Ancaman Di Rawa

Rawa di Nawijem, bentangan alam yang seolah tak pernah lelap, berdiri sebagai saksi bisu perjalanan hidup Solor Jayusman. Ia meninggalkan hiruk-pikuk kota, memilih hidup sederhana di tepian rawa yang sunyi, di mana angin berbisik pelan di antara hutan nipah dan air beriak malas. Di sana, ia mengabdikan dirinya sebagai pelindung diam-diam bagi desa-desa di luar rawa, menjaga mereka dari ancaman makhluk liar yang mengintai dari balik kabut atau menyusup diam-diam di kegelapan malam.

Siang itu, di bawah matahari yang garang membakar langit, Solor tampak tekun. Tangannya yang kasar dan penuh bekas luka bergerak terampil, memperbaiki setiap celah kayu yang rapuh, seolah menambal lebih dari sekadar perahu, tapi juga sisa-sisa hidup dan harapannya yang kian terkikis waktu. 

Pikirannya melayang jauh, terbawa arus waktu yang seakan melesat tanpa henti. Di ufuk kesadarannya, bayang-bayang "Ngalam Suro" mulai menjelang — tahun sakral yang dikenal di seantero Sanajayan sebagai "tahun para pengembara." Seperti roda takdir yang terus berputar, tahun ini kembali diwarnai hiruk-pikuk persiapan Sayembara Tujuh Tahunan. Para pemuda berlatih siang dan malam, memupuk harapan agar terpilih menjadi Pengembara Bulan Sabit berikutnya.

Namun, bukan semangat sayembara yang mengusik benaknya. Bukan gemuruh para peserta, bukan pula sorak kemenangan yang membayang di kepalanya. Pikirannya tersangkut pada satu hal — pusaka yang diumumkan sebagai hadiah. Pusaka yang tak seharusnya ada di dunia terang, seolah bangkit dari kegelapan yang tak pernah benar-benar padam. Sesuatu tentang pusaka itu memantik kegelisahan dalam dirinya, seperti pertanda buruk yang belum mampu ia artikan.

"Akik Kumenteng," batin Solor, kepalanya menggeleng perlahan. Pusaka yang selama ini dibisikkan dalam bayang-bayang larangan, kini justru diarak sebagai hadiah utama.

"Aliansi benar-benar kehilangan akal," gumamnya lirih, nada suaranya bergetar di antara rasa geram dan putus asa.

Keganjilan ini mencuat jelas di benaknya, namun Solor menahan diri. Ia sudah terlalu lama kecewa. Bagi Solor, pemilihan Pengembara Bulan Sabit tak lebih dari sandiwara tahunan — hiburan rakyat yang hanya menyuguhkan harapan kosong.

Gelar itu tak pernah membawa perubahan, hanya mewariskan beban yang tak terelakkan. Beban yang pelan tapi pasti, akan meremukkan siapa pun yang terpilih... seperti yang pernah ia rasakan.

Langit tiba-tiba melukis dirinya dengan warna-warna yang tak lazim, menggoreskan ketegangan yang merayap di udara. Di ujung barat, secercah cahaya putih menyembur ke atas, menjulang bagaikan tombak dewa yang menembus cakrawala. Sinarnya menyilaukan, begitu terang hingga seolah menusuk langsung ke pupil mata, memaksa siapa pun yang melihatnya terdiam dalam kekaguman yang bercampur ngeri. 

Solor berdiri kaku, napasnya tercekat. Tubuhnya seakan terkunci di tempat, matanya terpancang pada pemandangan luar biasa yang melukis langit. Entah mengapa, di balik keindahannya yang memukau, terselip firasat buruk yang menelusup pelan ke relung hatinya.

Namun, sebelum bibirnya sempat melahirkan sepatah kata untuk melukiskan kekaguman yang membuncah di dadanya, dunia di sekelilingnya perlahan bergeser. Bayangan masa lalu yang merangkak di sudut pikirannya seolah hancur berantakan, ditabrak gejolak yang datang tanpa aba-aba.

