Di Depan Warung Kecot — Senja Berlanjut

Gunadir masih melingkarkan lengannya di leher Solor, seakan nggak mau lepas.

"Yaudah, ayo masuk dulu. Perutku udah teriak minta diisi. Kamu pasti juga lapar, kan, tuan? Atau kamu udah biasa hidup dengan makan angin?"

Solor mendengus sambil menyikut pelan pinggang Gunadir. "Makan angin janggutmu! Kalau aku makan angin, paling nggak anginnya rasa sate."

Arindi tertawa sambil mendorong pintu warung. "Udah, udah. Masuk aja. Ntar tuan Solor keburu ilang lagi."

Mereka bertiga masuk ke dalam. Warung Kecot masih sama seperti dulu.

Dinding warung melingkar cekung bagaikan pelukan hangat bagi siapa saja yang memasukinya. Bentuknya seperti berada di dalam cangkang besar — melingkupi setiap sudut ruangan dengan lembut, menciptakan rasa aman dan damai. Bagian bawah dinding tersusun dari papan kayu coklat tua yang kokoh, berkilau samar seakan menyimpan cerita bertahun-tahun di setiap seratnya.

Garis ukiran berbentuk keong berpilin indah membentang memisahkan bagian bawah dengan lapisan kain bertekstur kasar berwarna hijau tua di atasnya. Warna hijau itu terasa menenangkan, membawa nuansa pedesaan yang bersahaja namun tetap memancarkan kesan elegan.

Jendela-jendela bundar menghiasi dinding melingkar sejajar, berbingkai mirip keong serasi yang seperti memeluk cahaya. Sinar lembut dari langit malam yang cerah menyusup masuk melalui kaca bening, membawa kilau perak dari bintang-bintang yang bertaburan di luar. Cahaya langit malam berpadu dengan gemerlap lembut lampu-lampu keong yang menggantung, membuat ruangan terasa lebih hidup, hangat, dan akrab — seakan malam pun ikut tersenyum pada setiap pengunjung.

Di tengah ruangan, berdiri kokoh meja besar berbentuk huruf U yang menghadap ke balkon lantai dua. Dari balkon, pengunjung bisa melihat suasana warung di bawah dengan jelas, seolah menyaksikan panggung hidup yang terus bergerak. Meja ini menjadi pusat dari semua aktivitas warung. Kayu tua yang sama membangun meja ini, memancarkan kesan kokoh namun tetap bersahaja. Bagian dalam meja U menjadi tempat para pelayan seperti Alindir, Gunadir, dan Koro hilir-mudik — meracik hidangan, mencatat pesanan, hingga berbincang ramah dengan tamu. Di bawah meja besar itu, terbentang karpet melingkar hijau tua yang terasa lembut di kaki, menambah kehangatan di atas lantai batu halus yang dingin.

Di sekeliling meja besar, tersebar meja-meja melingkar dengan kursi bundar yang terbuat dari kayu serupa — kokoh, tapi dipahat halus hingga nyaman diduduki. Setiap meja dihiasi pot kecil berisi bunga kenanga liar berwarna kuning cerah. Wangi samar bunga itu tercium ringan saat duduk lebih dekat, memberi kesan menenangkan di tengah riuh rendah suara pengunjung.

Tepat di belakang pintu masuk, berdiri sebuah panggung kecil yang tertata sederhana tapi rapi di balik jendela utama depan melengkung setengah lingkaran yang antik. Alat-alat musik tradisional seperti gamelan, kendang, dan seruling bambu siap sedia di sana, menunggu para pemusik pengelana atau pendongeng keliling yang kadang mampir dan membawakan kisah dari penjuru negeri.

Dua tangga melingkar berdiri anggun di kanan dan kiri meja besar, terbuat dari kayu kokoh yang sama, menghubungkan lantai bawah dengan lantai atas penginapan. Di kedua samping tangga, terdapat jalan menuju dapur di belakang. Papan menu besar dari kayu menempel di balik dinding dapur menghadap meja besar tengah berbentuk U, mencantumkan hidangan khas warung dengan tulisan tangan yang rapi dan indah.

Di bawah tangga, tersembunyi dua pintu kecil toilet. Pintu-pintu ini tetap menyatu dengan estetika ruangan — dibuat dari kayu dengan ukiran kecil berbentuk daun yang sama dengan hiasan meja.

Di samping tangga, berdiri pot besar dari tanah liat berisi tanaman hijau berdaun lebar. Tanaman ini tampak seperti penjaga alami, menambah kesegaran bagi ruangan dan membingkai jalan menuju lantai atas dengan sentuhan hidup yang asri.

Pencahayaan di warung ini terasa seperti pelukan yang menenangkan. Lampu utama berbentuk keong banyak bergerombol, menggantung dari lantai dua hingga menjuntai di tengah ruangan, tepat di atas meja besar berbentuk U. Bentuk gerombolannya menyerupai satu tangkai buah kepundung merah, menjuntai indah dengan cahaya kekuningan yang lembut, seolah membisikkan kehangatan bagi siapa pun yang singgah.

