Mantra siulan sang pengembara

Agniran, Handoko, dan Joko terhuyung di tengah jembatan putih yang mulai runtuh, kaki mereka gemetar melihat pemandangan di depan mata. Harapan mereka, yang sebelumnya sebesar langit, kini koyak oleh kenyataan yang mengerikan.

"Tidak... Tidak mungkin...!!" Joko tergagap, matanya membelalak melihat Wus-wus terjebak di antara akar di tebing, kakinya tersandung bebatuan yang longsor.

Agniran menggigil, matanya memanas. "Kita harus lakukan sesuatu!" serunya, tapi suaranya terdengar putus asa. Apa yang bisa mereka lakukan melawan monster sebesar itu?

Handoko hanya bisa menggeleng, napasnya tersengal-sengal. "Kita bahkan tak bisa menyelamatkan diri sendiri..."

Di hadapan mereka, dua buaya putih raksasa perlahan merayap menuju Solor yang masih tergantung di bibir jurang. Mata buaya itu berkilat dingin, mulutnya sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi yang tajam.

Sementara itu, di belakang mereka, tiga buaya lain mulai mendekat ke arah jembatan. Batu-batu retak di bawah kaki mereka, gemuruh langkah buaya terdengar seperti suara genderang maut.

Solor melihat ke bawah. Wus-wus berusaha mengangkat kepalanya dari bebatuan yang melilit tubuhnya, matanya ketakutan.

"Bertahan, Wus-wus..." suara Solor bergetar, amarah bercampur keputusasaan meluap di dadanya.

Tangannya meraih sulur akar, namun terlepas. Kemudian dicobanya lagi dengan sisa tenaga terakhir, otot-ototnya menjerit kesakitan saat ia mengangkat tubuhnya ke atas. Tepat saat kepala buaya raksasa hampir menghancurkan kepalanya, Solor berhasil menarik dirinya ke daratan. Ia jatuh terduduk, napasnya memburu.

Tapi ia tidak bisa berhenti sekarang.

"Fiiiiuuuuuiiiitttt....."

Siulan Solor menggema seperti gaung angin yang menembus rimba. Daun-daun trembesi bergetar, suara itu menyelinap jauh ke dalam gelapnya hutan.

Buaya-buaya itu terhenti. Mata mereka berkedip sesaat, pupilnya menyempit.

"Fiiiuiiiitttttt....."

Siulan kedua membuat mereka gelisah. Buaya yang semula mengejar tiga pemuda itu mulai menyerong, seakan mendengar tantangan yang lebih menarik. Mereka perlahan mengubah arah, berbalik menuju sumber suara.

"Fiiiuiiiiiiiittt...."

Mata Solor menatap tajam, satu per satu, ke bola mata hitam makhluk-makhluk raksasa itu. Napasnya teratur, tangannya mengepal, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.

Kini, kelima buaya itu bukan lagi mengincar tiga pemuda. Mereka semua ingin Solor.

"Fiiiiiuuuuuiiitttt...."

Solor mulai bergerak, menarik para monster itu ke arahnya. Langkahnya cepat, ringan. Dua buaya pertama mengamuk, menerjang ke arahnya, menghancurkan batu dan pohon di sepanjang jalan.

Tanpa menunggu lebih lama, Solor berlari menuju hutan rimba. Tubuhnya melesat di antara pepohonan trembesi raksasa.

Dengan sekali hentakan, ia menendang pengait di sendalnya, melepasnya. Kini ia bergerak lebih cepat.

"Fiiiuuuuuiiittt..."

Solor melompat ke batang pohon, tangannya mencengkeram lumut yang licin, kakinya menjejak cepat. Seperti monyet yang terbiasa di hutan, ia berayun dari dahan ke dahan, semakin tinggi.

Buaya-buaya itu meraung marah, tubuh besar mereka menghantam pohon-pohon, berusaha mengejar.

"Fiiuuuuuuiiiiittt!!!"

Solor terus bersiul, memancing mereka, membuat mereka semakin menggila.

Tiga pemuda yang berdiri di jembatan yang hampir runtuh hanya bisa menatap dari kejauhan, tubuh mereka kaku.

Agniran menatap Handoko dan Joko, suaranya serak. "Apa dia... Apa dia benar-benar berencana mati di sana?"

Joko mengepalkan tinjunya, menahan tangis. "Tidak... Dia tidak akan mati. Dia Solor si Kroto Domble seoarang pawang dari nawijem. Dia pasti punya rencana!"

Tapi, dalam hati, mereka bertanya-tanya—bagaimana mungkin seseorang bisa selamat dari kejaran lima buaya raksasa di dalam hutan yang gelap dan tak berpihak?

Dan di kejauhan, dari balik kabut, terdengar suara raungan panjang yang menggema...

Sesuatu yang lebih besar sedang bangun