Solor merasakan firasat buruk ketika hutan tiba-tiba menjadi hening. Ketenangan yang aneh itu terpecah oleh teriakan dari seorang pemuda di seberang jurang.
Suara gemuruh mengguncang hutan. Tanah bergetar hebat, membuat ranting-ranting berjatuhan dari pepohonan trembesi raksasa. Dari kejauhan, Solor melihat pohon-pohon besar bergoyang liar, sebagian bahkan tumbang dengan suara berdebum yang menggetarkan dada.
Lalu terdengar teriakan.
"Lariii ke jembatann!!"
Dari balik kabut tebal, tiga sosok pemuda berlarian sekencang-kencangnya, napas mereka memburu. Agniran, Handoko, dan Joko. Mata mereka dipenuhi ketakutan.
Dan di belakang mereka—muncul bayangan raksasa.
Tiga ekor buaya putih, sebesar kereta, menerjang pepohonan tanpa ampun. Gigi-gigi tajam mereka berkilat di antara kabut, ekor mereka menghantam batang pohon trembesi yang sebesar rumah, menumbangkannya seolah ranting belaka. Tanah terbelah, akar-akar raksasa tercerabut, debu dan serpihan kayu beterbangan di udara.
Ketiga pemuda itu tak punya pilihan lain selain terus berlari. Dan saat mereka nyaris kehilangan harapan, di depan mereka—di seberang jurang—berdiri seorang pria pendek dengan rompi hitam lusuh, di atas kuda cebol.
"Pergilah dari situ! Ada monster mengejar kita!" seru pemuda berompi merah sambil mengayunkan pedangnya. Agniran. Suaranya membawa nada peringatan mendesak.
Namun, sebelum Solor sempat memahami situasi, suara dentuman keras meledak di belakangnya.
Seekor buaya putih menerjangnya dari sisi lain dibalik semak pepohonan dekat jurang!
Segala sesuatu terjadi dalam sekejap.
Solor hanya sempat merasakan angin tajam sebelum tubuhnya terpental keras. Wus-wus meringkik nyaring saat tubuhnya terhempas ke udara—dan jatuh ke dalam jurang yang dalam!
Solor sendiri menghantam tanah, tetapi saat ia mencoba bangkit, tanah di tepi jurang mulai retak di bawahnya. Dia tak sempat bereaksi. Tepi jurang runtuh, menyeret tubuhnya ke bawah.
Tangannya berhasil meraih tepian batu yang tersisa. Sekujur tubuhnya tergantung di udara, di bawahnya hanya kabut pekat dan arus sungai yang mengamuk.
Di kejauhan, suara gemuruh masih terdengar—tanda bahwa perburuan belum berakhir.
Tiga pemuda itu tiba di ujung jurang, wajah mereka pucat pasi saat melihat Solor yang bergelantungan.
"Itu Tuan Solor!" teriak pemuda paling tinggi berambut seleher, Handoko.
Sementara itu, di balik kabut, buaya-buaya putih itu berbalik, seolah menyiapkan serangan baru.
Dan kini, Solor tidak hanya harus menyelamatkan dirinya sendiri—tetapi juga Wus wus dan ketiga pemuda yang berada dalam ancaman.