Tempat Tinggal Ketiga Pemuda & Percakapan di Tengah Dahan Trembesi

Angin malam bertiup semakin dingin, membawa serta bisikan-bisikan halus yang merayap di antara sela-sela daun dan celah bebatuan. Suasana hutan Pegunungan Lumut seperti membeku dalam keheningan yang berat. Seolah semesta ikut menggantungkan firasat buruk, bayang-bayang malam menebal tanpa suara.

Di tengah kegelapan itu, nyala api unggun mulai meredup, tapi belum padam. Ia berkedip kecil, bergeming dalam sisa-sisa bara, seperti enggan menyerah pada malam yang terasa menekan dari segala arah. Api kecil itu menjadi penanda: bahwa masih ada harapan meski dunia seolah berdiri di tepi jurang kehancuran.

"Aku kira malam sudah berlarut," ujar Solor, suaranya berat namun lembut, "istirahatlah. Tetaplah tertidur malam ini… jika kalian ingin selamat melewati malam di jalur ini."

Ia merapikan celana lusuhnya, bangkit perlahan, dan melangkah menuju akar pohon besar yang menggulung seperti naga tidur. Di sana, ia mengambil ublik kecil dari pelana kudanya, Wus Wus, yang terikat di balik semak.

Pohon trembesi raksasa itu berdiri seperti penjaga tua, batangnya melenggok-lenggok bak bonsai raksasa yang berumur ribuan tahun. Dahan-dahannya meluas lebar, menjulur seperti pelindung, seakan mengundang para musafir untuk bersandar dalam pelukannya.

"Baiklah, kita istirahat dulu," kata Handoko, sambil mengulurkan tangan hendak membantu Agniran berdiri.

Namun Agniran menepis dengan halus. "Aku bisa sendiri," ujarnya pelan, penuh tekad meski tubuhnya masih lemah.

"Kalian tidur di mana?" tanya Joko, sambil memadamkan sisa api unggun yang hanya tinggal bara merah kecil.

Solor, yang sudah separuh tubuhnya memanjat batang pohon trembesi raksasa, menjawab cepat, suaranya memantul dari sela-sela dedaunan,

"Memangnya kalian berani tidur di tempat terbuka seperti itu?"

Kalimat itu langsung menyentak ketiganya. Mereka saling pandang, lalu tanpa banyak bicara, langsung bergegas menyusul Solor, langkah mereka tergesa di antara akar dan lumut licin.

"Oh, Tuan Solor…" Joko berseru, sambil menggapai batang yang lebih tinggi, "setelah dengar cerita Anda tadi, kami jadi merasa seperti ada sesuatu yang mengintai di kegelapan."

Handoko ikut memanjat, berusaha mempertahankan keseimbangan di sela batang melengkung. "Memangnya Tuan Solor mau ke mana? Kenapa ke Pegunungan Lumut?"

Solor menoleh sekilas dari atas, senyumnya mengembang meski wajahnya hanya separuh tampak diterangi ublik, "Tentu saja… menjemput kalian!"

Agniran, yang tampak sudah pulih cukup baik, melompat ringan dari satu dahan ke dahan lain. "Kalau begitu, setelah ini kami ikut denganmu ya, Tuan Solor!"

Namun Solor hanya menggeleng pelan, hampir sampai ke lengkungan besar yang terlihat seperti bilik alami di ketinggian. "Ah, tidak tidak. Tujuan berikutku adalah Wulansana."

Handoko mengangkat alis. "Loh, ke Wulansana? Wah, berarti kita searah dong, Tuan!"

Solor tertawa pelan dari ketinggian, lalu bertanya sambil memanjat santai, "Memangnya kalian ke Wulansana mau ngapain?"

"Sudah dibilang, kami mau daftar, Tuan…" sahut Handoko. "Kami ingin berlatih lebih keras, belajar di padepokan sana, biar bisa jadi lebih layak ikut Sayembara."

Dari atas, Solor mengangguk kecil. "Kalau begitu… kita akan lihat, siapa yang lebih dulu sampai di gerbang Wulansana."

Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di balik itu. Sesuatu yang menyiratkan, perjalanan mereka baru saja dimulai.

Solor sudah sampai di batang trembesi raksasa yang mendatar lebar—cukup luas untuk bersalto tanpa khawatir terjatuh. Ia duduk santai, menggantungkan satu kaki sambil memandangi ketiga pemuda yang masih sibuk memanjat di bawah.

"Kalian mau daftar ke Wulansana?" tanyanya, setengah tersenyum. "Memangnya acaranya digelar di sana?"

"Yaa… meskipun poster resmi belum juga muncul," sahut Handoko sambil menggapai akar gantung yang mengayun, "tapi kami tetap ingin berlatih di masa Ngalam Suro ini, Tuan. Kami akan berjuang mendapatkan hadiahnya!"

"Betul!" Joko berseru dari posisi paling bawah. "Kita pasti rebut hadiah utamanya, Tuan! Itu harus! Karena hadiahnya… sangat berharga!"

Suasana panjat-memanjat yang semula ceria, tiba-tiba berubah saat Solor mengangkat suaranya, kali ini dengan nada datar dan dalam.

"Memangnya kalian tahu… hadiah apa yang akan diberikan di Sayembara Tujuh Tahun kali ini?"

Pertanyaan itu menggantung di udara seperti angin dingin yang menyusup di sela dedaunan.

Handoko sempat terdiam sejenak, lalu menjawab sambil menarik napas, "Kami pernah dengar... katanya sebuah benda ajaib. Hadiah istimewa, khusus untuk Sayembara kali ini."

Solor menyipitkan mata, menimbang-nimbang. "Darimana kalian dengar? Hadiah ini... bahkan belum pasti diumumkan. Masih dirahasiakan. Bisa jadi... batal dijadikan hadiah utama."

Handoko, yang kini berhasil naik ke batang besar, mendekati Solor dan duduk bersila. "Dari padepokan kami, Tuan Solor."

Solor menoleh cepat, nadanya berubah tajam. "Kalian… dari mana?"

Agniran, yang baru saja naik dengan bantuan Handoko, menjawab dengan tenang, "Wijonayem."

Mata Solor membelalak sesaat. Ia tak menyembunyikan keterkejutannya. Nama itu—Wijonayem—bukan tempat biasa. Ia tahu betul siapa yang mengajar di sana.

"Padepokan kami tercinta..." ujar Joko sambil menepuk dadanya dengan bangga begitu berhasil naik ke atas, "Agung Dhijoyowinoto."

Solor terdiam sejenak. Angin menggoyangkan daun-daun di atas mereka, dan keheningan itu menjadi ruang bagi pikirannya untuk merenung. Wandarimo Dhijoyo Respathi... sang Pengembara Bulan Sabit yang menggantikan dirinya.

Akhirnya, dengan mata menatap langit yang penuh bintang, Solor berbaring perlahan di atas lengkungan batang yang nyaman.

"Menarik sekali…" gumamnya pelan, seolah berkata pada diri sendiri. "Mungkin... malam ini lebih penting dari yang aku duga."