dipenuhi ukiran geometris yang rumit dan megah, memancarkan aura kekuatan dan kemuliaan. Tubuhnya tampak menyatu dengan suasana, bagaikan bayangan yang terlahir dari tempat suci itu sendiri.
Cahaya matahari senja yang mulai meredup menyentuh lembut permukaan relief batu putih raksasa di hadapannya. Kilauan cahaya memantul pelan, membias ke segala arah bagaikan sinar ilahi yang membangkitkan nyawa dari ukiran-ukiran leluhur. Suasana terasa sakral, hening namun hidup, seolah waktu enggan beranjak, membiarkan keabadian meresap ke setiap sudut ruangan.
Di bawah cahaya temaram, gadis itu tampak bukan hanya sebagai seorang pengamat, melainkan bagian dari takdir yang berdiri di ambang sejarah, seolah semesta menahan napas, menantikan saat di mana rahasia yang tersembunyi akhirnya terungkap..
Samiranah berdiri dalam diam, bagaikan sosok yang terukir dari cahaya senja itu sendiri. Rambut panjangnya terurai anggun, dihiasi sumping perak yang berkilauan samar memancarkan pesona elegan, seolah serpihan bintang-bintang berbisik di antara helaian rambutnya..
Kemben sutra berwarna gading membalut tubuhnya yang anggun, berpadu dengan jarik bergradasi putih keemasan yang menjuntai lembut ke bawah, berkilauan halus diterpa sinar senja seolah anyaman cahaya itu sendiri, menyatu dengan suasana seakan dirinya adalah bagian dari ruang sakral itu. Selendang tipis yang melilit bahunya melambai perlahan, bagai tirai cahaya yang menari mengikuti bisikan angin — tenang, indah, dan tak tersentuh oleh waktu.
Pandangannya terhenti pada relief raksasa, sebuah mahakarya agung, terpahat dari batu putih yang berkilauan, memendar cahaya bening layaknya kristal suci yang menyimpan rahasia zaman.
Relief itu menyimpan keajaiban yang berdiam dalam sunyi. Setiap guratan ukirannya melahirkan pola yang begitu rumit dan mendalam, seolah menantang logika manusia, menggambarkan sosok-sosok misterius dan simbol-simbol penuh makna yang memancarkan aura rahasia dari masa silam. Di puncaknya, sebuah kristal besar bertengger anggun bak mahkota surgawi, memancarkan cahaya lembut yang berdenyut pelan, seakan membisikkan pesan abadi ke relung jiwa, seakan berbisik pelan ke lubuk jiwa, memanggil mereka yang berani mendengarkan.
Pandangannya tertuju pada relief, di mana sebuah lingkaran besar terukir megah, dihiasi tujuh pola melingkar yang saling bersambung seperti aliran tak berujung. Di tengah lingkaran itu, terpahat sosok manusia duduk bersila, tangannya terangkat menjangkau langit, menggenggam sesuatu menyerupai pola Batin Pangikrar yang tampak terbelah. Dari retakan itu, terpancar cahaya yang menjalar ke segala arah, membias di antara ukiran, bagaikan sinar fajar yang berusaha menembus kabut gelap, aura misterius menyelimuti sosok tersebut seolah menyimpan makna yang belum terungkap.
Langkah pelan memasuki ruangan, memecah keheningan yang seolah membeku di antara bayangan pilar-pilar batu.
"Nona... kau di sini rupanya," suara berat namun hangat menyapu sunyi, seakan membawa dunia kembali bergerak.
Samiranah menoleh perlahan. Sosok Waluyo Karman, salah satu petinggi Aliansi, berdiri di ambang pintu. Wibawanya tetap teguh, namun sorot matanya menyiratkan beban yang tak terlihat — seakan ia memikul masa lalu dan masa depan sekaligus.
"Tuan Waluyo Karman," Samiranah membungkuk tipis, suaranya lembut namun terselip keletihan yang tak bisa disembunyikan.
Waluyo melangkah mendekat, langkahnya mantap tapi tak terburu-buru. Pandangannya terarah pada relief raksasa yang menjulang di depan mereka, cahaya senja memantul samar di permukaannya.