Udara mendadak berat, seakan angin membawa beban yang tak kasat mata. Rawa yang biasanya tenang kini bergerak gelisah — dedaunan nipah berdesir liar, air keruh beriak tanpa sebab, dan suara alam yang biasanya akrab kini berubah menjadi nada sumbang yang tak nyaman di telinga. Suasana terasa seperti lagu lama yang diputar dengan irama yang kacau, seakan semesta tengah bersiap mengumumkan sesuatu yang tak terelakkan.

Dedaunan nipah di sepanjang tepian rawa mulai bergoyang liar, bergemerisik seperti ribuan bisikan gelisah. Gerakannya bukan sekadar goyangan angin biasa, ada sesuatu yang besar, berat, dan mendekat. Gelombang ketegangan terasa makin menekan, merayap di udara seperti kabut tak kasatmata.

Solor merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Tangannya spontan menggenggam gagang palu lebih erat, seakan tubuhnya sudah lebih dulu paham bahwa bahaya tengah mengintai.

"Ada apa ini…?" gumamnya pelan, matanya menelusuri rawa yang tiba-tiba terasa lebih gelap dan berat dari biasanya.

Air rawa meledak ke atas, menciptakan semburan lumpur dan percikan liar. Seekor buaya putih raksasa menerjang keluar dengan rahang yang menganga lebar, giginya yang runcing berkilat menembus sinar surya yang terpantul di permukaan air. Serangannya cepat dan ganas, tanpa aba-aba.

Refleks, Solor melompat ke samping, nyaris kehilangan keseimbangan di tepi rawa yang licin. Napasnya memburu, tapi belum sempat ia memulihkan diri, suara gemuruh lain datang dari arah berbeda.

Air kembali bergolak. Seekor buaya putih raksasa menyembul lagi dari kegelapan rawa, lebih besar, lebih buas. Matanya menatap Solor dengan dingin, menutup jalan mundur.

Solor terkepung. Di sekelilingnya, rawa yang tadinya terasa tenang kini menjelma menjadi arena kematian.

"Sialan! Dari mana datangnya buaya-buaya ini?!" geram Solor, napasnya memburu. Ia mundur perlahan, berusaha menjauh dari perahu dan gubugnya.

Wus Wus, kuda setianya, meringkik keras di dekat gubug, matanya liar memandang ke arah rawa yang bergolak. Air yang semula tenang kini bergelombang liar, berputar seakan ada sesuatu yang bangkit dari dasarnya.

Tiba-tiba, dari balik kabut rawa yang kian menebal, rahang besar menyembul. Gigi-gigi runcing menjepit udara dengan suara mengerikan, seperti kayu tua yang dipatahkan paksa. Satu pasang mata kuning kehijauan muncul, berkilat seram, memantulkan cahaya yang menyilaukan dari riakan air rawa. Kilauan itu tampak bergetar, seolah mata itu sendiri hidup dan mengawasi setiap gerakan Solor.

Bayangan raksasa bergerak perlahan di air berlumpur, mengelilingi Solor dalam diam yang mencekik.

Dari dalam air rawa yang mulai mengeruh, beberapa buaya putih raksasa muncul bersamaan tanpa suara, tubuh mereka menerobos permukaan air dengan gerakan lambat namun mengerikan, seolah bayangan kematian itu sendiri merayap tanpa disadari.

Dengan cepat, Solor merogoh seruling bambu di sabuknya, meniup keras nada panjang yang biasanya mampu meredakan binatang liar. Tapi kali ini, nada seruling seakan lenyap ditelan kabut. Buaya-buaya itu justru makin mendekat, menggerakkan ekor mereka dengan lamban tapi pasti mantap menuju ke arah kandang, menimbulkan riak besar di permukaan air.

"Wus Wus!" Teriakan Solor pecah, suaranya serak bercampur panik. Matanya terkunci pada kudanya yang semakin gelisah meringkik ketakutan. Kuda pendek itu mencakar tanah liar, berusaha lepas dari jeratan tali pelana yang justru semakin menahan gerakannya. Wus Wus menggeleng-gelengkan kepala, busa keluar dari mulutnya — ia ketakutan.

