Bouvine

"Soal takdir... Tak ada yang tau bukan?"

Jari kecilnya yang lentur mulai membentuk sesuatu di kertas dengan pensil kesayangannya. Menghias gambaran sebagus mungkin agar enak dipandang siapapun termasuk dirinya sendiri, sekalipun tanpa wajah.

Ya, wajah. Setiap pelukis pasti memiliki point utama saat menggambar manusia adalah wajah. Tapi, tidak untuk Jeane. Tipe laki-laki versi dia sering ganti-ganti.

Yang ada di otaknya saat ini adalah berusaha menjadi pelukis terkenal sampai ke mancanegara. Memperoleh uang untuk membantu ayahnya yang hanya memiliki usaha pijat. Ya, itulah yang ia bisa pikirkan sebagai anak yang bukan terlahir dari keluarga bangsawan.

Kemiskinan yang diperbuat ayahnya. Abian itu terlalu baik sampai rela bekerja memijat orang lain tanpa dibayar dengan alasan mereka banting tulang untuk menghidupi anak istrinya. Lalu, apa kabar dengan mereka yang hanya bergantung dengan usaha sang ayah dan sialnya usaha ini tidak menghasilkan uang.

"Lebih baik berhenti saja punya usaha pijat dan memulai usaha dilampu merah."

Itu yang biasanya adiknya Jovan katakan pada Ayah dan Ibu, saat ia sudah muak membantu mengolah minyak untuk pijat, atau sekedar membantu menerima pelanggan hingga sore membuat anak itu kehilangan waktu berkumpul bersama teman-temannya.

Jeane sendiri juga sangat lelah.

"Kalian sudah dengar beritanya?" pekik seseorang dalam kelas membuat para gadis yang lain melihatnya dengan antusias termasuk teman-temannya.

"Aku dengar, aku dengar. Pangeran tampan itu akan satu sekolah dengan kita, 'kan? OMG! Aku terlalu semangat untuk menyambutnya hari ini!" Jeritnya menghampiri sang pemberi kabar.

"Katakan padaku, Rosie! !pa aku terlihat cantik hari ini?" Gadis berponi yang satu ini selalu saja antusias saat mendengar kabar pemuda yang tampan.

Rosie mengacungkan jempolnya menanggapi ocehan Leanna lalu kembali lagi menempelkan jempolnya pada ponsel miliknya. Tentu saja berita itu sampai ke universitas mereka bukan karena televisi. Melainkan bakat penguntit Rosie lah yang memberitahukan pada seluruh jurusan.

Entah darimana gadis itu dapat kabar.

Kedua gadis yang lebih tua hanya menyibukkan diri mereka masing-masing. Tidak tertarik bagaimana tampannya pangeran, oh putra mahkota di negeri mereka tercinta ini. Menurut Jeane, ini bukanlah negeri dongeng. Dan ia tak percaya dengan keajaiban.

Lain lagi kalau pikiran Jesslyn. Gadis berkaca mata dengan wajah bak dewi yunani itu hanya memikirkan bagaimana nasib anjingnya yang sedang sakit, si Dalgom. Sampai tak sempat untuk belajar atau membahas tentang siapapun, atau dia akan marah.

"Leanna! Aku yakin dia tak akan melirikmu. Lagipula, aku dengar dari Rosie, sang pangeran sangat dingin. Iya, 'kan?" Senggol Jeane mulai jengah melihat kelakuan Leanna yang berlebihan.

"Begitu sih, yang aku dengar. Tapi, 'kan, jangan menyerah. Siapa tau dia jodoh salah satu dari kita," sahut Rosie dengan wajah menyengir.

"MIMPI!" Sarkas Jesslyn menjitak kepala Rosie agar tidak berpikiran aneh-aneh lagi.

"Kalau aku jadi istrinya, minimal tidur dengannya, apa bayiku akan jadi putri dan pangeran?" celetuk Leanna lagi.