"Aku tahu apa yang kau rasakan," ucap Waluyo Karman lirih, suaranya lebih menyerupai pengakuan ketimbang sekadar simpati. Ia melangkah mendekat, seragam beskap putihnya tampak berwibawa meski sederhana, dihiasi blangkon putih dengan aksen perak yang berkilau samar di bawah cahaya. "Semua ini... beban yang tak mudah dipikul, bahkan oleh yang terkuat sekalipun." Kata-katanya melayang pelan di udara, seolah menyatu dengan keheningan ruangan, membawa kehangatan yang samar di tengah rasa putus asa yang menggantung.
Samiranah menatap relief itu dengan sorot mata yang bercampur keteguhan dan keputusasaan. "Sebentar lagi masaku habis," bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di antara desau angin yang menyusup dari celah dinding. "Namun hingga kini, aku belum mampu memecahkan teka-teki ramalan ini."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Seolah relief itu sendiri menanti, sabar namun penuh pengharapan, akan jawaban yang belum jua terpecahkan.
Waluyo Karman berdiri tegap disamping Samiranah, sorot matanya menelusuri relief raksasa yang menjulang megah di hadapannya — sebuah mahakarya yang memadukan keindahan dan kemisteriusan. Ukiran-ukiran itu bukan sekadar pahatan batu, melainkan bisikan dari masa lalu yang telah menyaksikan sejarah Sanajayan selama berabad-abad. Terbuat dari batu putih berkilau bagaikan kristal, relief tersebut menjulang laksana dinding surga, memantulkan sinar lembut yang menari di dinding serambi. Setiap guratan dan pahatan terasa hidup, seolah relief itu bukan hanya saksi bisu sejarah Sanajayan, tapi penjaga abadi yang menyimpan kebenaran yang menanti untuk dibangkitkan.
Pada bagian dasar relief, terukir tujuh lingkaran yang melambangkan matahari dan bulan, tersusun melingkar seolah menjadi penjaga abadi. Di atasnya, terukir sosok manusia duduk bersila dengan khidmat, kedua tangannya terangkat tinggi, memegang bentuk yang menyerupai Batin Pangikrar — terbelah dan memancarkan cahaya ke segala arah, seakan melawan kegelapan di sekelilingnya.Selendang berukir halus membingkai sosok itu, bertuliskan aksara Jawa kuno:
"Pengembara Bulan Sabit.""gumam Samiranah lirih, matanya menelusuri pahatan aksara Jawa kuno yang terukir halus di bawah sosok bersila itu. Suaranya nyaris tak lebih dari bisikan, seolah takut mengusik kesunyian sakral yang menyelimuti ruangan. Kata-kata itu terasa berat, bukan hanya sebagai sebuah nama, melainkan gelar yang terpatri dengan takdir dan pengorbanan.
Jari jemari Waluyo Karman terangkat perlahan, menunjuk tepat ke bagian relief yang dipenuhi ukiran langit.
"Lihatlah…" suaranya rendah namun dalam, seakan membiarkan tiap kata meresap ke udara. "Relief ini menggambarkan bintang-bintang yang bertebaran, diselimuti kabut tipis, seolah-olah misteri yang menyelubungi takdir kita. Cahaya bintang itu tampak bersinar, namun terhalang selaput tipis yang nyaris tak terlihat. Seperti kebenaran yang selalu ada... tapi sulit dijangkau."
Di atas lingkaran dan sosok bersila itu, relief berlanjut membentuk hamparan awan yang menjulur lembut, menyerupai arus langit tanpa akhir. Ukiran awan itu dihiasi bintang-bintang kecil berkilauan, tiap sudutnya seakan berpendar halus, seolah ada kehidupan yang berdenyut dalam keheningan batu. Semburat cahaya tipis tampak melesat di sela-sela ukiran, menari liar lalu menghilang, menciptakan ilusi langit malam yang hidup — megah, jauh, dan tak tergapai.
Di tengah lautan cahaya itu, melayang selendang panjang yang berpilin anggun, melambai seperti dituntun angin yang tak kasat mata. Serat ukirannya begitu detail hingga tampak seperti kain halus yang nyata, menari di antara sela bintang-bintang. Pada helai selendang itu, terpatri aksara Jawa kuno yang terlihat samar tapi terasa menggetarkan jiwa, seolah setiap huruf berbisik langsung ke dalam hati: "Malapetaka Penutup."
