Di tengah malam yang beku, udara mendadak menebar sengat yang menusuk tulang, lebih dingin dari seharusnya, seakan Pegunungan Lumut menahan napasnya sendiri. Kesunyian berubah wujud menjadi kehadiran yang menekan, tak kasat mata namun terasa mengintai dari segala penjuru. Hembusan angin lenyap, digantikan oleh aroma semerbak yang manis memabukkan, asing, dan mengandung sesuatu yang tak dapat dijelaskan. Seolah ada panggilan lembut yang menari-nari di kejauhan, menarik jiwa yang lengah.
Dari balik kabut pekat yang menggantung seperti tirai kematian, perlahan muncullah sosok tak wajar. Seekor makhluk menjulang, jauh lebih besar dari lembu hutan, langkahnya anggun namun tak bersuara. Tanduk-tanduknya tinggi menyebar di sisinya yang mencabang seperti ranting pohon tua bagai tumbuh dari mimpi purba. menyiratkan mahkota keagungan sekaligus bahaya. Seluruh tubuhnya seakan ditempa dari emas murni, memantulkan cahaya yang tak berasal dari dunia ini. Kilau itu tak hanya menyilaukan, tapi juga memikat, menggoda, dan pada saat bersamaan... mengancam.
Setiap inci dari sosok itu adalah keindahan yang tak semestinya, cantik mempesona, namun mengandung hawa kutukan yang membungkusnya rapat-rapat. Ia tidak sekadar hadir, tapi meraja, menguasai malam dengan aura yang merontokkan nalar dan menumbuhkan rasa gentar yang tidak dapat dijelaskan.
Joko membuka matanya perlahan. Antara sadar dan tidak, pikirannya melayang di antara batas mimpi dan kenyataan. Hatinya bergetar, diliputi gejolak yang tidak ia mengerti, semacam bisikan halus yang mengaburkan logika dan memancing hasrat. Dan di tengah ketidaktentuan itu, pandangannya menangkap kilauan keemasan di bawah sana.
Di antara sisa kabut yang menggantung di udara, pandangannya terpaku pada sosok menakjubkan yang melangkah perlahan tak jauh di bawahnya. Makhluk itu bagaikan ilusi surgawi yang menjelma di tengah dunia fana. Napasnya tercekat, seperti tertahan oleh sesuatu yang lebih besar dari rasa takut—kekaguman yang membius. Segala keraguan dalam benaknya mencair, luruh dalam satu rasa yang mendominasi: terpesona.
Tanpa sepenuhnya sadar, tubuhnya mulai bergerak. Ia menuruni dahan pohon dengan langkah perlahan namun pasti, seolah jiwanya dituntun oleh tangan tak terlihat. Setiap langkahnya mendekatkan dirinya pada makhluk yang kini melenggang anggun di atas Jalur Lumut yang sebagian diselimuti lumut hijau yang lembap dan tebal.
Cahaya keemasan dari tubuh makhluk itu menari-nari di udara, memantul lembut di permukaan batu dan menyelinap di antara belukar. Kilauannya memahat ruang dan waktu menjadi sesuatu yang hening dan sakral, seolah malam itu terbuka hanya untuknya, sebuah momen tunggal, tak terganggu, di mana dunia menahan napas agar pesona itu tidak pecah.
Kabut perlahan memudar, seperti tirai yang disingkapkan. Segalanya terasa begitu tenang… terlalu tenang. Tapi bukan ketenangan yang menghibur, melainkan yang membuang nalar. Joko berjalan makin dekat dibelakangnya, suatu kesempatan besar sampai matanya tak berkedip, jiwanya seolah ditarik keluar dari tubuh. Dalam genggaman, ia masih sempat menghunus parangnya, kilatan logam dingin di antara kabut dan sinar emas. Ia membayangkan satu bacokan saja… emas itu akan menjadi milik keluarganya.
Namun langkah-langkahnya kini bukan lagi milik dirinya. Ia telah terperangkap dalam pusaran pesona, terseret menuju dunia yang tak kasat mata, tempat di mana keindahan adalah umpan, dan setiap keinginan berubah menjadi jerat. Dan malam pun tetap hening, seolah menahan napas, menantikan akhir dari langkah-langkah yang semakin dalam menuju bayangan.
Namun di sudut lain, jauh dari pusaran pesona itu, Solor terbangun. Ada sesuatu yang mengusik dalam diam, firasat tajam yang menyelinap masuk seperti duri halus di balik angin malam. Ia tidak tahu dari mana datangnya, namun nalurinya, yang telah ditempa oleh malam-malam panjang penuh bahaya, tidak pernah salah.
