Ketika tengah malam menjelang, kerisauan berlanjut di sebuah cekungan batu di sisi jalan Jalur Lumut. Udara dingin, tetapi ada sesuatu yang lebih menusuk dari sekadar suhu… perasaan diawasi.
Lalu, suara-suara itu datang.
Suara bisikan, lirih pada awalnya, lalu semakin keras. Bukan dalam bahasa yang ia kenal, tetapi ia bisa merasakan maknanya—suara mereka yang gagal, mereka yang tersesat di jalur ini, mereka yang tak bisa mencapai tujuan.
"Kau juga akan gagal…"
"Jangan teruskan…"
"Tidak ada jalan keluar…"
Solor menutup matanya, menarik napas dalam. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar suara keraguan—tapi kali ini suara itu terdengar begitu nyata.
Wus Wus tiba-tiba meringkik, menghentakkan kakinya ke tanah. Suara itu langsung mereda.
Solor menoleh ke kudanya. Wus Wus menatapnya, mata cokelatnya bersinar dalam kegelapan. Kuda itu percaya padanya.
Dan Solor menyadari sesuatu—Batin Pangikrar tidak akan pernah bisa dimurnikan jika ia tidak lebih dulu memurnikan dirinya sendiri.
Ia tidak bisa membiarkan suara-suara ini menguasainya.