Samiranah mengerutkan kening, matanya mengikuti arah jemari Waluyo. Kilauan relief seakan berdenyut pelan di balik cahaya samar.
"Kabut itu…" suaranya nyaris seperti bisikan, tenggelam di antara keheningan ruangan. "Seolah memberi peringatan... bahwa langit yang tampak begitu indah pun bisa menyimpan ancaman yang tak terlihat. Semakin terang bintang-bintang itu bersinar, semakin tebal kabut yang menyelimuti."
Ia menarik napas dalam, dadanya terasa sesak oleh firasat yang tak bisa ia jelaskan.
"Mungkin…" lanjutnya pelan, tatapannya kembali ke sosok bersila di tengah relief, "mungkin keindahan itu bukanlah anugerah... tapi ujian."
Waluyo mengangguk pelan, sorot matanya redup namun penuh pemahaman yang mendalam. Ia mengangkat tangannya, jari telunjuknya terarah ke bagian relief yang menjulang lebih tinggi.
"Amatilah," suaranya terdengar rendah, nyaris seperti bisikan yang menyusup ke dalam keheningan ruangan. "Di sini... sebuah candi terpahat dengan cahaya yang memancar dari puncaknya. Sinar itu mengalir ke sekelilingnya, seolah menjadi suluh harapan yang menembus kelam."
Samiranah mengikuti arah jarinya, matanya menelusuri ukiran candi yang megah. Batu-batu yang diukir tampak berpendar lembut, memantulkan sinar samar dari celah-celah tinggi ruangan. Candi itu tampak menjulang di atas lautan ukiran gelap, berdiri tegak laksana penjaga dunia.
Namun pandangan Waluyo terus naik, jari telunjuknya bergeser lebih tinggi. "Tapi lihatlah di atasnya... bulan sabit."
Bulan itu terpahat anggun, melengkung sempurna, tapi tidak bersanding dengan bintang atau langit malam.
"Bulan sabit ini bersinar di latar yang kelam, tapi bukan malam," lanjut Waluyo, suaranya terdengar dalam dan berat. "Hitamnya bukan langit... tapi kehampaan. Seperti bayang-bayang yang memakan cahaya."
Samiranah menghela napas lirih. Bulan sabit itu tampak seperti melayang di tengah kegelapan yang pekat dan menelan sekelilingnya. Bukan bersinar sebagai cahaya penunjuk jalan, melainkan cahaya yang seolah tersesat sendirian di kehampaan.
"Seolah candi itu..." gumam Samiranah pelan, "memancarkan harapan... tapi bulan di atasnya mengingatkan bahwa harapan itu rapuh. Terjebak di antara terang dan gelap."
Waluyo menatapnya, suaranya bergetar samar. "Atau mungkin... cahayanya hanya bertahan selama gelap belum menelannya."
Relief itu menjulang tanpa akhir, sambungannya mengalir mulus membentuk ukiran yang kian menakjubkan — pegunungan kokoh menjulang, tebing dan lerengan terjal, diapit hutan lebat yang terjalin rapat bagaikan tenunan alam. Setiap pahatan pohon dan tebing begitu rinci hingga tampak bernapas, seolah-olah Sanajayan sendiri terpatri dalam keabadian batu putih berkilauan itu.
Setiap pahatan pohon tampak berdaun rindang, dahan-dahannya melilit bagai akar hidup yang merambat ke segala arah. Tebing-tebing dipahat dengan detail tajam dan kasar, namun tetap harmonis, seperti kekuatan yang liar tapi tunduk pada satu kehendak. Relief itu bercerita tanpa suara — kisah tentang bumi yang tetap bertahan meski digulung waktu.
Di puncak tertinggi pegunungan di antara hutan, berdiri sebuah candi megah dengan arsitektur yang memancarkan aura sakral. Setiap detailnya terpahat halus dan presisi, melambangkan kebijaksanaan serta keteguhan zaman yang lampau.
Tepat di tengah candi, sebuah gerbang misterius terukir sempurna, memancarkan cahaya lembut yang berpendar seperti sinar fajar yang menembus kabut pagi. Cahaya itu tidak menyilaukan, tetapi menghangatkan, seakan membawa harapan di tengah kekelaman. Ia berdiri gagah di antara kegelapan di sekitarnya, seolah menolak ditelan bayang-bayang.
