Pagi di danau Wulansana terbentang cerah. Cahaya matahari menari di atas permukaan air yang tenang, menciptakan kilau keemasan yang lembut. Udara sejuk membelai kulit, membawa aroma segar dari pepohonan rindang yang tumbuh di sekeliling danau.
Solor Jayusman tiba di jalan setapak yang mengarah ke tepian air, kudanya yang setia, Wus Wus, mengikuti dengan langkah tenang. Di sana, sebuah perahu kayu kecil sudah menanti. Perlahan mendekat, perahu itu dikayuh oleh seorang tukang perahu berusia matang, berpakaian tradisional rapi, wajahnya dihiasi senyum ramah.
"Selamat datang, Tuan Solor," ucapnya, sambil menundukkan kepala penuh hormat. "Jika Tuan hendak ke kota, izinkan perahu saya mengantar."
Solor mengangguk singkat. Ia melangkah ke atas perahu, suara kayu berderit pelan menyambut pijakannya. Wus Wus ditambatkan pada perahu kecil di belakang, tenang seperti biasa. Angin pagi membelai rambut dan wajahnya, membawa serta aroma air danau yang jernih dan dalam. Perahu pun mulai melaju, membelah cermin air yang seakan menyembunyikan jalan menuju Wulansana yang megah di seberang sana.
Di kejauhan, kota Wulansana mulai mengungkapkan dirinya dari balik tirai kabut yang lembut, seperti sebuah mahakarya surgawi yang muncul dari jantung danau. Kota ini tampak bagaikan dongeng yang menjelma nyata, memancarkan keagungan sebagai lambang perdamaian abadi, harmoni sempurna, dan kemegahan peradaban dunia Chandraklana. Kota ini dibangun menyerupai piramida besar dengan lima lapisan hierarki sosial, semakin tinggi, bangunan semakin megah, mulai dari permukiman rakyat biasa di dasar hingga sampai istana yang menjulang, pusat pemerintahan Aliansi, bermahkotakan menara-menara putih yang menantang langit.
Lanskap kota dihiasi oleh permukaan air danau yang tenang, memantulkan cahaya matahari dengan gemerlap yang mempesona. Setiap riak kecil di atas air seolah memantulkan kilauan emas, menciptakan pendar cahaya yang menyelimuti seluruh kota, memberikan suasana agung yang terasa sakral mengalirkan energi kehidupan, membawa harapan baru yang menyinari setiap sudut kota, menjadikannya sebagai tempat yang bukan hanya indah, tetapi juga penuh dengan janji kedamaian dan masa depan yang gemilang.
Bangunan-bangunan di Wulansana terbuat dari batu putih berukir yang sama, terkenal dengan keanggunan dan permartabatan, sementara budaya masyarakatnya berakar pada tradisi dan festival yang menjunjung tinggi harmoni dengan alam. Hukum anti-pusaka yang ketat dan teknologi pengairan canggih menjadikan Wulansana sebagai kota damai, sekaligus pusat pemerintahan dan perdagangan yang menghubungkan seluruh wilayah Sanajayan.
Beberapa perahu lain melintas, membawa penduduk dan barang-barang menuju dermaga yang sibuk. Suara dayung yang menyentuh air terdengar seperti irama alam yang harmonis. Solor tak bisa menahan decak kagumnya.
Sebagian pengendara berlalu lalang melewati jembatan putih yang membentang lurus menuju gerbang dari keempat sisi arah kota.