Perpecahan Di Meja Warung

Asap tipis dari cangkir wedang jahe di meja warung melilit pelan, berputar seperti helaan napas terakhir dari api semangat yang nyaris padam. Solor duduk membisu, tubuhnya tampak ada di sana, tapi jiwanya melayang entah ke mana. Tatapannya menembus kekosongan, melampaui meja-meja kosong dan bangku tua yang berderit pelan diterpa angin senja. Warung yang tadinya riuh perlahan ditelan sepi, berganti bayang-bayang malam yang merayap pelan di ujung cakrawala. Sisa cahaya jingga menari samar di wajahnya yang lelah, seolah berusaha menggenggam kehangatan terakhir sebelum gelap menyelimuti semuanya.

Di hadapannya, Agniran masih menatap tajam — sorot matanya bagaikan ujung tombak yang tak terhunus, penuh keraguan yang beradu dengan kekecewaan. Mata itu bukan sekadar menatap Solor, tapi seolah menuntut jawaban yang belum pernah terucap. Diamnya Agniran lebih nyaring dari protes apa pun. Ada api kecil yang bergejolak di balik tatapan itu, terhalang selapis tipis abu ketidakpercayaan. Seperti ia ingin percaya pada Solor… tapi sesuatu dalam dirinya menahan, seakan takut kecewa lebih dalam lagi.

"Maaf, tuan," suara Agniran terdengar pelan tapi tegas. "Aku tak bisa percaya begitu saja. Orang-orang bisa saja mengaku mantan Pengembara Bulan Sabit. Aku tak mau mempertaruhkan nyawa Handoko dan Joko hanya karena cerita. Aku harus tahu pasti... apakah kau benar-benar Solor Jayusman yang legendaris itu?"

Suasana di pondok mendadak hening. Handoko dan Joko terkejut, tapi Agniran tak goyah. Solor menatap pemuda itu dalam-dalam. Ada sorot mata yang ia kenali — bukan keraguan semata, melainkan tanggung jawab seorang pemimpin.

Solor menarik napas. "Aku tak punya bukti. Namaku Solor Jayusman, tapi kalau kau butuh lebih dari sekadar nama, aku tak bisa memberimu itu. Kepercayaan tidak bisa dipaksa, anak muda. Kalau kau memilih jalan lain, aku tak akan melarang." Solor mengangguk

"Bagaimana?, Kalau kalian setuju, kita berangkat besok pagi. Siapkan perlengkapan. Nanti kita bertemu di gerbang utara setelah fajar."

Kedua pemuda itu berdiri hampir bersamaan, penuh semangat. Joko bahkan nyaris tersandung kakinya sendiri saking terburu-burunya.

Agniran terdiam, menghiraukan yang lain, tapi kali ini ada amarah yang mengendap di matanya. "Kalau tuan memang Pengembara Bulan Sabit…" suaranya pelan, nyaris bergetar, "kenapa tuan ada di sini? Bukankah seharusnya tuan berada di Wulansana?"

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih tajam. "Kenapa bukan tuan yang memurnikan Batin Pangikrar(Lingkaran Kegelapan)?"

Pertanyaan itu memukul lebih keras dari pedang manapun. Joko dan Handoko menoleh dengan kaget, tapi Agniran tetap berdiri tegak, tatapannya tajam menusuk.

Solor diam. Ia menatap ke cangkir mereka yang kosong. Sunyi merayap di antara mereka.

Dia mengangkat tatapannya perlahan. Suaranya tetap datar, tapi ada beban dalam setiap kata. "Kalau dunia ini hanya soal menang dan kalah, aku memang kalah. Tapi bertahan hidup... itu bukan kekalahan."

Agniran mengepalkan tinjunya di atas meja. Rahangnya mengeras. "Itu cuma alasan orang yang berhenti berjuang!" bentaknya.

"Kalau kau tak mau berjuang lagi, jangan ajak kami menempuh jalan berbahaya!" lanjut Agniran. Suaranya tidak lagi sekadar menuntut, tapi mencampur kecewa yang sulit ditutupi. "Aku tak bisa mempercayakan nyawa teman-temanku pada seseorang yang bahkan tak percaya pada dirinya sendiri." Tambahnya

Solor terdiam. Hanya angin malam yang menjawab.

"Aku tak menyerah... tapi aku juga belum menemukan jalan. Kalau kalian punya tekad sendiri, aku tak akan menghalangi."

Joko berbisik cemas, "Agniran, sudahlah…"

tapi Agniran tak peduli.

"Jika aku berhasil memenangkan sayembara nanti, aku tidak akan menjadi pengecut seperti Anda," ucapnya tegas, tatapannya menusuk. "Aku akan berjuang memurnikan Lingkaran Kegelapan, bagaimanapun caranya. Aku tidak akan diam lalu bersembunyi, meratapi kegagalan." 