Melilit bagian atas gerbang, sebuah selendang berukir indah melambai ringan. Ujung-ujung selendang tampak berpilin anggun, seperti menari di antara semburat cahaya. Di atasnya, terpahat aksara Jawa kuno yang tampak bersinar samar, seakan bisikan dari masa lalu:
"Dikegelapan Tetapi Bukan Malam."
Samiranah menatap aksara itu dengan mata yang mulai bergetar. Bisikan hatinya seolah ikut terbangun oleh kalimat tersebut, menyelami maknanya yang tersembunyi.
"Gelap... tapi bukan malam?" gumamnya lirih.
Waluyo berdiri di sampingnya, sorot matanya sendu namun penuh keyakinan. "Barangkali, gelap yang dimaksud bukan sekadar ketiadaan cahaya... tapi kegelapan yang bersumber dari dalam diri kita sendiri."
"Di Kegelapan tetapi Bukan Malam," ulang Waluyo, mengutip tulisan aksara Jawa yang menyertai ukiran itu. Suaranya terdengar berat, seolah-olah maknanya terlalu besar untuk diungkapkan.
Tulisan-tulisan yang terasa bagai bisikan arwah leluhur — lembut namun menusuk sanubari. Sebuah petunjuk misterius yang bukan sekadar untuk dipahami, melainkan untuk dirasakan. Seolah-olah makna sejatinya hanya akan terungkap bagi mereka yang berani melangkah ke dalam cahaya di tengah kegelapan, meski harus tersesat lebih dulu.
Relief itu menjulang semakin tinggi, tiap pahatan menyambung dalam tarian ukiran yang kian rumit dan menakjubkan. Ornamen-ornamen melilit bagaikan sulur cahaya hidup, berpilin anggun membentuk pola simetris yang menyempit ke satu titik. Garis-garisnya seakan menuntun pandangan naik ke puncak, menuntut pemahaman yang lebih dalam seiring tiap lekukan yang terbaca.
Di puncak tertinggi relief, tersemat sebuah kristal megah berbentuk belah ketupat — cahayanya lembut, tapi terasa seperti detak jantung yang perlahan berdenyut. Bukan sekadar pancaran biasa, melainkan kilauan yang terasa bernyawa, seolah menjadi nyawa Sanajayan itu sendiri. Cahaya itu tak menyilaukan, justru membelai pandangan dengan kehangatan aneh yang mengundang dan menenangkan, tapi juga membawa kecemasan samar, seolah kristal itu memandang balik.
Kristal itu dilingkupi ukiran-ukiran rumit yang menjalar laksana akar tua yang menjaga rahasia. Setiap pahatan tampak bagaikan benang-benang takdir yang saling bertaut, membelit kristal dalam pelukan waktu dan kehendak yang tak bisa diubah. Ia bukan sekadar benda, tapi bagai singgasana bagi cahaya yang harus dilindungi atau mungkin, justru dikurung.
Menyingkap baris aksara Jawa kuno yang selama ini tersembunyi dalam diam.
Tulisan itu hanya terdiri dari tiga kata sederhana, namun menggema seperti bisikan gaib yang menjelajah ruang dan waktu:
"Kembali ke Awal."
Tiga kata yang seperti kunci... atau peringatan. Sebuah pesan yang terasa mengandung beban zaman, seolah memanggil sesuatu yang telah lama terlupakan, atau belum pernah benar-benar dimulai.
Cahaya dari kristal itu merambat pelan, menyusuri tiap guratan relief, menjalar bak aliran sungai perak yang menyusupi setiap celah dan sudut. Pegunungan batu, hutan rimbun, candi-candi megah, dan langit penuh bintang yang terpahat di dinding tampak berpendar samar, seolah dihidupkan kembali oleh napas kuno dari masa yang terlupakan.
Dalam pendar cahaya itu, satu perasaan muncul di dada — perasaan yang tak dapat ditolak. Meski takdir Sanajayan terbelenggu kabut misteri dan bayang-bayang ancaman yang mengintai, di ujung perjalanan panjang itu, secercah harapan tetap bersinar. Cahaya yang menolak padam... atau mungkin, cahaya yang menunggu seseorang cukup pantas untuk menyalakannya kembali.