"Oke Lean, kali ini kau menghalu lebih dari Jeane." Tunjuk Jesslyn pada Leanna kemudian ke arah Jeane.

"Kenapa aku?" sungutnya tak terima.

"Kau juga sering menghayal dengan pemuda yang kau lukis tanpa wajah itu. Aku ingatkan!"

"Cih!"

"Persiapkan diri kalian! Mobil kerajaan datang!"

Teriak seseorang membuat satu universitas riuh dan berbondong-bondong untuk ke lapangan. Melihat bagaimana indahnya ciptaan tuhan secara langsung bukan lagi, dari layar televisi saja. Mereka takut termakan efek kamera.

Begitupun Leanna dan Rosie yang begitu antusias. Keduanya menarik Jeane dan Jesslyn untuk bergabung bersama siswi lainnya. Bersesakan membuat perut Jeane bergolak karena bau parfum yang tercampur.

"Ayo cepat pakai bedak ini, siapa tau dia melirikmu." Gadis berponi itu menyodorkan bedak mahalnya pada Jeane bertuliskan M.A.C di atasnya. Sementara Jeane menggeleng.

"Ayolah ... jangan mau kalah dengan yang lain. Sayang, ikuti aku! Hanya bibir kita berdua yang seksi di sini!" Teriak Leanna di tengah keramaian.

"Tidak usah berlebihan! Aku yakin orang kaya apalagi tampan pasti sombong. Dia tak akan melirik barisan para gadis yang memujanya!" Balas Jeane meninggikan suaranya agar Leanna sadar.

"Hey!"

"Pangerannn!! Huhuuu!"

Mereka sontak menoleh ke arah yang dipuja-puja. Menampilkam sosok pria jangkung dengan pakaian kasualnya baru saja keluar dari mobil kerajaan. Para pengawal berusaha menahan para gadis yang berdesakan demi pangeran tampan mereka.

"Dia hanya pakai kaos CELINE! ?engapa wajahnya seratus kali lebih tampan dari di televisi!" teriak Leanna di angguki para gadis yang lain. Bahkan kamera ponsel tak lepas dari mereka semua.

Hell no! Leanna? Hanya?

Keadaan semakin heboh saat sang pangeran melangkahkan kaki panjangnya masuk ke dalam tanpa menghiraukan teriakan dari para fans yang memuja berlebihan. Pemuda itu hanya menunduk dengan topi putihnya membuat sebagian wajahnya tertutup.

Jeane akui, mungkin, siapa saja akan mengakui kalau pangeran mereka ini tampan. Bisa dipastikan memiliki calon yang cantik dari darah bangsawan juga. Jadi, wahai rakyat jelata, jangan berharap! Realita tak seindah kisah cinderela dan sepatu kaca.

■■

"Im home! Madam where are you?" Teriak gadis itu setelah memasuki rumah kecilnya.

Namun, saat kakinya melangkah lebih jauh, tiba-tiba sebuah garpu mendarat di atas kepalanya. Sontak saja Jeane mendongak. Siapa lagi pelakunya kalau bukan adiknya yang sialan itu.

"Jovan! Kau membuat kepalaku benjol!"

"Berhenti teriak bastard! Aku sedang tidur! Kenapa kau pulang sore sekali? Kuadukan ayah ya kalau kau punya pacar! Dan satu lagi tidak usah sok bahasa inggris!" kelakarnya dengan wajah kusam.

"Sialan! Kau memanggilku apa? Kuadukan Ayah ya biar nanti mulutmu di lakban sekalian!" jerit Jeane tak kalah nyaring.

Gebrakan pintu reot kamar Jovan jadi penutup drama perkelahian antar dua saudara ini. Sepertinya anak itu memang mengantuk, tidak biasanya Jovan tidak menjawab saat berkelahi. Dan keadaan rumah yang sepi juga memberi jawaban kalau orang tua mereka tak ada.

Makan malam kali ini diisi dengan perang dingin antar Jovan dan Jeane. Couple JJ dari keluarga Bouviane ini tidak biasanya mengangkat bendera perang pada masing-masing kubu. Biasanya mereka selalu adu mulut.

