Percakapan mereka terus mengalir di bawah cahaya api unggun yang berpendar lembut, menciptakan bayangan yang menari-nari di batang pohon trembesi raksasa. Malam kian menebal di Pegunungan Lumut, angin dingin menyusup pelan di antara celah bebatuan dan akar-akar tua yang menguar aroma tanah dan waktu. Entah bisikan yang sesekali terdengar berasal dari alam, atau sesuatu yang lebih gaib dari itu. Namun, di sekeliling api, kehangatan kecil itu menjadi satu-satunya penghibur yang tersisa, menjaga mereka tetap manusia dalam malam yang bisa saja menelan segalanya.
Joko meraih sepotong talas panggang, masih mengepulkan asap harum yang menggoda, lalu mengulurkannya pada Agniran.
"Makanlah, Agniran. Setidaknya ini bisa sedikit menghangatkan tubuhmu," ujarnya, suaranya tulus meski tetap membawa nada riang khasnya yang tak sepenuhnya padam.
Agniran menerimanya dengan anggukan pelan, lalu menggigit ujung talas yang lembut dan manis. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Solor yang masih terpaku menatap bara unggun—seolah mencari sesuatu di dalam kobaran cahaya itu.
"Jujur saja, Tuan Solor..." ucapnya perlahan, suaranya nyaris tenggelam di antara desir angin. "Apakah Sayembara Tujuh Tahunan memang hanya soal pertarungan? Atau sebenarnya... ini tentang sesuatu yang lebih dalam? Kadang aku bertanya-tanya... apa makna sejati menjadi seorang kesatria? Apabila ribuan tahun sang terpilih sebagai Pengembara Bulan Sabit belum berhasil memecahkan Ramalannya?"
Solor mengangkat kepalanya perlahan, menatap ketiga pemuda di hadapannya. Pantulan api unggun menari di matanya yang tampak menyimpan banyak rahasia, seperti bara kenangan yang belum padam.
"Kesatria sejati bukan tentang gelar atau pengakuan," ucapnya, suaranya tenang namun mengandung kedalaman yang sulit dijelaskan. "Bukan soal siapa yang terkuat, atau siapa yang paling cepat menghunus pedang. Ramalan memang berkata bahwa jiwa kesatria sejati akan lahir dari seseorang yang dinobatkan sebagai Pengembara Bulan Sabit…"
Ia berhenti sejenak, seolah memilih kata-kata dari ingatan yang pernah menyakitkan.
"…tapi menurutku," lanjutnya pelan, "kesatria sejati adalah mereka yang tahu kapan harus bertarung, dan kapan harus mundur. Yang paham bahwa kehormatan bukan diukur dari kemenangan di medan laga, melainkan dari keberanian menjaga prinsip, dari hasrat untuk melindungi mereka yang bahkan tak mampu melindungi diri sendiri."
Ia menatap mereka satu per satu, lalu menambahkan, "Kupikir... hal-hal semacam ini pernah kalian pelajari di padepokan, bukan?"
Agniran mengangguk perlahan, namun matanya belum puas. Ada pergulatan dalam dirinya.
"Jadi... menurutmu, bertahan hidup lebih penting daripada mengejar gelar dan kehormatan?" tanyanya akhirnya.
Solor tersenyum kecil, samar, tapi penuh makna.
"Apa gunanya gelar jika nyawa tak lagi ada? Apa artinya kehormatan, jika yang kau tinggalkan hanya kehancuran?"
Ia menatap bara unggun, seperti melihat kembali jejak yang pernah ia lalui.
"Aku pernah berada di tempat kalian berdiri sekarang. Aku tahu rasanya berdiri di ambang hidup dan mati, dengan kehormatan di satu tangan dan nyawa orang lain di tangan satunya. Percayalah, kemuliaan sejati tak selalu ditemukan dalam sorak kemenangan. Kadang, ia tersembunyi dalam keputusan-keputusan kecil... yang kita ambil hanya demi tetap hidup, tanpa mengkhianati hati nurani."
Agniran, pemuda yang paling taat terhadap prinsip Aliansi, terdiam. Talas panggang di tangannya tak lagi disentuh. Ia menatap Solor, mata mudanya menyimpan tanda tanya, kekaguman, dan juga tekad yang perlahan tumbuh dalam diam.
Keheningan menyelimuti mereka kembali. Hanya suara kayu yang berderak terbakar dan desir angin yang melolong di antara pepohonan Pegunungan Lumut. Di kejauhan, pekikan burung malam menggema, nyaring dan dingin, seolah menjadi pengingat bahwa mereka tidak sepenuhnya sendiri di tengah gelapnya hutan.
Handoko menghela napas panjang. Ia menatap Agniran dan Joko sebelum berkata pelan, "Aku mengerti sekarang. Sayembara ini... bukan hanya tentang siapa yang paling lihai mengangkat senjata. Ini tentang menemukan siapa sebenarnya diri kita."
Joko menggaruk kepalanya. "Kalau begitu, aku ingin tetap menjadi diriku sendiri. Orang yang menikmati hidup, bercanda, tapi tetap siap bertarung jika diperlukan."
