Di Bawah Bayang Pusaka - SIDANG ALIANSI 3

Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Ratu Wulansana berdiri dengan anggun dan pasti, telapak tangannya terangkat tinggi di udara. Gaun kebesarannya yang bersulam benang emas memantulkan cahaya matahari dari kubah, seolah-olah langit pun menundukkan diri pada keberaniannya. Tak ada suara. Hanya detak jantung para hadirin yang bergema di kepala mereka sendiri, keras dan tak menentu.

Satu per satu, tangan-tangan mulai terangkat. Perlahan. Dengan berat hati. Dengan getir dan pengakuan pahit. Para petinggi, para tetua, para jenderal dan utusan dari berbagai kota. Masing-masing menunjukkan bahwa mereka pun telah menyimpan benda yang dilarang. Pusaka yang lahir dari Batin Pangikrar.

Wandarimo, yang sejak tadi berdiri diam di sudut ruangan, menundukkan kepala. Bukan sebagai pengakuan, tetapi sebagai bentuk kemenangan. Ia tahu ini akan terjadi. Bahwa pengakuan ini adalah batu pertama yang akan mengguncang dasar dunia mereka. Dan di belakangnya, Samiranah tetap berlutut, namun kini dengan mata membulat, penuh ketidakpercayaan.

"Ini bukan pengkhianatan," ucap Ratu akhirnya, dengan suara bergetar namun tetap lantang. "Ini adalah kegagalan bersama. Kita semua tahu. Kita semua terlibat. Maka sudah waktunya kita tidak lagi bersembunyi di balik hukum yang kita sendiri langgar dalam diam."

Suara pelan-pelan kembali hadir. Gumaman. Rasa takut. Rasa haru. Tapi juga secercah kelegaan. Seperti udara yang akhirnya bisa dihirup dalam setelah lama ditahan.

Shidik Sukro menatap ke arah Samiranah yang masih bersujud. Kemudian ia melirik Wandarimo, dan akhirnya kepada Solor yang berdiri di pojok ruangan. Tatapan mereka saling bertemu, dan dalam hening itu, ada satu pemahaman yang tak perlu diucapkan: ini adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar.

Ratu melanjutkan, "Kita telah melarang penggunaan pusaka karena ketakutan kita akan kegelapan. Namun pusaka bukan sumber kegelapan. Manusialah yang menodainya. Maka jangan jadikan hukum sebagai tameng untuk menindas kebenaran. Kita harus menyusun ulang jalan kita. Dengan keberanian. Dengan keterbukaan."

"Namun bagaimana dengan hadiah sayembara?" tanya salah satu petinggi. Suaranya gemetar. "Apakah kita akan tetap memberikan Akik Kumenteng kepada generasi baru?"

Ratu memandang ke arah Samiranah. "Bangkitlah, wahai Samiranah Angsana Wulandarsa."

Samiranah perlahan bangkit, wajahnya masih menunduk.

"Kau bertanya dengan keberanian," ucap Ratu. "Dan meski kau belum tentu setuju dengan jawabanku, dengarlah baik-baik. Akik Kumenteng akan tetap menjadi hadiah. Tapi tidak sebagai senjata. Bukan untuk membunuh. Bukan untuk memerintah. Ia akan menjadi simbol... bahwa pemiliknya telah mewarisi beban masa lalu, dan tanggung jawab untuk memurnikannya."

"Apakah itu tidak berisiko?" bisik salah seorang anggota.

"Segalanya berisiko," jawab Ratu, tajam. "Tetapi tidak bertindak jauh lebih berbahaya."

Dalam keheningan yang menyelimuti, Solor merasakan sesuatu bergetar dalam dirinya. Sebuah pergeseran. Seakan suara batin yang selama ini ia abaikan akhirnya berani berbicara.

Ia tahu, saat ia melangkah keluar dari ruangan ini, dunia tidak akan sama lagi.

Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa... siap.