Di antara jendela-jendela bundar, ublik kaca dan kayu berbentuk keong kecil menyala redup. Mereka berkelip seperti kunang-kunang yang bertengger diam di sudut ruangan. Beberapa lampu gantung kecil dari kaca buram ikut menggantung di tengah, berayun pelan saat angin malam menyelinap lewat celah jendela.

Warung dan Pondok Kecot bukan sekadar tempat singgah. Ia terasa seperti rumah bagi siapa saja yang lelah di perjalanan, tempat menemukan kembali kehangatan, ketenangan, dan semangat yang mungkin sempat hilang. Sebuah perpaduan sempurna antara kenyamanan rumah, ketenangan pondok penginapan, dan pesona estetika warung tradisional khas Sanajayan.

. Di tengah ada meja besar berbentuk U yang biasa mereka pakai dulu buat nongkrong.Gunadir langsung nyosor duduk di sisi tengah, sementara Solor dan Arindi duduk di sampingnya.

"Wah, meja ini masih ada. Kukira udah jadi kayu bakar." Solor mengelus meja itu pelan, matanya menerawang sebentar.

"Kalau jadi kayu bakar, aku pasti bakar warungnya sekalian," jawab Gunadir sambil nyengir.

"Eh, jangan dibakar dulu! Aku belum makan," sahut Arindi sambil melirik Solor. "Eh, ngomong-ngomong, tuan Solor tumben sekali sudah lama lo? Ada kabar apa? Atau lagi ada perlu sama mas Koro?"

Gunadir ikut nimbrung. "Iya, kenapa mendadak, atau memang lagi Ngalam Suro?"

Solor terdiam sebentar, matanya menatap meja. Ia menghela napas panjang.

"Rumahku hancur," katanya pelan.

Gunadir dan Arindi saling pandang.

"Hah? Hancur? Kok bisa?" tanya Gunadir heran.

Solor menelan ludah. "Dihancurkan."

Gunadir makin melotot. "Siapa yang hancurin? Penagih utang?"

"Bukan manusia." Solor menghela napas lagi, lalu menatap mereka berdua. Suaranya lebih pelan dan berat. "Buaya raksasa putih."

Warung langsung sunyi sejenak.

Gunadir berkedip beberapa kali, lalu ngakak keras. "HAAH?! Buaya putih?! Jangan jangan buaya darat yang terjebur ke kolam batu gamping?"

Arindi ikut terkikik. "Mas Solor, serius deh. Ini bukan dongeng buat bocah kan?"

"Terserah kalian mau percaya atau nggak." Solor melipat tangannya lalu menaruh ke meja, tatapannya kosong. "Aku lihat sendiri. Giginya sebesar tombak, matanya seperti orang tidak tidur selama ribuan tahun. Mereka berkelompok, mereka bergantian menghajar..sampai... rumahku rata sama tanah. Ntah lah apa yang sedang mereka lakukan. Kalau bukan Wus-Wus yang narik aku kabur, mungkin aku udah jadi cemilan."

Gunadir dan Arindi mendadak tidak ketawa lagi. Mereka saling pandang, kali ini tanpa bercanda.

"Tuan... kau beneran nggak ngarang, kan?" suara Gunadir lebih serius.

"Kalau aku ngarang, aku nggak bakal kemari dalam keadaan begini. Bajuku sobek, tubuh pegal semua, perut lapar... dan rumahku tinggal kenangan."

Arindi menggigit bibir bawahnya pelan. "Mas Solor... apa bener-bener ada buaya kayak gitu?, lalu longsor kemarin apa ada kaitannya dengan buaya buaya itu?.. katanya ada makhluk muncul dari sana. Tapi kupikir makhluk itu cuma omongan kosong."

Gunadir menata tubuhnya. "Fenomena tiang cahaya kemarin, aku melihatnya sendiri di arah barat laut, cahayanya menjulang sangat indah" "Terakhir aku melihatnya waktu aku kecil kalau tidak salah…"

"Makanya, ada sesuatu yang tak beres," Balas Solor 

Sunyi lagi.

"Kalau gitu... kita harus cari tahu lebih banyak." Gunadir bersandar di bahu Solor, tatapannya menajam. "Aku nggak mau nanti warungku juga diseruduk buaya raksasa."

Solor tersenyum tipis. "Kalau itu kejadiannya, aku rela nolongin. Tapi aku nggak janji bisa nyelamatin perutmu yang besar itu."

Gunadir tersenyum lelah. "Ah, sialan. Bahkan pas serius pun kau masih aja nyindir perutku, tuan Solor si Kroto Domble."

Arindi menatap mereka berdua, lalu tersenyum kecil. "Ya udah, aku buatkan makan malam sama teh anget dulu ya. Kayaknya kita bakal ngobrol panjang malam ini."

Solor menatap Arindi dan Gunadir satu per satu. Ia merasa dadanya sedikit lebih ringan. Meski rumahnya hancur, sahabat lamanya masih ada. Dan itu lebih berharga daripada bangunan batu yang kini tinggal puing.