Senja merambat perlahan ke dalam pelukan gulita, seperti seutas benang cahaya yang habis ditarik dari langit. Langit di atas Pegunungan Lumut kini memudar menjadi semburat ungu kelabu, menyisakan titik-titik cahaya terakhir yang tertelan kabut. Kabut tipis mulai menggeliat seperti makhluk halus di antara pepohonan tinggi, membelai pucuk-pucuk dedaunan tua yang bergemerisik lirih diterpa angin lembab dari arah Lautan Akar yang baru saja mereka tinggalkan.
Jalan setapak dari batu putih tampak timbul dan tenggelam, perlahan ditelan lumut hijau pekat dan akar-akar renta yang mencuat seperti tangan-tangan bumi yang ingin menggenggam mereka kembali. Aroma tanah basah, bercampur sisa embusan angin hutan tua, menyusup ke dalam napas mereka—aroma yang menegaskan bahwa tempat ini bukanlah sembarang belantara, melainkan gerbang sunyi menuju sesuatu yang lebih dalam, lebih tua, dan mungkin... lebih menyeramkan.
Langkah-langkah mereka terayun berat. Bukan semata karena lelah setelah pertarungan melawan buaya raksasa, tetapi karena ada sesuatu yang ikut membebani: luka, ketakutan, dan ketegangan yang seperti menyelinap diam-diam ke dalam dada mereka, mengendap di antara detak jantung yang masih belum tenang. Hening pun menggantung, seperti dunia menahan napas, menanti apa yang akan terjadi setelah kegelapan benar-benar turun.
Handoko dan Joko saling berbagi beban, merangkul tubuh Agniran yang tampak makin rapuh di bawah bayang senja. Nafas Agniran memburu pelan, menahan perih yang menusuk di punggungnya—jejak dari gigi buaya putih raksasa yang nyaris merenggut hidupnya tadi. Luka itu tak hanya mengoyak kulit, tapi juga menggoyahkan semangatnya, meski ia tetap berusaha berdiri tegak, menolak menjadi beban bagi dua sahabatnya.
Di depan, Solor berjalan tanpa banyak kata, tangannya menggenggam kendali Wus Wus yang melangkah pelan, sesekali menggeram rendah seperti mencerminkan ketegangan malam itu. Nafas kuda itu tampak berat, tubuhnya kuyup oleh keringat dan sisa kabut lembab yang belum menguap sejak mereka meninggalkan Lautan Akar.
"Kita harus mencari tempat beristirahat sebelum malam benar-benar turun," ucap Solor lirih namun tegas, matanya menyapu barisan pepohonan tinggi di kejauhan yang tampak seperti bayangan raksasa menanti. Sisa cahaya di langit mulai lenyap, meninggalkan siluet hitam yang semakin menekan pandangan.
Langkah mereka membawa keheningan menembus Pegunungan Lumut. Beberapa jembatan tua telah mereka lewati—kayu-kayu lapuk yang merintih setiap kali diinjak, membentang di atas jurang-jurang yang menganga seperti mulut kegelapan. Di bawahnya, akar-akar pohon menggantung dan menjuntai, seperti tangan-tangan tak kasat mata yang siap menyambut siapa pun yang tergelincir.
Angin malam mulai bergerak dari celah-celah dedaunan, membawa aroma tanah lembab dan sesuatu yang lebih tua, lebih asing. Di antara desirnya, sesekali terdengar suara-suara samar—bisikan lirih yang tak berasal dari mulut manusia, dan tawa pelan seperti kepakan sayap yang bersembunyi di balik batang pohon, lalu menghilang seketika. Bulu kuduk mereka berdiri, entah karena dingin atau karena sesuatu yang lebih dalam: firasat yang tak bisa dijelaskan.
