Matahari pagi telah naik tinggi, menyusup melalui kubah kaca Graha Penyangga Langit. Cahaya keemasan menari-nari di lantai marmer putih, membias pada gemerlap lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit, menciptakan kilauan seperti berjuta bintang yang menonton dari atas sana. Namun di dalam ruangan itu, cahaya justru menegaskan bayang-bayang kecurigaan dan ketegangan yang menggantung di udara.
"Itu... mengerikan, Wandarimo. Kami tidak akan membiarkan hal seperti itu terulang lagi," seru seorang petinggi dari sudut lingkaran, nadanya tajam bagaikan belati. "Jangan sesekali melangkahi hukum Aliansi. Kita hadir di sini... bukan sebagai pemilik kebenaran masing-masing, tapi penjaga tatanan."
"Berhati-hatilah terhadap ide-ide penuh bahaya itu," lanjutnya, matanya menusuk ke arah Wandarimo seperti ingin mengunci geraknya.
Namun pria itu—Pengembara Bulan Sabit yang telah lama pensiun namun masih menyimpan bara di dadanya—hanya berdiri tegak. Matanya tenang, namun sorotnya menyimpan tantangan. "Waktu tidak menunggu kita bersidang. Dunia di luar tak bisa terus kita kelabui dengan hukum yang terlalu lambat mengejar kenyataan," ujarnya, suaranya menggema, menembus gema dinding batu putih bertatah awan dan bintang.
"Kalau begitu hapus saja hadiah itu!" bentak suara lain dari sisi kanan, seorang perwakilan tua yang dikenal keras kepala.
"Benar, Yang Mulia Ratu," sahut Samiranah sambil menekuk lutut, menyentuh lantai dengan sikunya, wajahnya menunduk dalam hormat yang bercampur kegelisahan. "Mohon... cabutlah Akik Kumenteng dari daftar hadiah resmi. Benda itu bukan sekadar batu. Ia nyawa masa depan."
Seketika ruangan sunyi, seolah semua napas tertahan. Ratu Wulansana yang duduk anggun di singgasana utamanya, mengenakan kebaya kebesaran berhias kilau permata putih keemasan, memandang Samiranah tanpa berkedip. Tatapannya tajam, namun di balik itu terpancar kedalaman hati yang menimbang sesuatu yang lebih besar dari sekadar keputusan resmi.
Sebelum sang ratu menjawab, suara lain bangkit dari sisi ruangan.
"Yang Mulia Ratu... Mohon, izinkan saya bicara," ucap seseorang dengan suara tenang, tapi tegas. Nada keprihatinannya tak asing bagi Solor, yang duduk di antara para pengamat terpilih.
Ratu Wulansana mengangguk ringan. "Majulah."
Seseorang berdiri. Tubuhnya tinggi dan kurus, rambutnya memutih di pelipis, namun sorot matanya menyala seperti api yang tak pernah padam.
Itu adalah Shidik Sukro si ahli perhitungan yang cerdas.
Langkahnya perlahan menuju pusat lingkaran. Ia menunduk hormat, lalu berkata, "Yang Mulia Ratu, para petinggi yang saya hormati... sebagai seorang mantan Pengembara Bulan Sabit, saya datang bukan membawa keberanian, tetapi beban. Dan hari ini, izinkan saya bertanya, karena pertanyaan adalah satu-satunya jalan menuju kejujuran."
Ruangan membeku. Beberapa mata membelalak. Solor merasa jantungnya berdebar tak beraturan.
"Apakah benar... seperti yang dikatakan Wandarimo," ujar Shidik, suaranya mengalun jelas, "...bahwa sebagian besar dari kalian yang hadir di ruangan ini telah menyimpan pusaka—meski tidak menggunakannya?"
Guncangan merambat perlahan. Wajah-wajah yang tadinya penuh wibawa kini mulai saling melirik, cemas, gugup, atau pura-pura tak peduli.
"Tapi itu belum semuanya," lanjut Shidik. "Saya juga ingin menyinggung peristiwa Sakadian, di mana seorang kesatria telah mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan warga desa dari tanah longsor... namun apa balasannya? Hukuman mati, karena ia menggunakan pusaka!."
Nada suaranya mulai bergetar, namun bukan karena ketakutan, melainkan oleh gejolak hati yang ditahannya bertahun-tahun.
"Apakah hukum kita... masih bisa disebut adil, bila yang melindungi nyawa justru dilenyapkan? Apakah kita tidak sedang menyembunyikan ketakutan kita sendiri di balik dinding hukum, sambil membiarkan rakyat menanggung akibatnya?"
Ruangan menjadi lautan keheningan yang mendesak. Tak seorang pun berani berbicara. Di antara mereka yang biasa bicara lantang, kini hanya terdengar suara air mancur kecil di tengah ruangan.
Shidik kembali membungkuk. "Mohon maaf atas ketidaksopanan saya. Tapi saya rasa... sudah waktunya kita jujur."
Lalu…perlahan, tenang, namun penuh kekuatan yang sunyi..Ratu Wulansana bangkit dari duduknya.
"Dengan seluruh kebijaksanaan yang diwariskan padaku," katanya, suaranya sehalus embun namun seberat batu penopang kerajaan, "...aku akan menjawab pertanyaanmu, Shidik Sukro."
Matanya menyapu seluruh ruangan, satu per satu, seakan melihat bukan hanya tubuh, tapi nurani tiap-tiap hadirin.
"Bagi yang menyimpan pusaka, meskipun tidak menggunakannya... angkatlah tangan kalian."
Seperti guntur yang tak bersuara, ucapan itu mengguncang setiap hati. Seperti dobrakan dahsyat pada gerbang tua sebuah candi yang telah lama runtuh, diterjang oleh sinar pagi yang membelah kabut dan menembus sela-sela reruntuhannya, menyingkap jalan yang selama ini tersembunyi dalam bayang. Cahaya itu datang bukan sekadar menyinari, tetapi seolah menggempur, memecahkan diam dan kelam yang selama ini bertahan, membuka celah di antara batu-batu bisu yang tak pernah lagi mengenal cahaya.
Tak ada yang bergerak. Hanya detik jam air di sudut ruang yang berdetak di antara jantung yang terpukul.
Dan akhirnya... dari pusat lingkaran, dari singgasana yang selama ini tak tergoyahkan...
Tangan itu terangkat.
Ratu Wulansana sendiri yang pertama kali mengangkat tangannya.
Bagaikan petir yang menyambar diam, setiap pasang mata terbelalak.
Sebagian hadirin menunduk. Sebagian menarik napas tajam. Sebagian menatap kosong, seolah dunia telah berubah dalam satu detik.
"Karena kebenaran," bisik sang Ratu, "...tidak akan pernah bisa tumbuh di atas kebohongan, seindah apa pun bunganya."
Kolam kecil di tengah ruangan memantulkan bayangan wajah para pemimpin Sanajayan—dan di dalamnya, terlihat getaran air yang halus, seolah merespons ketegangan jiwa-jiwa yang duduk di sekelilingnya.
Hari itu, kebenaran tidak hanya disebutkan.
Ia berdiri.
Dan semua yang mendengarnya, tidak akan pernah bisa melupakannya.