Matahari baru saja tenggelam, meninggalkan semburat jingga samar di langit. Di depan Warung Kecot, Solor berdiri sendiri bersandar di tiang lampu. Matanya menatap jalanan dari atas tebing yang mulai sepi, pikirannya melayang jauh.
Di kejauhan, Gunadir baru saja keluar dari kandang samping bangunan. Tangannya masih bau rumput basah setelah memberi makan kuda-kuda. Ia melangkah santai sambil mengusap keringat di leher — sampai pandangannya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
Ia memicingkan mata.
"Lho... lho... Astaga, aku nggak salah lihat kan? Ini tuan Solor Jayusman ? …." Gunadir berjalan semakin mendekat memperlihatkan perut buncitnya yang bergoyang diantara bajunya yang sedikit terbuka kancingnya terlepas " atau karung yang hanya di kasih rambut...?"
Solor menoleh lambat, menghela napas panjang membalas tatapannya. "Aku kira aku bisa berdiri tenang sebentar. Ternyata di sini pun ada Si Badan Besar, Gunadir..."
Gunadir mendelik pura-pura tersinggung. "Eh, sialan! Aku ini pemilik warung, bukan badut pasar!"
Solor menyeringai. "Iya, iya... pemilik warung sekaligus pemilik perut paling gede se Pegunungan Lumut?."
Gunadir terkekeh. "Hei, ini bukan perut gede. Ini gudang cadangan tenaga! Beda tipis sama perut pahlawan."
Solor tertawa kecil, lalu menggeleng. "Kalau gitu, perutku juga pahlawan. Pahlawan yang nyaris mati kelaparan."
Mereka berdua tergelak. Gunadir mendekat, menepuk bahu Solor keras.
"Bangsat kau, tuan Solor! Si Kroto Domble? Kukira kau udah jadi arwah penasaran, atau minimal batu nisan di puncak gunung."
Solor menahan tawa. "Nyaris. Tapi aku lebih mirip sandal putus yang nyasar di selokan."
Tiba-tiba dari dalam warung, Arindi muncul sambil membawa baki berisi gelas-gelas kosong. Kembennya sedikit miring yang bagian bawah tampak basah.
"Gun, suara apaan sih ribut-ribut di depan??! ......."
Ia melirik ke arah Solor. Matanya membesar seketika.
"Eh? Yaa ampun.. tuan Solor? Beneran ini tuan Solor?!"teriaknya mendekat
Solor tersenyum kecil. "Iya, aku. Masih inget aku kan?"
Arindi terdiam sebentar, lalu menyeringai lebar. "Masih lah! Mana ada yang lupa sama pengembara sakral yang lebih sering sakitan daripada sakralnya?"
Gunadir langsung ngakak. "Nah, itu dia! Arindi masih sama tajamnya kayak dulu."
Solor melotot kecil. "Eh, aku ini sakral beneran, tahu! Cuma bedanya aku sakralnya lebih suka ketendang nasib buruk."
Arindi tergelak sambil menaruh baki di atas kepala mendekatinya. "Lho, berarti nggak banyak berubah ya? Masih aja ketendang."
Solor memutar matanya. "Kalau aku masih sama, kalian juga nggak berubah. Gunadir masih kayak kentongan kampung — gede, keras, tapi isinya kosong."
Gunadir mengangkat alis. "Hah?! Kentongan kampung? Enak aja! Mending aku daripada kamu, tuan. Kelakuanmu masih kayak lele goreng — luar keras, dalemnya lembek!"
Arindi menyusul, "Iya tuh! Mas Solor dulu katanya pengembara sakral. Sekarang malah mirip pengemis sakral!"
"Ya ampun, kalian ini!" Solor tertawa sambil mengangkat tangan menyerah. "Aku udah lama nggak pulang, malah dihujani olok-olokan."
Gunadir terkekeh sambil menepuk bahu Solor lagi. "Lama nggak ketemu, tuan. Kita cuma kangen. Dan cara kami bilang 'kangen' ya kayak begini."
Arindi tersenyum lembut di sela tawanya. "Iya, Mas Solor. Kami kangen. Warung ini rasanya aneh kalau nggak ada kamu yang nongkrong sambil ngutang."
Solor tergelak. "Astaga, Arindi. Aku mampir cuma buat nenangin pikir, bukan buat diolok sampai jiwa ragaku habis."
Gunadir menyeringai, lalu melingkarkan lengannya di leher Solor. "Udah, udah. Nggak usah banyak protes. Malam ini, kau tidur di sini. Besok kalau kau mau kabur lagi, aku iket di tiang warung pakai tambang sapi!"
Solor hanya bisa menghela napas pasrah, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan. Di tengah canda dan tawa, ia merasa sesuatu yang lama hilang akhirnya kembali.
Rumah.