Setelah beberapa saat menyusuri jalur yang semakin tak bersahabat, di mana paving putih hanya tampak selintas di sela-sela lumut dan akar, mata Solor menangkap sebuah pohon yang berbeda dari yang lain. Di tengah bayang-bayang hutan yang suram, berdiri sebuah pohon trembesi raksasa. Batangnya melenggok lembut seperti bonsai purba yang tumbuh selama ratusan tahun tanpa gangguan manusia. Dedaunannya menjuntai lebat, membentuk kanopi alami yang menahan sisa cahaya malam.
Di pangkal batangnya, akar-akarnya yang tebal menggeliat seperti naga tidur, membentuk lengkungan yang menyerupai mulut gua kecil. Di balik akar itu, terdapat rongga yang cukup lapang dan kering cocok sebagai tempat perlindungan yang nyaris tak terduga di tengah belantara Pegunungan Lumut.
"Kita bermalam di sini," ucap Solor akhirnya, suaranya pelan namun mantap, seperti seorang penunjuk jalan yang tahu kapan saatnya berhenti sebelum bahaya datang dari kegelapan.
Tanpa banyak tanya, mereka pun bergerak. Dengan hati-hati, Handoko dan Joko merebahkan Agniran di atas salah satu akar besar yang berlumut, melapisinya dengan sehelai kain tipis dari bungkusan mereka. Dedaunan kering disusun sebagai alas, agar tubuh Agniran tidak langsung bersentuhan dengan kelembapan tanah.
Wajah Agniran pucat, tapi matanya tetap terbuka, menatap dedaunan di atas yang berayun perlahan seperti bisikan rahasia dari langit. Handoko duduk di sebelah kirinya, menggenggam bahunya, sementara Joko duduk di kanan, sesekali mengecek napasnya dan membisikkan hal-hal ringan untuk menghiburnya.
Sementara itu, Solor berjalan pelan ke arah Wus Wus yang berdiri mematung. Ia menepuk lembut kepala kuda kecil itu lalu menuntunnya menuju rongga akar. Kuda setia itu meringkik pelan sebelum menundukkan kepala dan masuk ke dalam gua alami itu, cukup muat untuk tubuhnya yang pendek dan agak gemuk. Suara ranting patah dan dengusan lembut dari dalam rongga akar menjadi tanda bahwa ia telah nyaman di tempat perlindungannya.
Solor berdiri sejenak di luar, mengangkat wajahnya ke langit yang tak lagi tampak, hanya hitam dan remang yang menyelubungi segala. Angin malam kembali datang, kali ini membawa suara samar yang menyerupai lantunan kidung tua—entah hanya imajinasi, atau memang ada sesuatu yang mengintai dari balik gelap.
Dari dalam tas tabung di belakang pelana Wus Wus, Solor mengeluarkan sebuah botol kecil dari kaca, berisi cairan kekuningan yang memantulkan nyala sisa senja. Begitu dibuka, aroma tajam dan getir langsung menyebar di udara, seolah mengusir hawa dingin yang menyusup di antara kabut.
"Ramuan Parem Kelor," ucap Solor perlahan, sambil menyerahkannya kepada Agniran. "Dari Warung dan Pondok Kecot. Ini bisa mempercepat pemulihan luka... dan mengurangi rasa sakit."
Agniran menerimanya dengan ragu-ragu, tapi ada cahaya syukur di matanya. Ia meneguknya pelan, merasa getirnya mengalir ke dalam dada dan perut, lalu bersandar ke batang pohon dengan nafas berat namun lebih tenang.
Sementara itu, Solor mulai berjalan pelan menyusuri sisi jalan setapak yang telah mereka lalui, mengumpulkan ranting dan dahan kering satu demi satu, lalu menumpuknya di atas batu datar yang menonjol di tengah lingkaran akar. Gerakannya tenang, terukur, seolah nyala api yang belum menyala sudah terpahat dalam bayangannya.
Di sisi lain, Handoko dan Joko masih sibuk merawat luka di punggung Agniran. Joko menggulung selendang tipis lalu menekannya perlahan ke luka, sementara Handoko dengan telaten menempelkan daun-daun lebar beraroma pahit yang ia temukan di sekitar akar trembesi. Gerak mereka berhati-hati, tapi dari tatapan mata keduanya tampak jelas: kelelahan, kekhawatiran, dan rasa bersalah yang tak bisa mereka sembunyikan.
