Ucapan Selamat Malam di Pegunungan Lumut

Solor menepuk lembut leher Wus Wus, merasakan napas kuda kesayangannya yang memburu, gelisah di bawah temaram lampu ublik yang redup berkelip-kelip ditiup angin malam. Celah tebing tempat mereka berteduh terasa sempit dan sunyi, tetapi bukan kesunyian yang membuat Wus Wus terus menggaruk tanah dengan kukunya—melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih sunyi dari gelap itu sendiri.

"Ssst… Wus Wus, tenanglah…" suara Solor berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada kudanya. "Aku tahu… tempat ini tidak nyaman, dan malam ini lebih panjang dari biasanya." Ia menarik napas dalam, menahan getar di dadanya. "Tapi dengar, kau bersamaku… Aku tak akan membiarkan apa pun menyentuhmu, paham? Kita hanya perlu melewati malam ini."

Wus Wus menghembuskan napas panjang, namun masih gelisah, mengangkat telinganya ke arah bayang-bayang di luar celah tebing. Solor mendekat, menyandarkan dahinya ke kepala kuda itu, membiarkan detak jantungnya yang tenang berbicara lebih dari kata-kata.

"Aku tahu kau merasakannya… ada sesuatu di luar sana, bukan?" gumamnya pelan, tangan kasarnya mengelus surai Wus Wus dengan gerakan perlahan. "Tapi dengarkan aku, Wus wus… Seberapa pun gelapnya malam, ia tetap akan berakhir. Seberapa pun menyeramkannya bisikan di angin, itu hanya suara kosong. Kita telah melewati yang lebih buruk, bukan? Jadi, diamlah… istirahatlah."

Lampu ublik kecil di samping pelana bergoyang, cahayanya bergetar seiring desir angin yang melintasi celah. Solor menarik pelan tali kekang, mendudukkan dirinya di samping Wus Wus. Kegelapan di luar seakan mengintai, tapi ia menolak takut.

"Kita hanya perlu bertahan sampai pagi." Solor berbisik sekali lagi, lebih mantap, lebih pasti. "Besok, kita akan keluar dari sini."

Dan akhirnya, perlahan-lahan, Wus Wus berhenti menggaruk tanah. Nafasnya melambat, tubuhnya sedikit mereda dari ketegangan. Solor pun menutup matanya, mencoba mencuri sedikit ketenangan di antara bayang-bayang yang menari di balik gelap.