Solor tak menjawab. Ia hanya memandangi pemuda itu — ada sesuatu di matanya. Bukan marah, bukan kecewa. Hanya kesedihan yang samar.

"Lihatlah apa yang terjadi sekarang! Kemunculan Tiang Cahaya, seorang kesatria dihukum mati — apakah itu yang Anda inginkan?" suara Agniran bergetar, namun tetap tegas. "Mengapa Anda, bersama Aliansi, tidak segera bertindak? Mengapa membiarkan Lingkaran Kegelapan terus merajalela tanpa ada yang memurnikannya?!"

Solor menatap Agniran lama. Matanya redup, seakan menahan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

"Aku mengerti amarahmu, Nak," ucap Solor akhirnya, suaranya pelan namun berat. "Tapi apa yang kau lihat di permukaan… bukanlah seluruh kebenaran. Memurnikan Lingkaran Kegelapan bukan sekadar urusan keberanian atau tekad. Kalau itu semudah memenangkan sayembara di lapangan, aku sudah melakukannya sejak dulu."

Dia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, lebih pelan.

"Kau pikir aku diam? Aku bertarung — lebih dari yang kau tahu. Tapi ada hal-hal yang tak bisa dilawan hanya dengan pedang dan semangat. Dunia ini... lebih rumit dari yang terlihat."

Agniran terdiam sejenak, menatap Solor dengan sorot mata yang kini lebih dalam — bukan lagi kemarahan, tapi kekecewaan yang sulit disembunyikan.

"Saya mengerti, Paman... mungkin dunia ini memang lebih rumit dari yang saya bayangkan," ucap Agniran pelan, tapi suaranya tetap kokoh. "Tapi kalau kita terus menunggu tanpa bertindak, berapa banyak lagi yang harus mati? Berapa lama lagi rakyat harus hidup dalam ketakutan?"

Ia menarik napas panjang, seolah menenangkan gejolak di dadanya.

"Terima kasih... untuk segalanya, tuan. Tapi aku akan mencari jalanku sendiri," ucapnya pelan namun tegas. "Aku akan mengambil jalur Lembah Sungai. Memang lebih panjang, tapi lebih aman."

Ia menoleh ke dua sahabatnya. "Joko, Handoko... kalian ikut denganku?"

Joko dan Handoko saling berpandangan ragu. Dalam hati mereka, keduanya ingin mengikuti Solor. Namun, persahabatan mereka dengan Agniran lebih kuat. Akhirnya, Joko menghela napas panjang. "Maaf, tuan Solor... aku ikut Agniran." Joko terlihat paling bimbang. Ia menoleh ke Solor, seakan ingin mengatakan sesuatu. 

Handoko terdiam sejenak. Ia melirik Solor, lalu menatap Agniran. Handoko mengangguk pelan. "Aku juga."

Solor hanya tersenyum tipis. Ia mengerti. "Baiklah. Hati-hati di jalan. Semoga kita bertemu lagi."

Agniran mengangguk hormat, meski matanya masih menyimpan kecurigaan dan kecewa yang belum reda. Bertiga, mereka meninggalkan warung. Solor memandang ke arah mereka pergi dari meja kasir. Dalam hatinya, ada pukulan serta kekhawatiran yang tak ia ucapkan. 

"Semoga kalian selamat," gumamnya pelan

—-----------------------------

Malam pun jatuh di Warung dan Pondok Kecot, menyisakan bayangan-bayangan panjang di balik lampu minyak yang redup.

Saat ia akhirnya berdiri dan melangkah keluar dari Warung Kecot, angin senja menyapu lembut wajahnya. Udara membawa aroma tanah basah bercampur dedaunan dari padang rumput. Langit barat berpendar tembaga, menyisakan semburat merah terakhir sebelum matahari tenggelam sepenuhnya di balik Pegunungan Lumut yang menjulang gagah, bagai raksasa tua yang menjaga ujung dunia.

Kabut tipis mulai turun, menggulung perlahan dari kaki gunung, seakan menjadi selimut bagi malam yang datang. Di kejauhan, samar-samar, ia melihat siluet Agniran, Handoko, dan Joko di cakrawala, mengarungi lautan rumput menuju hutan. Ia tahu… malam ini, sebuah perjalanan baru telah dimulai. Bukan hanya untuk mereka — tapi juga untuk dirinya sendiri.

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Kecil, nyaris tak terasa... tapi ada.

Cahaya itu mungkin belum tampak jelas. Tapi ia tahu pasti, itu bukan sekadar cahaya.

Itu harapan.