Pagi itu, cahaya mentari menyelinap ke dalam kubah kaca tinggi Graha Penyangga Langit, memantul di ribuan kepingan kaca pada lampu gantung raksasa yang bergelantungan anggun di tengah langit-langit. Ruang utama, yang biasanya hening seperti candi meditasi, kini dipenuhi langkah-langkah resmi dan bisik-bisik politik yang menggema dari dinding batu putih, seakan gema masa lalu ikut hadir menyimak.
Ukiran motif awan dan bintang menghiasi dinding, memeluk ruang yang disusun dalam lingkaran. Di tengahnya, sebuah kolam air mancur putih bergemericik tenang, memantulkan cahaya ke bangku-bangku batu yang melingkar rapi. Di sanalah duduk para perwakilan dari seluruh penjuru Sanajayan, semua hadirin mengenakan pakaian kebesaran yang seragam khas Wulasana : beskap putih berselendang emas bagi kaum pria, dan kebaya berpayet cemerlang bagi para wanita dengan rambut mereka tersanggul rapi beraksesoris permata lokal.
Di bangku tertinggi, menghadap seluruh peserta, duduk Ratu Agung Wulansana—anggun dan agung dalam balutan kebaya putih berhiaskan sulaman emas halus. Senyumnya tenang, namun matanya tajam menyapu seluruh ruangan, seolah mampu membaca getaran hati masing-masing tamu.
Suara pembawa acara menggema melalui ruangan megah, membuka sidang dengan nada khidmat:
"Yang Mulia Ratu, para sesepuh, dan para wakil yang terhormat. Pada pagi yang diberkahi ini, kami menghadirkan hasil peninjauan terakhir terhadap benda yang telah menjadi pokok pembicaraan banyak kalangan—Akik Kumenteng. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan oleh para ahli pusaka dan pengamat spiritual Aliansi, kami menyimpulkan bahwa batu ini... tidak terjangkit oleh noda Batin Pangikrar. Justru, ia menunjukkan gejala yang belum pernah tercatat sebelumnya: ketenangan mutlak."
Sejenak sunyi. Lalu dua penjaga maju dari sisi kanan dan kiri, membawa bangku pajangan tinggi berlapis kain putih berbingkai emas. Seorang lainnya mengikuti di belakang, mengusung sebuah piring perunggu besar dengan penutup baskom emas berukir.
Mereka berhenti di dekat air mancur. Dengan gerakan lambat dan penuh hormat, penutup piring diangkat, memperlihatkan Akik Kumenteng: sebuah batu akik berwarna hijau tua dengan semburat kuning keemasan di tengah, yang tampak berdenyut lembut seperti makhluk hidup yang sedang bermeditasi dalam keheningan.
Suara pelan terdengar dari beberapa barisan:
"Seharusnya kota ini membakar benda itu…"
"Tapi tidak ada percikan... tidak ada asap..."
Lalu seorang penjaga mendekat, membawa mangkuk emas berisi garam halus. Ia menunduk hormat, lalu menaburkan garam itu ke permukaan batu. Semua mata terpaku.
Tak ada nyala. Tak ada letupan. Tidak pula bau logam terbakar seperti biasanya ketika benda pusaka dari Batin Pangikrar diuji. Namun batu itu tetap hening, bahkan lebih sunyi dari sebelumnya.
Langkah selanjutnya: seorang pengawal muda diminta mengenakan Akik Kumenteng di jari telunjuknya. Ia maju ke tengah ruangan, menunduk, lalu dengan satu tangan mengangkat kolam marmer putih bagai tukang kebun memetik bunganya.
Masih tak ada reaksi.
Biasanya, benda pusaka akan memunculkan SAKADIAN, sebuah sorotan cahaya putih menjulang tegak menembus langit yang menandakan pusaka itu digunakan. Tapi kali ini, tak ada yang muncul.
Ratu Wulansana lalu berdiri, mengenakan busana kebesaran berwarna putih lembut dengan bordiran emas yang berkilauan di bawah cahaya. Suaranya tegas, namun menenangkan:. Semua langsung diam.
"Sanajayan sekalian. Hari ini, kita tidak hanya menyaksikan kekuatan, tapi juga ketenangan. Akik Kumenteng bukan benda yang harus ditakuti, ia adalah pertanda. Bukan pusaka yang lahir dari keangkuhan, tapi mungkin, dari harapan."
Ia menoleh ke sisi kanan, ke arah seorang pria tua yang duduk tegap, matanya setajam mata keris: Wandarimo Dhijoyo Respathi.
"Dengan restu dari Wandarimo, pemilik sah Akik Kumenteng, dan berdasarkan keputusan mayoritas dari para pemimpin kota, Aliansi memutuskan bahwa batu ini akan menjadi hadiah utama dalam Sayembara Tujuh Tahunan yang akan datang."
Suasana ruang mulai bergerak pelan. Ada yang mengangguk, ada pula yang mengerutkan kening.