Puncak relief itu menyimpan keajaiban terakhir, sebuah batu kristal yang memahkotai keseluruhan ukiran, berdiri seperti penjaga yang bisu namun penuh kewibawaan. Kristal itu memantulkan cahaya alami, menciptakan spektrum warna yang menari di dinding ruangan. Keberadaannya seolah menjadi kunci yang mengikat seluruh cerita yang terkandung dalam relief tersebut.
"Dan akhirnya," ujar Waluyo dengan nada lembut namun serius, "kristal itu. Mungkin itulah puncak dari semua rahasia yang terkubur di sini."
Samiranah memandang relief itu dengan mata yang penuh pertanyaan. "Apakah relief ini benar-benar mencerminkan takdir Sanajayan?" tanyanya lembut, hampir seperti kepada dirinya sendiri.
Waluyo menarik napas panjang sebelum menjawab, "Bagaimana tidak? Itulah yang selama ini menjadi keyakinan kita…"
Namun, keraguan jelas mengendap di matanya. Samiranah melanjutkan dengan suara ragu, "Apakah benar suatu saat Batin Pangikrar akan menjadi murni kembali?"
Relief itu menjadi saksi hening atas dialog mereka. Waluyo akhirnya berkata, "Relief ini sendiri yang memberikan petunjuk, tetapi jawabannya… aku tidak tahu."
Ia memandang Samiranah dengan tatapan penuh beban, seolah-olah ada sesuatu yang tidak ingin ia ungkapkan. "Dan tentang pusaka itu," tambahnya, "aku hanya takut jika kita salah memahaminya."
Samiranah membatu di hadapan cahaya kristal, tatapannya terpaku pada tiga kata yang kini bersinar seakan bernyawa.
"Kembali ke Awal..." bisiknya, suaranya hampir tak terdengar, seolah kata itu bisa runtuh jika diucapkan terlalu keras.
Waluyo Karman melangkah mendekat, sorot matanya menyipit.
"Kata itu bukan sekadar petunjuk," ujarnya pelan namun pasti. "Itu pengingat... atau mungkin, perintah."
"Kembali ke awal apa?" tanya Samiranah, suaranya mengandung campuran rasa takut dan penasaran. "Zaman? Peristiwa? Atau... kesalahan?"
Waluyo menatap relief, napasnya tertahan sejenak.
"Bisa saja awal dari kutukan. Bisa pula awal dari harapan." Ia menoleh pada Samiranah. "Tapi tak ada awal tanpa akhir, bukan?"
Samiranah menunduk.
"Jika ini benar awal yang dimaksud dalam ramalan... berarti semua yang kita tahu akan dihapus. Semua... akan dimulai ulang."
Waluyo mengangguk pelan.
"Atau lebih menakutkan lagi, mungkin ini bukan pertama kalinya kita memulainya kembali."
Dengan perlahan, ia mendekat kepada Samiranah, membisikkan sesuatu yang membuat waktu seakan berhenti. Kata-katanya terbungkus misteri, namun membawa ketenangan tersendiri.
"Cahaya tidak pernah meninggalkan kita."
Samiranah terdiam, meresapi kata-kata itu. Relief di hadapannya tampak semakin hidup, seolah-olah ia mendengar suara bisikan dari ukiran-ukiran yang memanggilnya untuk lebih memahami rahasia di balik keindahan itu. Perlahan, pemahaman mulai menyusup ke dalam dirinya. Namun sebelum ia bisa berkata lebih jauh, suasana tiba-tiba berubah
Dentuman gong dari kejauhan menggema di udara, suaranya berat dan mengguncang dinding-dinding batu. Ruangan itu seakan bergetar dari dasar hingga ke puncaknya. Udara mendadak terasa berat, mencekik, seolah ada sesuatu yang bangkit dari balik keheningan.
Perlahan, relief raksasa di hadapan mereka mulai berpendar. Cahaya pucat keperakan menjalar pelan di sepanjang ukiran, bergerak seperti aliran sungai cahaya yang tak terbendung. Pendaran itu merambat turun ke lantai, menjalar cepat ke dinding-dinding, hingga terasa seolah seluruh penjuru kota ikut terselimuti cahaya yang menyeruak dari dalam batu.
