Ucapan Selamat Malam Kedua di Pegunungan Lumut

"Jadi... kalian murid Wandarimo?" tanya Solor pelan, sambil mengikat lentera ublik kecil ke ranting yang bersinar menyapu kabut perlahan.

"Betul, Tuan," jawab Handoko. "Bukankah kalian saling mengenal? Dulu sama-sama Pengembara Bulan Sabit, bukan?"

Solor tersenyum tipis, namun lirih. "Ya… sama-sama. Pengembara Bulan Sabit yang gagal."

Handoko perlahan merapat, duduk di sisi Solor. Wajahnya serius, sorot matanya terang dalam cahaya temaram. "Kami akan tetap berjuang memenangkan Sayembaranya, Tuan. Hadiah itu… akan kami rebut."

"Benar, Tuan Solor," timpal Joko, yang kini sedang membetulkan posisi tidurnya di sebelah Agniran. "Kalau kami mendapat hadiah utama itu, katanya... bisa mengangkat batu sebesar kerbau seolah itu kapas!"

Solor menggeleng kecil. Ia masih terkejut dengan seberapa jauh para pemuda ini mengetahui hal-hal yang seharusnya masih rahasia. "Akik Kumenteng… salah satu pusaka yang tercipta dari Batin Pangikrar. Tapi itu—itu sesuatu yang dilarang oleh hukum Aliansi." Ia menarik napas dalam. "Kenapa... bisa dijadikan hadiah?"

Ketiganya saling memandang. Keheningan menggantung di antara mereka.

"Tuan Solor..." bisik Handoko, suaranya hampir tertelan angin malam. "Dulu... Anda dari Padepokan Manunggal Jagad, ya?"

Solor menoleh, masih menatap langit di balik daun trembesi. "Bukan. Aku juga berlatih dari padepokan Lawaran… seperti kalian."

Handoko menunduk, sedikit malu. "Soalnya Tuan tahu banyak tentang Batin Pangikrar… saya kira dari padepokan tersembunyi itu."

Solor tak menjawab seketika. Tatapannya kosong menembus daun-daun yang bergetar ringan diterpa angin. "Aku mempelajarinya bersama pemenang lainnya… dari Wulansana."

Handoko tampak heran. "Anda tidak belajar bersama Tuan Wandarimo? Bukankah beliau dikenal sakti dan... berwibawa?"

Solor tersenyum kecut, sambil mengedarkan pandangannya ke heningnya malam. "Jangankan belajar bersama... Aku ini dulu lebih memilih menjaga rawa di Nawijem, mengusir hewan buas yang masuk desa desa, daripada bingung memikirkan soal Batin Pangikrar." Ia menarik napas pelan. "Kalau bukan karena Samiranah yang terus mendorongku… menyemangati agar tetap belajar dan tidak menyerah… mungkin aku tak akan pernah menyentuh pengetahuan itu sama sekali."

Agniran yang berbaring paling ujung, bersandar di lengkungan batang pohon, membuka suara dengan nada lelah, "Saya mengerti, Tuan Solor… Tapi kami pun penasaran. Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di luar padepokan. Saya harap Sayembara ini bukan hanya soal hadiah, tapi juga... pengalaman hidup yang akan kami kenang."

Solor menoleh sejenak, memandangi wajah Agniran yang mulai lelap. Lalu, ia menatap langit untuk terakhir kalinya malam itu. "Aku mengerti… Aku pun sama. Belajar itu tak mengenal batas waktu…"

Ublik kecil di ranting masih menyala temaram, dan malam Pegunungan Lumut kembali tenggelam dalam keheningan berkabut. Di antara lambaian daun dan nyanyian angin lembut, empat jiwa beristirahat di ketinggian, masing-masing membawa mimpi yang berbeda, namun menuju satu arah: ke Wulansana, ke takdir mereka.

Api unggun di bawah pohon trembesi raksasa perlahan mengepulkan asap tipis terakhirnya. Di atas batang pohon tempat mereka beristirahat, keheningan berubah menjadi pelukan diam yang menyatukan mereka dalam kebersamaan yang tak terucap. Untuk sesaat, tempat tinggi itu terasa seperti kemah daun perlindungan yang aman dari dunia di bawah sana.

Namun suara aneh menggema dari kejauhan, suara samar yang menyerupai keluhan atau bisikan dari kegelapan, menyelusup bersama angin malam yang semakin dingin. Pegunungan Lumut kembali memperlihatkan wajah aslinya: sunyi, angkuh, dan penuh rahasia yang tak terucapkan.

Malam itu masih panjang, dan siapa pun yang berani melintasinya harus siap menatap mata gelapnya tanpa gentar.