Agniran, dalam kelemahan tubuhnya, akhirnya membuka suara, pelan dan nyaris tercekat.
"M-maaf… Tuan…" gumamnya, lirih seperti desir daun kering tersapu angin. "Saat di Warung… saya sempat meragukanmu. Aku pernah mendengar nama itu… Aku kira yang memiliki nama itu seseorang kesatria yang saat ini bersama orang orang terpilih lainnya di Wulansana .. "
Ia menoleh pelan, memandang Solor yang tengah berlutut, membelah buah talas dengan pisau kecil di dekat tumpukan kayu kering.
"Aku tidak tahu… bahwa Anda adalah Solor Jayusman—si Kroto Domble, Sang Pawang dari Nawijem."
Solor tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu menghela napas seraya menatap percikan kayu yang mulai ia gosokkan batu serempah.
"Nama besar itu… tak banyak berarti bagiku sekarang," ujarnya, lembut namun penuh makna. "Aku hanyalah seorang pengembara yang masih mencari… mencari jawaban atas sesuatu yang seharusnya kupahami sejak dulu."
Dengan satu gerakan terlatih, ia menggesekkan batu serempah. Percikan api muncul, menyambar ujung ranting yang kering dan rapuh. Dalam hitungan detik, nyala kecil pun menjalar, menari perlahan-lahan dalam gelap, memantulkan warna oranye hangat ke wajah-wajah yang penat dan lelah.
Dan di tengah Pegunungan Lumut yang membungkus mereka dengan sunyi dan gelap, api unggun itu menjadi satu-satunya cahaya—cahaya penghibur bagi luka, penghangat bagi hati yang mulai terbuka, dan mungkin… penanda awal dari perjalanan mereka yang sesungguhnya.
"Anda benar-benar menyelamatkan kami, Tuan," ucap Handoko pelan, suaranya sarat kejujuran dan rasa hormat. Tangannya masih sibuk mengelap darah kering di punggung Agniran dengan potongan kain yang mulai basah. "Tanpa Anda... mungkin kami sudah menjadi santapan buaya putih itu."
Solor hanya membalas dengan senyum tipis, mata setengah tertutup oleh bayangan api unggun yang mulai menghangatkan udara di sekitar mereka. "Aku hanya membalas budi," katanya pelan, namun penuh makna. "Kalian sudah menyelamatkan Wus Wus—itu cukup bagiku."
Ia menoleh sejenak pada kuda pendek kesayangannya, yang kini tertidur tenang di dalam akar trembesi, mengembuskan napas lembut.
"Memangnya bagaimana kalian bisa sampai ke tempat ini? Bukankah kalian bilang hendak melewati jalur selatan, menyusuri sungai?" tanya Solor sambil menambahkan sepotong talas ke dalam api.
Handoko menarik napas panjang, lalu mengusap rambutnya yang kusut dan menempel di kening, wajahnya masih menyimpan lelah yang belum pupus.
"Awalnya, iya… kami lewat jalur sungai. Tapi saat sedang istirahat di pinggir tebing, kami melihatnya—seekor kijang... berkilau keemasan. Kilau tubuhnya seperti emas mulia yang hidup. Lalu kami kejar, mencoba mendekatinya."
Ia menelan ludah, tatapannya kosong sejenak seperti menghidupkan kembali ingatan yang menegangkan.
"Tapi kijang itu begitu lincah... seolah tahu jalan. Ia menuntun kami, untuk... menjebak. Kami mengikuti langkahnya sampai ke sebuah danau tenang yang dipenuhi akar... dan di sanalah... sarang buaya itu."
Solor mengerutkan kening. "Kijang emas?" ulangnya, suaranya mengandung nada ragu.
"Iya, betul," sahut Joko, lebih tegas. "Kami pikir dengan emasnya dapat mendapatkan banyak uang!..."
