Yang tak mengangkat tangan hanyalah Solor, Samiranah, Shidi Sukro, dan tujuh orang lainnya.
Dalam sekejap, ketegangan menyelimuti ruangan seperti kabut dingin yang turun mendadak. Tatapan para petinggi menyapu ke arah mereka—penuh hormat, namun juga keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Seolah mereka baru menyadari bahwa keberanian bukan hanya milik yang mengaku, tapi juga milik yang bertahan dalam diam.
Ratu Wulansana, dengan napas tertahan dan tatapan menusuk cakrawala batin, kembali bersuara.
"Baiklah..." ucapnya perlahan, nadanya tenang namun penuh wibawa. "Kita lanjut ke pertanyaan kedua."
Suasana menegang lebih dalam.
"Perihal peristiwa SAKADIAN yang terjadi beberapa minggu lalu, mengenai para kesatria yang gugur… kami—dengan berat hati—memutuskan untuk tetap mematuhi Hukum Aliansi." Suaranya mengeras sedikit. "Siapapun yang menggunakan Batin Pangikrar… akan tetap dihukum mati. Tanpa terkecuali."
Riuh rendah mulai menyusup seperti gelombang halus yang mengguncang tepian tebing. Rasa tidak percaya mulai terasa. Rasa terluka, lebih-lebih dari para yang diam-diam pernah berharap pengampunan.
Namun Ratu belum selesai.
"...Namun," lanjutnya, "kita akan membangun monumen, untuk mengenang jasa mereka. Mereka yang gugur... dalam ketidaksempurnaan—namun tetap berjuang demi rakyat."
Tiba-tiba, satu suara meledak dari arah kiri ruang sidang.
"Yang Mulia Ratu! Kenapa Aliansi begitu kejam?! Mereka mempertaruhkan nyawa demi keselamatan rakyat, dan yang mereka dapat hanya hukuman?!"
Kerusuhan bisik dan protes pecah dari berbagai sudut.
Salah satu petinggi melangkah maju. Tubuhnya gemetar, tetapi langkahnya tak ragu. Ia menundukkan badan, sangat rendah.
"Yang Mulia... dengan segala hormat, izinkan saya mengundurkan diri dari dewan ini. Hati saya... tak sanggup lagi menanggung keputusan seperti ini."
Ruangan membeku.
Ratu menatapnya. Tajam. Tegang. Tapi tak berkata apa pun. Ia hanya memalingkan wajah ke arah Wandarimo, yang berdiri tenang di dekat tiang pilar, wajahnya datar seperti batu. Emosi sulit terbaca. Tapi sorot matanya tajam, nyaris menusuk.
Ratu kembali menatap ke tengah ruangan. Suaranya lebih lembut sekarang, hampir rapuh.
"Adakah yang ingin berbicara... sebelum keputusan ini ditetapkan?"
Hening.
Lalu, dari sisi ruangan, langkah pelan terdengar. Ringan. Tapi setiap tapaknya seperti membelah kebekuan udara.
Solor maju. Tubuhnya kecil di antara megahnya arsitektur Graha Penyangga Langit, namun dari postur dan sorot matanya terpancar keyakinan yang teguh.
Ia menatap Ratu dengan hormat, lalu menunduk dalam-dalam.
"Yang Mulia..." suaranya bening, tenang, tapi menusuk. "Saya adalah saksi hidup peristiwa SAKADIAN. Saya melihat sendiri bagaimana seorang warga berubah menjadi pembantai hanya karena pusaka itu muncul di tangan yang salah."
Suara Solor menurun. Rasa getir menggumpal di dadanya, namun ia terus berbicara.
"Pengguna pusaka yang dihukum mati itu... memang bersalah. Namun, kesalahan terbesar ada pada kita. Pada ketidakmampuan kita menjaga agar kekuatan seperti itu tidak menyebar. Kita tidak hanya menghukum pelaku... kita menghukum akibat dari kelengahan kita sendiri."
Ia kembali membungkuk. Kali ini lebih dalam.
"Maka saya memohon... agar Akik Kumenteng tidak dijadikan hadiah dalam Sayembara mendatang."
Sebelum keheningan tumbuh liar, Samiranah melangkah maju dan berlutut di samping Solor. Wajahnya tegas, tapi matanya merah menahan gejolak.