Kuda pendek itu mencakar tanah liar, berusaha melarikan diri, tapi tali pelana menjerat kakinya, membuatnya hanya bisa melompat ketakutan di tempat. Nafasnya memburu, matanya liar memohon pertolongan.

Tanpa pikir panjang, Solor meraih penjerat dari pinggangnya. Tangannya bergerak cekatan meski gemetar. Ia membidik salah satu buaya putih raksasa yang merayap mendekat, air berlumpur bergolak di sekelilingnya. Dalam sekejap, tali melesat bagaikan cambuk hidup, melilit leher reptil raksasa itu.

Sekilas harapan menyala di dada Solor — tapi sirna dalam sekejap. Buaya itu mengibaskan kepalanya dengan kekuatan yang sulit dipercaya. Tali terentak, dan Solor terseret sekujur tubuh, lututnya membentur lumpur keras di tepi rawa. Napasnya terengah, dadanya terasa remuk seakan dipelintir.

Sebelum ia sempat bangkit, bayangan besar menyelimuti pandangannya. Rahang raksasa menganga tepat di depan wajahnya. Gigi-gigi seperti belati berlendir meneteskan air rawa, menguarkan bau busuk yang menusuk — campuran daging membusuk dan lumpur basi. Napas makhluk itu menghantam wajahnya seperti hembusan dari liang kubur.

Keringat dingin membanjiri pelipisnya. Jantungnya berdentum keras, nyaris melompat keluar dari dadanya. Ia menatap mata makhluk itu. Sepasang mata kuning kehijauan menyala di tengah kabut, berkilat dingin, bukan dengan amarah… tapi kehampaan.

Itu bukan tatapan pemangsa. Bukan naluri berburu. Mata itu kosong, tak berjiwa. Seolah makhluk itu bukan lagi sekadar buaya — ada sesuatu yang lain bersemayam di balik sisik pucat dan tubuh raksasanya.

Sesuatu yang lebih tua, lebih gelap… dan lebih lapar daripada sekadar penghuni rawa.

Tanpa ragu, Solor merogoh kotak angkrang kecil yang selalu terselip di sabuknya. Jari-jarinya cekatan membuka penutup kayu itu, mengeluarkan segenggam semut merah beracun yang menyebar liar bagai bunga api yang tertiup angin di telapak tangannya.

"Maaf, kau harus berhadapan dengan mereka sekarang," gumam Solor dengan nada setengah mengejek, matanya menatap tajam ke arah buaya-buaya itu.

Dalam satu gerakan cepat, ia melemparkan semut-semut itu tepat ke wajah buaya raksasa yang menganga di depannya. Semut-semut merah beracun berhamburan, kaki-kaki kecil mereka bergerak liar seperti bara hidup yang mencari mangsa yang segera menyebar, merayap ke dalam mata, hidung, dan sela-sela rahang makhluk itu.

Buaya raksasa itu menggeram dalam suara berat yang menggema di seluruh rawa, tubuhnya menggeliat liar. Rahangnya yang menganga menutup paksa, menghantam udara dengan suara keras seperti gemuruh tanah longsor. Kepalanya mengibaskan lumpur dan air ke segala arah, mundur terseret ke belakang, berusaha melepaskan diri dari kepungan serangan api kecil tapi mematikan yang kini menyusup ke kedalam tubuh sampai celah-celah sisiknya.

Memanfaatkan kekacauan itu, Solor melompat ke punggung buaya yang sedang meronta, tangannya mencengkeram erat sisik kasar yang licin oleh lumpur. Ia meluncur di atas punggung reptil raksasa itu seperti menunggang ombak liar, tubuhnya hampir terpelanting ketika buaya menggeliat hebat.