"Kemudian buaya-buaya itu... mereka bukan binatang biasa. Matanya... seperti mengintai isi dada kita. Dan jumlah mereka... terlalu banyak. Seperti makhluk purba yang sengaja dilepaskan dari bawah tanah." Sambung Handoko.
"Apakah itu bagian dari... Ngalam Suro?" tanya Handoko lirih, matanya kini menatap Solor bukan hanya sebagai penyelamat, tapi sebagai seseorang yang memikul pengetahuan yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup.
Solor terdiam sejenak. Nyala api memantulkan bayangan lembut di wajahnya yang kini tampak seperti ukiran waktu dan luka lama.
"Pengembaraan Ngalam Suro..." katanya perlahan, suaranya mengalun seperti mantra. "Bukan hanya rintangan fisik. Ia menguji siapa kau sebenarnya. Menelanjangi keraguan, ketakutan, dan... keserakahan dalam dirimu. Ia memperlihatkan hal-hal yang bahkan tak ingin kau akui pada diri sendiri."
Ia menoleh pada mereka satu per satu, dari Joko yang menunduk diam, ke Handoko yang mulai menggertakkan gigi, hingga Agniran yang tertidur dengan napas berat namun damai.
"Tak semua orang kembali utuh dari sana," lanjut Solor, suaranya nyaris seperti bisikan. "Bahkan meski tubuhnya bisa kembali... jiwanya belum tentu ikut pulang."
Keheningan pun turun perlahan di bawah kanopi daun trembesi yang merunduk rendah. Nyala api unggun terus menari, sementara dari kejauhan, suara burung malam menggema seperti gema hati yang tak ingin diungkapkan.
Api unggun berderak pelan, nyalanya menari di antara bayang-bayang akar trembesi dan wajah-wajah yang mulai dirundung gelisah.
"Kesatria sejati…" suara Solor terdengar perlahan, nyaris seperti renungan yang mengalir dari dasar hatinya, "bukan ditentukan oleh pedang yang ia bawa, atau gelar yang ia sandang. Tapi oleh caranya bertahan ketika tak ada lagi yang percaya, termasuk dirinya sendiri."
Mereka terdiam, menyimak. Lalu kilat kegelisahan melintas di mata Solor.
"Kijang emas… atau Dadung Kawilis," gumamnya, menatap bara api. "Makhluk hanya muncul ribuan tahun yang lalu. Sebuah pertanda langka dari zaman para leluhur. Tapi… kenapa dia muncul sekarang?" Wajahnya mulai diselimuti bayang-bayang kecemasan. "Buaya-buaya putih itu… sudah menguasai rawa Nawijem. … Ini benar-benar tak lazim. Ada sesuatu yang gawat sedang bergerak."
Joko menyahut, langkahnya perlahan mendekat ke lingkaran api. Suaranya bergetar, dan kekhawatiran tak lagi bisa ia sembunyikan."Benarkah apa yang Anda katakan, Tuan Solor?"
Solor terdiam sejenak. Ingatannya terhenti pada Koro, penjaga batas air yang bangkit dari tidur panjangnya. Sebuah pesan samar yang belum ia pahami sepenuhnya… namun kini, semuanya mulai terasa saling berkait.
"Benar…" gumamnya lirih, namun cukup untuk mengguncang malam. "Ada sesuatu yang besar sedang terjadi."
Ketiga pemuda menatapnya, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut, namun yang mereka dapat hanyalah keheningan dan kerut kening Solor yang terus berpikir.
Handoko lalu turut mendekat ke api unggun, menyandarkan tubuh yang masih kelelahan. Di tengah percakapan yang mulai menyatu dengan udara malam, mereka memanggang buah-buah talas, aroma manis daging talas yang menghitam perlahan menyebar, menghangatkan hati mereka di tengah pekatnya kegelapan Pegunungan Lumut, seolah memberi secercah rasa aman di antara bayang-bayang yang mulai bangkit dari masa silam.