"Yang Mulia… ini baru awal. Jika kita membiarkan pusaka itu kembali diumumkan, kekacauan akan menjalar. Saya mohon, dengan segenap hati—pertimbangkan kembali keputusan ini."
Sejenak hening. Angin terasa menahan napasnya.
Namun Wandarimo tak tinggal diam. Ia maju. Wajahnya keras, sorot matanya membakar.
"Lantas, apa solusimu, Solor?" ujarnya tajam. "Apa kita akan terus menyembunyikan kebenaran? Terus menggantungkan nasib rakyat pada ketakutan? Berapa banyak lagi yang harus mati karena kita terlalu sibuk menjaga rahasia?!"
Samiranah berdiri perlahan, menatap Wandarimo tanpa gentar.
"Itu takdir kita," jawabnya lirih namun dalam. "Sebagai manusia... kita diberi akal, bukan untuk memuaskan hasrat kekuasaan, tapi untuk menahan diri. Menggunakan pusaka berarti mengundang kegelapan. Dan itu yang ingin kita hindari."
Ratu Wulansana mengangkat tangan.
"Cukup," ucapnya pelan, namun tegas.
Ia berdiri. Tubuhnya tampak goyah—bukan karena kelemahan, tapi karena beban yang terlampau besar. Ia memandang semua yang hadir, lalu menatap langit-langit graha yang menjulang tinggi.
"Aku tahu betul... apa yang kita hadapi. Kita sedang berdiri di tepi jurang, dan di balik kabut, hanya ada satu cahaya kecil yang masih tersisa: harapan bahwa Batin Pangikrar bisa disucikan. Tanpa itu… Malapetaka Penutup akan jadi kenyataan. Bukan dalam legenda. Tapi dalam hidup anak cucu kita."
Wandarimo melangkah ke depan, kini lebih tenang. Suaranya dalam.
"Akik ini bukan sekadar hadiah. Ini adalah panggilan. Hanya Pengembara Bulan Sabit sejati yang bisa menggunakannya dengan benar. Kita tidak sedang memilih pemenang, tapi sedang memanggil penyelamat."
Shidi Sukro akhirnya maju, mengangkat suara yang sejak tadi ia tahan.
"Namun... bagaimana dengan Hukum Aliansi? Apakah keadilan hanya berlaku pada yang lemah?"
Ratu menjawab tanpa ragu, "Hukum Aliansi adalah pilar negeri ini. Dan siapapun yang menggunakan Batin Pangikrar, akan dihukum mati. Tanpa pengecualian."
Wandarimo mengangguk. "Saya menerima risikonya. Tapi ingatlah… musuh kita bukan para kesatria yang melindungi desanya. Musuh kita adalah mereka yang menyebar kegelapan, dengan sengaja, demi kehancuran."
Teriakan pecah dari sudut ruangan.
"Wandarimo! Kau mendukung pelanggaran hukum?! Itu melanggar warisan leluhur!"
Perdebatan mulai menghangat, nyaris meledak…
Namun tiba-tiba, pintu besar Graha Penyangga Langit berderit terbuka. Semua kepala menoleh. Seberkas cahaya siang tersorot memasuki ruangan dari gerbang yang terbuka lebar seolah memberi harapan.
Seorang pria tua muncul, berjalan perlahan dengan tongkat kayu bertatahkan batu hitam di tangan. Tubuhnya membungkuk, wajahnya penuh keriput, namun mata itu masih menyala. Cahaya yang menyiratkan kebijaksanaan... dan badai yang telah dilaluinya.
Para pengawalnya mengiringi di belakang, namun tak satu pun yang berani menyentuhnya. Ia berjalan seperti pemilik waktu, seolah derap langkahnya adalah gema masa lalu yang tak ingin dilupakan.
Keheningan melanda.
Beberapa hadirin membelalak, sebagian berbisik, tak percaya menyaksikan sosok yang selama ini mereka anggap telah tenggelam dalam bayang-bayang usia.
Pria tua itu berhenti di tengah ruangan, lalu mengangkat wajahnya.
"Maaf... saya terlambat." Suara itu dalam. Pelan. Namun menggema bagai bunyi gong di tengah malam.
Pandangannya menyapu ruangan. Menembus wajah-wajah yang mematung. Hingga akhirnya berhenti pada sosok Ratu Wulansana.
"Ada sesuatu yang harus kalian dengar."