Perpisahan

Saat matahari perlahan terbit di ufuk timur, kabut yang menyelimuti Jalur Lumut mulai menipis, seperti tirai yang pelan-pelan ditarik oleh tangan alam. Sinar keemasan menyusup di antara pepohonan, membasuh batu-batu paving yang lembap dengan cahaya lembut. Jalur menuju Wulansana akhirnya tampak jelas, membentang sunyi namun menggoda, seolah mengundang mereka untuk melangkah ke babak berikutnya.

"Berhati-hatilah," ujar Solor, suaranya tegas namun menyimpan kehangatan seperti bara yang terpendam. "Keindahan sering kali menipu, menuntun kita ke arah bahaya yang tak terduga."

Ketiganya mengangguk mantap. Pesan itu mereka simpan dalam hati, bukan sekadar nasihat, tapi tanda peringatan yang lahir dari pengalaman nyata.

Tanpa banyak perbincangan, mereka mulai melangkah. Tapi Handoko, yang paling perasa, menoleh dan bertanya, "Tuan Solor... mau berpisah di sini?"

"Tak ada kata perpisahan, aku harus segera sampai ke Wulansana." jawab Solor sambil memeriksa pelana kudanya " Kita sudah sampai di ujung Jalur Lumut, ikuti saja pavingnya, kalian akan segera keluar"

"Kami sangat berterima kasih, Tuan Solor," ucap Agniran, Wajahnya bersinar walau tubuhnya belum pulih sepenuhnya.

Solor meliriknya, ingat akan mimpi semalam yang membekas kuat dalam benaknya. "Bagaimana lukamu?" tanyanya serius, sambil merapikan kulit pelindung di kaki kudanya.

"Berkat ramuan tuan semalam, kini agak siuman," sahut Agniran sambil tersenyum kecil.

Kini Solor berdiri, mengangkat tubuhnya dengan tenang, gerakannya mantap saat menyelesaikan perlengkapannya satu per satu.

 Setelah memastikan segalanya siap, ia menoleh dan menatap Joko dan Handoko. Tatapannya dalam, mengandung lebih dari sekadar perintah.

"Kalian berdua… jagalah Agniran," ucapnya pelan namun penuh penekanan, seperti menitipkan sesuatu yang lebih dari sekadar teman seperjalanan.

Joko yang dari tadi memperhatikan perlahan mendekat " Itu sudah tugasku sejak dulu, Tuan," jawab Joko mantap, merangkul bahu Agniran yang tersenyum malu.

Tanpa banyak bicara lagi, Solor menyelipkan tangannya ke sabuknya, lalu menarik keluar tiga plakat kecil berwarna emas kekuningan, bergambar timbul seekor keong dengan tali anyaman di pinggirnya. Ia menyerahkannya pada Handoko.

"Ini untuk kalian... sebuah tiket ke Warung dan Pondok Kecot, lantai tiga," katanya singkat.

"Tiket apa ini, Tuan?" tanya Handoko, penasaran, sambil memutar-mutarnya di tangan mengamati.

"Nanti kalian akan tahu sendiri ketika kalian kesana."

Solor menaiki kudanya dengan gerakan yang luwes dan mantap. Ia sempat menoleh sekali lagi, menatap mereka satu per satu.

"Ingat... tetaplah hidup." "Sampai bertemu kembali..."

Suara tepukan sendal pada perut Wus wus menjadi aba-aba terakhir. Kuda itu melaju, menjauh perlahan di antara kabut yang kini tercerai oleh cahaya pagi.

Ketiga pemuda itu berdiri sejenak, menatap punggung sosok yang kini semakin kecil di kejauhan. Lalu mereka pun melanjutkan perjalanan dengan langkah kaki mereka sendiri. Mereka tahu, jalannya akan berbeda, nasibnya belum tentu sama, tapi satu hal yang pasti—perjalanan mereka baru saja dimulai, dan rintangan belum akan selesai.