Dengan napas memburu, Solor melompat dari punggung buaya ke tepi rawa, kakinya mendarat kasar di tanah becek. Tanpa membuang waktu, ia berlari menuju gubug.

"Wus Wus, kita harus pergi sekarang!" serunya, suaranya serak karena kelelahan. Ia menarik tali pengikat kuda pendek kesayangannya dengan satu hentakan kuat. Wus Wus, meski matanya penuh ketakutan, merespons cepat dan berlari mengikutinya.

Solor mendorong perahu kecilnya ke air yang berlumpur, nyaris terjerembab saat kaki licinnya terpeleset. "Ayo, Wus Wus!" serunya lagi. Kuda itu meringkik panik, lalu melompat ke atas perahu dengan sekali lompatan besar yang hampir membuat perahu oleng.

Tanpa menoleh ke belakang, Solor mendayung sekuat tenaga menjauhi buaya buaya putih raksasa yang semakin berdatangan. Air berlumpur terbelah di bawah dayungnya. Di belakang, buaya-buaya raksasa yang amarahnya meluap mulai bergerombol, rahang-rahang besar menganga, air bercampur lumpur bersemburan ke segala arah.

Gubug Solor yang dulu berdiri kokoh kini dikelilingi bayangan buaya-buaya putih besar. Mereka berdatangan menuju gubug yang dia dirikan untuk tempat tinggal, satu di antaranya meraung rendah — suara berat yang terdengar seperti geraman dari kedalaman bumi.

Solor menatap ke depan, dadanya naik turun. "Kita selamat... untuk saat ini."

"Namun ….apa yang sebenarnya sedang terjadi?" pikirnya sembari menatap tiang cahaya yang menjulang didepannya. Tangannya terus mendayung, meski tubuhnya lelah. Angin sore berembus, membawa aroma rawa yang selama ini terasa akrab, tapi kini terasa berbeda. Seperti angin itu pun hendak berbisik padanya, memberi tanda yang tak ia mengerti.

Brruugghhhhhhhhh…

Solor menoleh ke belakang, napasnya tersengal di tengah dayung yang terus ia kayuh. Perahunya perlahan menjauh, tapi pandangannya tertahan pada gubugnya yang kini dikepung makhluk-makhluk buas. Bayangan buaya putih raksasa terus bermunculan dari kabut rawa, jumlahnya seperti tak berujung — puluhan, lalu ratusan. Mereka bergerak bagaikan gelombang hidup yang menggulung segalanya. Hatinya terasa mencelos ketika menara gubug yang dulu ia bangun dengan kedua tangannya sendiri, tegak melindunginya dari panas dan hujan, kini perlahan miring. Kayunya berderak memilukan, lalu patah dengan suara parau yang seolah merobek dadanya dari dalam.

Dedaunan nipah yang lebar di tepi rawa melambai pelan, sesekali menutupi pandangannya. Tapi di sela-sela celah dedaunan itu, Solor masih sempat melihat reruntuhan gubugnya yang terus diinjak, dicabik, dan dihancurkan tanpa ampun oleh gerombolan buaya putih. Atapnya ambruk, dinding-dinding bambunya terhempas ke lumpur, dan lantainya terkubur di bawah tubuh-tubuh raksasa itu. Kini, bukan lagi gubug tempat ia berlindung, melainkan puing berserakan yang luluh lantak di antara rawa berlumpur, menjelma sarang bagi para monster yang terus berdatangan.

Solor mengepalkan tangannya erat, kukunya hampir menembus telapak. Dadanya terasa sesak, perih yang menyesak sampai ke tenggorokan. "Selamat tinggal, rumahku," bisiknya, suaranya serak dan nyaris tenggelam di antara gemuruh air dan raungan makhluk-makhluk itu. Perahunya terus melaju menjauh, meninggalkan bayang-bayang gubug yang kini tenggelam dalam amukan buaya-buaya putih, sementara senja mulai menelan langit. Di matanya, bukan hanya rumah yang hancur — tapi bagian dari dirinya sendiri juga ikut luruh bersama reruntuhan itu.