Matanya terbuka perlahan, tajam dan terlatih, terbiasa menembus gelapnya dunia yang belum dijamah cahaya. Kabut yang bergelayut seperti tirai tipis pun tak mampu menyembunyikan bayang itu. Di antara bayang-bayang dan kelam, ia melihatnya, sosok makhluk yang kisahnya telah bergaung selama ribuan tahun, sebuah legenda hidup yang kini hadir di hadapannya, nyaris tak tersentuh oleh waktu.
"Dadung Kawilis…" gumamnya, hampir tanpa suara, seolah menyebut namanya saja bisa mengundang bahaya.
Dengan gerakan tenang namun penuh waspada, ia menuruni pohon. Telapak tangannya menyentuh kulit batang yang lembap oleh embun, dingin meresap sampai ke tulang. Di dekat sisa-sisa api unggun yang padam, ia menemukan sebongkah batu tajam. Diraihnya benda itu dengan mantap, lalu dalam satu gerakan cepat dan penuh presisi, ia melemparkannya.
Batu itu melesat menembus udara, lalu menghantam tepat ke arah makhluk berkilau itu.
Seketika, tubuh kijang raksasa itu terpecah, bukan darah, bukan jeritan, melainkan ledakan cahaya dan gerakan. Sosoknya menguap menjadi ribuan kupu-kupu emas yang beterbangan, mengisi malam dengan cahaya gemetar yang aneh, indah, namun membuat bulu kuduk meremang. Mereka berputar-putar dalam pola tak tentu, seperti ilusi yang menolak lenyap, sebelum satu per satu menghilang ke dalam kabut yang menggulung kembali.
Agniran, disusul Handoko, terbangun oleh suara ledakan yang menggema seperti retakan kaca di tengah sunyi. Tanpa pikir panjang, mereka meluncur turun dari dahan, kaki mereka menghantam tanah lembap bersamaan dengan jantung yang berdegup cepat.
Di bawah, Joko berdiri linglung. Tatapannya kosong, tubuhnya tak lebih dari cangkang yang kehilangan isinya.
"Joko!" seru Agniran panik.
Mereka segera menyambarnya sebelum tubuh kekar itu ambruk tak sadarkan diri. Tangan mereka sibuk membasuh wajahnya dengan embun yang menetes dari dedaunan, memercikkannya ke kening dan pipi dengan harap-harap cemas.
Beberapa detik yang terasa seperti menit berlalu. Joko terbatuk pelan, dan matanya terbuka lebar dipenuhi oleh keterkejutan dan kebingungan.
"... emasnya... padahal... tinggal sedikit lagi…" bisiknya parau, seperti anak kecil yang kehilangan mainan di tengah mimpi.
Solor mendekat. Tatapannya tajam seperti embun pagi yang menggigit, mengiris tipis harapan yang sempat tumbuh di wajah Joko.
"Makhluk itu pemikat," ucapnya tegas. "Yang terlihat indah... tidak selalu membawa keselamatan."
Mereka semua menengadah. Langit mulai menampakkan semburat biru keperakan, dan sisa kupu-kupu emas melayang tinggi, menipis di antara pucuk kabut yang kian memudar. Dalam diam, perasaan ganjil menyeruak: antara lega dan duka, antara harapan dan kehampaan. Seolah malam yang mencekam akhirnya memberi ruang bagi pagi yang tak sepenuhnya menjanjikan ketenangan, namun tetap berarti.
Saat yang lain mulai membereskan peralatan, bersiap melanjutkan perjalanan, Solor diam. Langkahnya menjejak tanah dengan mantap, lalu berhenti tepat di depan seekor kupu-kupu emas yang tertinggal, sayapnya sobek, mengepak lemah dalam sisa cahaya.
Tanpa kata, Solor menginjaknya.
Seketika, kilau emas itu menguap, berubah menjadi potongan daging kelabang, ulat, dan serangga menjijikkan lain yang mengerumuni tanah basah. Bau logam dan tanah busuk menguar bersamaan. Apa yang semula memesona, kini tak lebih dari kengerian yang menyamar sebagai keindahan.
Mereka terdiam, menyadari: ujung hari itu tidak hanya membawa pelajaran, tapi juga memperlihatkan betapa rapuh batas antara pesona dan bencana.