Jalan yang Tidak Terlihat

Joko menelan ludah. Matanya membulat, terpaku pada Solor seakan ingin memastikan telinganya tak menipu. Agniran membisu, sementara Handoko yang biasanya paling lincah bicara, hanya bisa menganga tanpa suara.

"P-Paman beneran Solor Jayusman?" suara Handoko akhirnya pecah, pelan, penuh ketidakpercayaan. "Yang dulu nyaris menang jadi Pengembara Bulan Sabit, tapi... hilang entah ke mana?"

Tatapan Solor menyapu ketiganya satu per satu. Pandangannya tak marah, tapi juga tak ramah. Ada kilatan sepi di matanya, seperti melihat bayangan tiga pemuda yang mengingatkannya pada dirinya sendiri — dulu.

"Aku bukan 'nyaris menang'. Aku menang," ucapnya pelan, tapi tegas, suaranya bergetar rendah. "Tapi kemenangan bukan akhir dari segalanya... kalian akan mengerti sendiri nanti."

Suasana meja mendadak terasa berat. Seakan udara di antara mereka menebal.

"Tapi kalau Paman menang," suara Handoko terdengar lebih pelan kini, nyaris berbisik. "Kenapa nama Paman seperti dihapus dari sejarah? Apa... Paman sengaja menghilang?"

Solor tak langsung menjawab. Tatapannya beralih ke jendela, menatap jauh ke hamparan senja. Cahaya jingga lembut menyapu garis wajahnya yang lelah, membentuk bayangan samar di sudut matanya.

"Ada kemenangan yang membuatmu diarak sebagai pahlawan." Suaranya terdengar pelan, namun terasa dalam. "Tapi ada juga kemenangan yang membuatmu bertanya-tanya... kenapa kau masih hidup."

Hening. Sunyi terasa menusuk.

Handoko menegakkan bahunya, suaranya kali ini lebih mantap. "Kalau begitu, ajari kami, Paman. Kalau Paman tahu jalan yang lebih baik, tunjukkan pada kami."

Solor menoleh, menatap pemuda bertombak itu. Sorot matanya menangkap bara yang menyala di mata Handoko — bara yang dulu juga pernah ia rasakan, sebelum api itu meredup oleh kenyataan yang pahit.

"Kalian siap mengikuti jalan yang tak terlihat?" suara Solor rendah, namun menggetarkan dada.

Joko menggigit bibir. Handoko mengangguk pelan, tanpa keraguan. Agniran menatap lurus ke arah Solor, matanya tak berpaling. Diamnya bukan ketakutan, melainkan pemikiran yang lebih dalam.

"Kami siap," jawab Joko dan Handoko hampir bersamaan.

Solor menarik napas panjang. Udara terasa berat di dadanya. "Kalau begitu... kita tak akan ambil jalur barat atau sungai."

Handoko mencondongkan tubuh ke depan. "Lalu, jalur mana, Paman?"

"Jalur Lumut."

Mata ketiganya sontak membesar.

"Jalur Lumut?!" Handoko nyaris berseru. "Paman bercanda? Itu jalan mati! Katanya sudah tertutup akar dan... banyak yang hilang di sana."

Solor menyandarkan punggung ke kursi, terlihat tenang di tengah kekhawatiran mereka. "Karena itulah, tak ada yang berjaga di sana. Dan aku tahu jalan pintas yang hanya bisa dilewati saat malam hari."

"Malam hari?" Joko kini kembali dengan nada penasarannya yang khas. "Kenapa harus malam?"

"Karena di siang hari, Jalur Lumut cuma batu dan akar." Suara Solor terdengar datar, tapi mengandung rahasia. "Tapi di malam hari, kabut di pegunungan membuka jalan yang tersembunyi — kalau kalian tahu cara membacanya."

Agniran masih menatap Solor, kali ini lebih dalam, lebih tajam. "Paman yakin kita bisa melewati sana? Katanya... ada makhluk yang menjaga jalur itu."

Solor tersenyum tipis, tatapan matanya dalam. "Kalau kalian mau jadi Pengembara Bulan Sabit, kalian harus lebih takut gagal daripada takut makhluk gaib."

Kembali hening.

Ketiganya terdiam. Lalu Joko, pemuda paling berapi-api akhirnya tersenyum. "Kalau Paman berani lewat sana... kami juga berani."

"Aku juga setuju," sahut Handoko cepat. "Aku percaya pada Paman Solor. Siapa lagi yang lebih tahu medan selain dia? Lagipula, dia pernah menjadi Pengembara Bulan Sabit."

Namun Agniran tetap diam. Tatapannya tak goyah. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda — pemuda itu bukan sekadar mengikuti semangat teman-temannya. Ia berpikir lebih jauh.

Matanya menatap lurus ke arah Solor. Tatapan seorang pemimpin yang masih mencari jawaban.

Dan Solor tahu... pemuda itu akan jadi sesuatu yang lebih besar daripada sekadar Pengembara Bulan Sabit.