Ratu mengangkat tangannya, dan melanjutkan, kali ini dengan suara yang lebih dalam dan perlahan:
"Kami sadar langkah ini bukan tanpa risiko. Tapi kita tidak bisa hidup selamanya dalam ketakutan. Jika benar ini adalah awal dari pemurnian Batin Pangikrar, maka biarlah pemurnian itu datang melalui keberanian, bukan kejumudan. Dan jika ini adalah awal dari Malapetaka Penutup... maka biarlah kita hadapi bukan sebagai pengecut, tetapi sebagai penjaga yang telah berjanji."
Ia berhenti sejenak, menatap ke arah Wandarimo, lalu menyapu pandangannya ke seluruh perwakilan kota.
"Kami tidak melangkah dalam kebutaan. Kami melangkah karena kami percaya. Kami percaya pada integritas seorang Wandarimo, Pengembara yang telah mempertaruhkan nama dan kehormatannya demi menyerahkan benda ini secara terbuka. Kami telah menguji batu ini, namun yang tak kalah penting, kami telah menguji kejujurannya. Dan kami tidak menemukan cela."
"Jika ia yang pernah mengemban gelar Pengembara Bulan Sabit percaya bahwa batu ini layak menjadi harapan, maka kami, para pelindung Sanajayan, memilih untuk berdiri bersamanya."
Ia menunduk sejenak.
"Kami membuka ruang. Siapa yang ingin mengajukan pertanyaan atau keberatan, silakan menyampaikan pendapatnya di hadapan Aliansi."
Dan dari sisi barisan barat, suara kursi ditarik pelan. Seorang perempuan berdiri perlahan.
Samiranah Angsana Wulandarsa, Pengembara Bulan Sabit yang masa baktinya akan berakhir dalam waktu bebrapa bulan lagi, melangkah maju dengan sorot mata tajam dan langkah mantap.
"Yang Mulia Ratu, dan para sesepuh Aliansi. Saya hadir di sini bukan hanya sebagai Pengembara Bulan Sabit, tapi sebagai penjaga janji yang diwariskan kepada kami sejak seribu tahun silam. Saya menggugat keputusan menghadiahkan Akik Kumenteng dalam sayembara mendatang."
Terdengar bisik-bisik. Beberapa perwakilan dari kota Ampringan dan Wartojayan saling bertukar pandang.
"Akik Kumenteng," lanjut Samiranah, "bukan benda biasa. Ia adalah pusaka. Ia mengandung unsur Batin Pangikrar, dan… dengan menampilkannya di hadapan khalayak, kita membuka gerbang kepada pengetahuan terlarang. Pengetahuan yang bisa membangkitkan kembali kegelapan."
Seorang petinggi dari Alingkukoh menyela, dengan suara berat dan nada skeptis. "Tapi bukankah kita sudah terlalu lama takut pada bayang-bayang masa lalu? Pusaka ini... berbeda. Ia tidak terjangkit kegelapan. Mungkin justru inilah jalan terang."
Samiranah menoleh pelan, tidak tersinggung, tapi juga tidak goyah. "Pengetahuan tentang pusaka dan Batin Pangikrar adalah awal dari pelanggaran. Dan pelanggaran akan menuntun pada... Malapetaka Penutup."
Ruangan hening sejenak. Kata itu—Malapetaka Penutup—menggantung seperti guruh yang belum menggelegar.
Seorang tua dari Winihdibyo mengangguk perlahan. "Aku ingat ramalan itu. Dan aku tak ingin keturunanku hidup dalam masa yang disebut 'penutup manusia' oleh relief kuno."
Namun yang lain, dari kota wilayah utara bernama Gendrayasa, berseru: "Ramalan bisa ditafsirkan! Mungkin ini bukan awal malapetaka, tapi akhir dari penantian. Mungkin sang penyelamat hanya bisa datang jika kita mengizinkan cahaya muncul ke permukaan!"
Semakin lama suasana memanas. Pro dan kontra bertukar argumen. Beberapa mulai berdiri, suara meninggi, hingga seorang suara tua namun tenang mengalun di antara mereka.
Wandarimo Dhijoyo Respathi—berdiri perlahan dari bangkunya.
"Aliansi boleh berselisih pendapat. Namun ingat, siapa yang membawa api ke tengah manusia harus tahu, bahwa api tak mengenal benar atau salah. Ia hanya membakar."
Hening. Semua menoleh.
"Tapi jika kita hanya duduk menunggu gelap, tanpa menyalakan apapun… maka kita juga telah membiarkan segalanya tenggelam."
Matanya menatap Ratu Wulansana.
"Yang Mulia, keputusan ini tidak hanya menyangkut sayembara. Ini tentang warisan masa depan. Biarlah keputusan ini menjadi beban sejarah, bukan beban kebimbangan."
Ratu belum berbicara. Tapi tatapannya dalam. Di sudut lain ruangan, Solor, yang duduk sebagai undangan kehormatan, menatap kosong pada kolam air mancur. Di sana, riak air memantulkan cahaya... seperti Akik Kumenteng memantulkan cahaya harapan, atau malapetaka.