Solor berlari cekatan, melompat dari satu dahan ke dahan lain di antara pepohonan trembesi raksasa Pegunungan Lumut. Batang-batang pohon melenggok seperti bonsai raksasa, menciptakan jalur bagi Solor untuk bermanuver di atas hutan yang lebat. Dengan siulannya yang khas, ia memancing kawanan buaya putih raksasa yang hasratnya tak terbendung untuk mengejarnya.
Di bawah, gerombolan monster reptil itu merangsek maju, tubuh besar mereka meremukkan segala yang ada di jalurnya bagai mesin pembajak sawah. Solor tahu ke mana ia harus menggiring kawanan buas ini. Ia terus melompat, bergerak bagai monyet liar, sesekali melihat ke belakang untuk memastikan mereka tetap mengejarnya. Siulannya menggema, semakin menggiring mereka dalam kegilaan yang tak terkendali.
Namun, tiba-tiba segerombolan buaya putih yang lebih besar dan lebih gesit menerjang pohon yang sedang dipanjati Solor. Pohon itu berderak keras sebelum akhirnya roboh. Solor kehilangan keseimbangan, terhempas ke tanah yang lembab ringsek dengan belukar dedaunan basah.
Tak ada waktu untuk meratap. Dengan refleks cepat, Solor kembali berlari, napasnya tersengal, dadanya naik-turun seiring langkah kakinya yang gesit. Hutan semakin gelap, rimbun, dan jalurnya semakin sulit ditembus. Ia melompati akar-akar besar yang menjalar di tanah, menghindari jebakan alami dari hutan yang lebat.
Salah satu buaya melesat, rahangnya terbuka lebar, hampir menutup di tumit Solor. Dengan gerakan reflek yang presisi, ia menendang ke belakang dengan sandal pengkaitnya. Pukulan itu menghantam tepat di mata buaya, membuatnya meraung liar. Kesempatan emas! Solor kembali melesat maju, semakin dekat menuju tujuan: Lautan Akar.
Lautan Akar yang sebelumnya ia lewati bagian hutan yang penuh dengan akar-akar trembesi raksasa yang saling melilit. Permukaannya licin, penuh lumut, dan menyimpan banyak jebakan alami. Solor tahu tempat ini bisa menjadi senjata mematikan bagi para pengejarnya.
Ia melompat ke sebuah dahan besar di atas Lautan Akar. Tubuhnya mendarat dengan mulus, tapi dahan itu berderak, hampir patah. Solor menyeimbangkan dirinya, menatap kawanan buaya yang semakin beringas.
"Sini kalian, dasar reptil buta!" teriaknya lantang.
Buaya-buaya itu tak peduli, mereka menerjang ke atas Lautan Akar tanpa pikir panjang. Tubuh mereka yang berat langsung beradu dengan akar-akar yang licin. Krakk! Satu akar besar patah, menyebabkan seekor buaya jatuh terperosok, kakinya tersangkut dalam jeratan akar yang semakin mempererat cengkeramannya. Ia mengamuk, menggeliat, tetapi semakin berusaha lepas, semakin erat ia terjebak.
Buaya lain menerjang ke depan, tetapi akar-akar tua itu tak sanggup menopang berat mereka. Satu demi satu, mereka terperosok ke dalam jebakan alami. Deretan raungan marah dan panik menggema di seluruh hutan. Kawanan buaya raksasa itu kini tumpuk-undung, tak bisa bergerak, benar-benar tak berdaya dalam cengkeraman pohon-pohon Pegunungan Lumut.
Solor menatap dari atas dahan, matanya tajam seperti burung elang, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Ketika seekor buaya mencoba menggigit akar untuk membebaskan diri, ia mengeluarkan tali jeratnya dan dengan gerakan cepat, melemparkannya, melilit rahang sang monster. Buaya itu menggila, mencoba menyerang, tapi apalah daya, Lautan Akar telah menjadi penjara bagi mereka.
Ia menarik napas dalam, keringat mengalir di dahinya. Ia baru sadar—buaya-buaya ini bukan hanya makhluk buas biasa.
Dari mana sebenarnya mereka berasal…?
Kejadian ini membangkitkan kenangan pahit. Buaya-buaya putih raksasa mirip seperti yang dulu menghancurkan rumahnya. Dada Solor bergetar, tapi ia harus tetap fokus. Ia memastikan keadaan aman, lalu mulai bergerak turun, mencari Wus Wus—kudanya, dan ketiga pemuda yang ia tinggalkan.
Perjalanan masih panjang, dan misteri buaya-buaya ini belum sepenuhnya terungkap.