Kabut dan Aroma yang Mengintai

Kini, dalam ketersesatannya yang semakin dalam, Solor hampir kehilangan harapan. Kabut merayap seperti tirai tipis yang menutupi segala arah, menghapus jalan yang seharusnya ia lalui. Angin yang menggeliat di sela pepohonan membawa bisikan-bisikan yang tak jelas, seakan hutan itu sendiri bernafas, mengawasi setiap langkahnya. Wus Wus, kudanya yang setia, mulai gelisah, menghentak tanah dengan kukunya, seolah merasakan kehadiran sesuatu yang tak kasatmata.

Lalu, dari antara pekatnya udara yang menggantung, bau itu datang.

Busuk. Menyengat. Seperti daging yang dibiarkan membusuk di bawah terik matahari. Solor memejamkan mata, menahan rasa mual yang bergolak di tenggorokannya. Namun, di tengah desakan naluri yang ingin menjauh, akal sehatnya justru menuntunnya untuk berpikir.

"Bunga talas..."

Matanya membuka perlahan, menembus bayangan kabut yang menggulung di hadapannya. Samar-samar, ia melihat kelopak besar berwarna ungu magenta yang bercahaya redup dalam kabut. Mereka berdiri diam, seolah mengintip dari balik tirai putih yang melayang-layang di udara. Tidak bergerak, tetapi nyata. Seperti mata-mata dari dunia lain yang sedang mengawasi kehadirannya.

Jantung Solor berdebar.

Apakah ia benar-benar menemukan jalannya kembali? Ataukah ini hanya jebakan dari kegelapan yang mengintainya?