Samiranah tersentak. Napasnya tercekat, instingnya memerintah tubuhnya bergerak sebelum pikirannya sempat mencerna. Ia bergegas menuruni tangga menuju ruangan di bawah, langkahnya tergesa, meninggalkan Waluyo Karman yang menyusul di belakang dengan sorot mata bingung.
Setiba di bawah, tangga melingkar membawanya ke ruangan besar yang diterangi cahaya lampu gantung berkilauan. Di tengah ruangan, di atas altar batu putih cemerlang, Lencana Wulansana terpajang dalam formasi melingkar mengelilingi sebuah vas besar dari batu yang sama.
Ketujuh lencana itu kini bersinar serempak, cahaya putih menyilaukan, berpendar bagai nyala api suci yang ditahan terlalu lama.
Jantung Samiranah berdegup lebih kencang. Ini bukan sinyal biasa. Ini pertanda. Ia tahu, lencana-lencana itu hanya akan bersinar bersamaan jika...
Sebuah gemuruh keras terdengar dari luar, menyusul suara riuh rendah yang membubung dari bawah menara. Samiranah berlari ke jendela di dinding, pandangannya tertumbuk pada pemandangan di bawah sana — para prajurit berhamburan keluar dari barak dan pos penjagaan, bergegas menyebar ke berbagai arah.
Ada yang terjadi. Sesuatu yang besar.
Ia menoleh lagi ke altar. Lencana itu... sinarnya semakin terang.
"Di... dimana ini?" suara Waluyo Karman bergetar di belakangnya. Ia baru saja sampai di bawah, tatapannya kacau balau menatap Samiranah, seolah menunggu penjelasan.
Samiranah membuka mulut, tapi kata-kata seperti tercekat di tenggorokannya. Ia bahkan tidak tahu harus menjawab apa.
Tiba-tiba, pintu besar ruangan terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan derit panjang yang bergema menegangkan. Cahaya senja yang mulai turun masuk, memantul di batu putih cemerlang, membuat ruangan tampak seakan berselimut api keemasan.
Beberapa penjaga tertinggi masuk dengan langkah cepat, seragam mereka berkilat tertimpa sinar. Tatapan mereka dingin dan tegas. Tanpa sepatah kata, mereka bergegas menuju altar.
Satu per satu, mereka mengangkat ketujuh lencana dengan cekatan, lalu berbalik, mengusungnya keluar ruangan. Gerak mereka cepat dan terlatih, seolah sudah lama menunggu saat ini datang.
"Bawa ke pelataran Wulansana! Sekarang!" salah satu penjaga berseru.
Pintu gerbang besar di ujung ruangan tertutup keras di belakang mereka, menggaung berat, meninggalkan Samiranah dan Waluyo Karman yang terdiam di tengah ruangan.
Hening menyergap sesaat.
Samiranah memandang Waluyo dengan wajah tegang. Napasnya memburu. "Ini... bukan pertanda baik."
Kristal di puncak relief memancarkan cahaya yang semakin terang, kilauannya merambat seperti urat-urat cahaya yang hidup, menjalar ke setiap pahatan di dinding. Pancaran itu tak lagi lembut — kini ia berpendar liar, seolah ingin membakar kegelapan yang bersarang di tiap sudut ruangan.
Aura aneh menyelimuti seisi tempat. Udara terasa menekan, dingin menusuk namun anehnya membuat kulit seperti terbakar dari dalam. Suasana sakral yang tadi menenangkan berubah jadi sesuatu yang lebih liar, lebih purba. Detak jantung terasa berdentam keras di dada, entah karena ketakutan, atau harapan yang entah dari mana tiba-tiba menyelinap.
Lalu dari kejauhan, dentuman gong kembali bergema. Kali ini lebih keras, lebih berat — bukan sekadar suara, tapi terasa seperti gelombang besar yang menghantam jiwa. Dinding bergetar hebat, lantai di bawah kaki bergemuruh, seolah-olah batu yang menopang bangunan ini berteriak.
Debu-debu tipis berjatuhan dari langit-langit, berputar dalam cahaya kristal yang semakin menyala. Samar-samar, gema gong yang memukul udara terus berulang, bagai detak jantung Sanajayan sendiri yang terbangun dari tidur panjang... atau mungkin, baru saja mulai runtuh.