Solor terkekeh kecil, nada hangat dalam tawanya. "Itu yang membuatmu istimewa, Joko. Jangan pernah kehilangan hal itu. Dunia butuh lebih banyak orang sepertimu."
Ia membiarkan dadanya mengembang perlahan, lalu menatap nyala api, matanya terbenam dalam pusaran kenangan yang tak pernah benar-benar padam
"Aku dulu berpikir, menjadi Pengembara Bulan Sabit adalah kehormatan terbesar yang bisa diraih seorang kesatria. Tapi kenyataannya… itu adalah beban. Beban yang nyaris mustahil dipikul. Selama seribu tahun, tak satu pun dari kami berhasil memurnikan Batin Pangikrar. Kadang... aku merasa tak lebih dari sekadar bayangan dari kegagalan."
Kata-kata Solor menggantung berat di udara, seperti kabut dingin yang tiba-tiba menyelimuti hati mereka. Keinginan untuk menjadi Pengembara Bulan Sabit, sebuah gelar yang sejak lama mereka impikan, perlahan-lahan tergoyahkan, seolah serpihan harapan mulai runtuh oleh kenyataan yang tak mereka sangka.
Handoko menatap Solor, sorot matanya mulai dipenuhi keraguan. "Batin Pangikrar?... apakah benar ada hubungannya dengan Malapetaka Penutup?" tanyanya lirih.
Solor mengangguk pelan, pandangannya tak lepas dari bara api yang masih membara lembut.
"Setidaknya, itulah yang aku ketahui. Ramalan lama menyebutkan, jika tak ada yang mampu memurnikannya, dunia Chandraklana akan perlahan menuju kehancuran."
Joko menelan ludah, gugup.
"Dulu... orang tuaku sangat melarangku mendekati hal-hal seperti itu, apalagi menyebut nama Batin Pangikrar. Jadi... sebenarnya, apakah Batin Pangikrar itu memang ada, Tuan?"
Handoko menyela, nadanya agak menggoda tapi penuh rasa ingin tahu.
"Joko, memangnya kamu tahu Batin Pangikrar itu apa?"
Joko terlihat kikuk, tapi mencoba menjawab dengan nada sok tahu.
"Lingkaran Kegelapan... kan?"
Kini Agniran ikut menyahut, nadanya tenang namun tajam.
"Maksudmu kamu sudah tahu artinya?"
Joko menghela napas, akhirnya menyerah pada kejujuran.
"Ya... tidak sepenuhnya. Tapi aku pernah dengar. Katanya... itu sesuatu yang dilarang, dapat membawa kita kedalam kegelapan yang bisa menggerogoti kita sedikit demi sedikit... bahkan bisa merembet ke orang-orang di sekitar kita."
Solor tersenyum samar saat mendengar jawaban Joko. Ia tidak terkejut. Ia tahu betul bahwa ketiga pemuda ini, seperti sebagian besar warga Sanajayan, tak pernah benar-benar diberi tahu apa itu Batin Pangikrar. Memang begitulah aturan yang ditegakkan oleh Aliansi. Hukum terlarang yang menyelubungi kebenaran demi menjaga keseimbangan, atau barangkali... demi menutupi sesuatu yang lebih dalam.
Namun malam itu, di bawah langit yang dibungkus bintang dan sunyi Pegunungan Lumut, Solor memutuskan untuk membuka sedikit tabir yang selama ini dikunci rapat.
Dengan perlahan, ia mencondongkan tubuh ke tanah, lalu menggunakan jemarinya yang kokoh namun lembut, menggambar sesuatu di atas debu dan tanah kering. Jemarinya menarik garis membentuk sebuah lingkaran besar, lalu dua, tiga lingkaran lagi yang lebih kecil di dalamnya—sehingga menyerupai bulan sabit yang berlapis. Di tengahnya, ia menarik garis-garis lurus ke berbagai arah, menyerupai arah mata angin.
Pola itu, meskipun hanya goresan di tanah, tampak berpendar samar terkena cahaya api unggun yang menari-nari. Simbol itu seakan hidup, berdenyut di antara bara dan bayangan. Ketiga pemuda itu menatapnya tanpa berkedip—tertegun, takjub, dan penuh rasa penasaran.
Solor menatap mereka satu per satu, suaranya perlahan namun tegas.
"Dengan ini," katanya, "segala benda yang kalian taruh di tengah lingkaran... akan berubah menjadi pusaka. Dan pusaka itu akan mengambil bentuk sesuai keinginan terdalam kalian. Sesuai apa yang kalian butuhkan."
Ketiga pemuda itu melotot nyaris serempak. Mata mereka membelalak antara percaya dan tidak. Apa yang baru saja mereka dengar adalah sesuatu yang selama ini hanya dianggap dongeng, atau lebih buruk, sesuatu yang dilarang keras bahkan untuk dibayangkan.
Namun, di hadapan mereka, kebenaran itu kini menyala pelan, menghangatkan malam sekaligus membakar banyak tanya dalam hati mereka.