Apa Jovan kali ini sedang pms?

"Kalian ini ada apa?" tanya Abian frustasi melihat kedua anaknya saling menatap sinis di meja makan. "Kalian tidak kasihan dengan ibu yang sudah pusing melihat kelakuan anaknya?"

Edriana menatap mereka sinis secara bergantian membuat keduanya diam tak bersuara. Jovan melirik ke arah Jeane yang juga sudah meliriknya, kemudian keduanya berpaling ke sembarang arah dan memutar bola mata malas.

"Jangan menambah beban pikiranku! Sudah cukup kita terlilit hutang karna kebodohan ayah kalian. Kalau tidak berbaikan dalam satu menit celana dalam kalian ibu gantung di perapian." Ancam Edriana pada Jovan.

"Ayolah bu. Itu memalukan!" rengek Jovan membuat Jeane mengernyit jijik.

"Ibu tidak main-main Jovan!" Geram Edriana menatap anaknya sampai bola matanya hampir keluar.

"Edriana, jangan terlalu emosi-"

"Ini semua salahmu! Sudah kubilang mereka harus bayar agar kebutuhan kita terpenuhi. Sedangkan kau, seperti bangsawan saja yang dapat pajak dari pemerintah. Heyy! kita yang harus bayar pajak!"

"Sudah kubilang berhenti saja dengan usaha ini, aku rela membawa topi dan kacamata hitam di lampu merah," sahut Jovan membuat semua orang di meja makan menatapnya horor.

"Jangan bercanda, Jovan!" tandas Edriana membuat Jovan mati kutu.

"Tenang ... semuanya akan ku usahakan."

"Hah ... aku pusing. Ke mana para meteor itu? hujani saja rumah kita agar batunya bisa dijual dan kita jadi kaya raya," seru Edriana putus asa.

"Ibu tidak memikirkan kita juga akan lenyap kalau ada hujan meteor?" ujar Jeane baru saja membuka mulut dan dihadiahi tatapan horor oleh semua orang.

"Jangan melawan ibu kalian!" tegur Abian tanpa suara.

"Oh ya, Jeane. pangeran kita satu sekolah denganmu, 'kan? Bagaimana? Pasti dia tampan seperti ayah," canda Abian mengalihkan pembicaraan.

"Biasa saja." jawab Jeane mengangkat bahunya acuh.

"Pasti yang paling tampan itu adalah aku. Iya kan, 'kak?" Jovan dengan kepedean tingkat akutnya.

"Astaga! Kau ini percaya diri sekali! Bahkan anjing tetangga sebelah lebih tampan dari kau!" ledek Jeane mengernyit jijik.

"Ish, Jeane, jangan bicara seperti itu dengan adikmu." sela Abian dan Jovan menjulurkan lidahnya ke arah Jeane. "Jovan memang tampan, dan kau juga cantik. Karna kalian memang memiliki darah bangsawan,"

Penuturan ayahnya tak lagi membuat mereka tercengang. Mereka mengagap itu hanyalah candaan, tapi wajah ayahnya selalu serius saat mengatakan hal itu. Dan pada dasarnya bangsawan atau tidak, itu tak berpengaruh dengan kehidupan mereka yang miskin.

"Kalau begitu nikahkan aku dengan putera mahkota. Jeane sudah bosan hidup miskin!" Pinta Jeane pada sang ayah dengan jempol terangkat.

"Heh, HALU!" Ucap Jovan memukul kepala kakaknya dengan garpu.

"Mandi dan memasak saja kau tidak bisa! Bagaimana jadi putri mahkota?" Tukas ibunya juga mendukung Jovan.

"Kaca di kamarku besar loh, kak!"

"Baik! Kalau itu mau Jeane, ayah kabulkan,"

"Wah serius? Putera mahkota mana, ayah?"

"Putera mahkota jalanan."

Sial.

■■