Wangsit di tengah kabut

Kabut menggantung tebal di antara pepohonan raksasa, menyelimuti Jalur Lumut yang semakin sulit dikenali. Solor menuntun kudanya, Wus Wus, yang napasnya mulai berat setelah seharian menyusuri jalan berbatu dan akar yang menjalar liar. Mereka tiba di sebuah celah batu besar yang menyerupai gerbang alami—dua dinding karang menjulang, berlumut dan terkikis waktu, seperti sepasang penjaga tua yang diam mengawasi. Di tempat itulah, ia memutuskan berhenti untuk beristirahat.

Solor menepuk lembut leher Wus Wus, memberi isyarat agar kudanya beristirahat. Kuda itu mendengus kecil sebelum menjatuhkan tubuhnya ke tanah, berselonjor malas di antara dedaunan lembap yang terkena cahaya redup lentera di samping pelana. Solor sendiri bersandar pada batu, merasakan dinginnya menjalar hingga tulang. Matanya menatap ke kejauhan, ke dalam pekatnya kabut rimba yang sunyi.

Angin tiba-tiba berhenti.

Suara hutan yang tadinya samar—gemericik air jauh, nyanyian serangga malam, desau dedaunan—menghilang begitu saja, seolah dunia menahan napas. Kabut di sekelilingnya tidak lagi tampak seperti embun lembut, melainkan selubung pekat yang perlahan menelan segalanya.

Saat itulah, tubuh Solor terasa ditarik ke dalam keheningan yang lebih dalam. Kepalanya tidak tertunduk, tetapi kesadarannya seakan lepas dari tubuhnya. Bukan tidur, bukan pula terjaga. Ia terjebak di antara dua dunia.

Dalam penglihatannya, ia berdiri di tengah hutan yang berbeda dari sebelumnya. Pepohonan menjulang lebih tinggi, seolah lebih tua dan lebih sakral. Udara begitu bersih, namun mengandung beban yang tidak terlihat. Di depannya, sebuah lingkaran cahaya redup berpendar di atas tanah batu putih yang dipenuhi ukiran pusaka dan aksara kuno.

Dari balik kabut putih yang menggantung, sosok berjubah muncul. Wajahnya samar, nyaris tak berwujud, tetapi tatapan matanya tajam—menembus jauh ke dalam batin Solor. Suaranya terdengar seperti gema dari masa lampau, seperti bisikan angin yang membawa rahasia dunia yang terlupakan.

"Kau ingin memurnikan Batin Pangikrar, tetapi kau tidak melihat akar dari kegelapan itu."

Cahaya dalam lingkaran itu mendadak meredup. Dari dalamnya, muncul bayangan kelam yang berputar perlahan, menyerupai kabut hitam yang menyelimuti pusaka di dalam lingkaran tersebut. Aura pekat menguar darinya, menyesakkan, menelan seberkas cahaya yang tersisa.

"Keserakahan manusia yang membuatnya ternoda," suara itu kembali terdengar, lebih dalam dan bergetar. "Bukan pusaka yang harus kau sucikan, tetapi tangan yang memegangnya."

Solor mencoba melangkah maju, tetapi lingkaran itu tiba-tiba retak. Sebuah cahaya menyilaukan meledak, membutakan segalanya.

Ia tersentak.

Kesadarannya kembali seperti lembaran kain yang jatuh ke tubuhnya. Ia masih bersandar pada batu yang dingin, dengan Wus Wus yang kini berdiri, gelisah dan menggaruk tanah dengan kukunya. Napasnya terasa berat, dadanya naik turun seolah baru saja berlari jauh. Udara di sekitarnya tetap dingin, tetapi di dalam dirinya ada sesuatu yang mendidih.

Potongan-potongan pemahaman mulai menyatu, Batin Pangikrar bukan sekadar benda, tetapi cerminan dari manusia yang menggunakannya. Mungkin pemurnian yang ia cari bukan hanya soal menghapus kegelapan dari pusaka itu, tetapi juga dari jiwa orang-orang yang menginginkannya. • Apakah ada jalan untuk menyucikan bukan hanya pusaka, tetapi juga "tangan-tangan" yang mencoba memilikinya?