Lagi-lagi hari ini tidak mungkin meninggalkan berita yang masih panas kalau pangeran Avery si putra mahkota yang akan segera menikah. Padahal umurnya masih seumur jagung. Para barisan pencintanya pasti menangis tersedu-sedu saat mendengar kabar berita ini.
Termasuk si poni yang terlihat tidak semangat hidup saat Rosie mengatakan pangeran akan menikah. Melihat wajah tampannya saja jarang, apalagi saling sapa. Kenapa dia bisa secinta itu?
Namun, memang cinta tidak perlu alasan yang meyakinkan. Karena cinta, pemberian tuhan yang bisa datang dari mana saja. Termasuk cinta pada orang yang tidak nyata, seperti seseorang yang fiksi.
"Hei, guys!" Rosie menggerakkan jemarinya menyuruh ketiga cecunguk mendekat ke arahnya, akan ada berita menggemparkan, dan ini sedikit rahasia.
"Katanya, calon pengantin putra mahkota itu dari kalangan biasa loh,"
"Whats?" kaget Jeane.
"Is love?" sambung Jesslyn.
Leanna yang sedang menenggak minumannya mendadak tersedak dan memuncratkannya ke wajah Jeane. Gadis itu meringis mendapati wajahnya basah akibat semprotan Leanna yang tidak main-main.
"LEANNA!" Geramnya kemudian menegak minuman akan membalas Leanba. Tapi, gadis berponi itu dengan sigap melarikan diri dari kantin atau tidak poni berharganya akan basah dan Jeane senantiasa mengejarnya.
"Kau tau siapa orangnya?" bisik Jesslyn pada Rosie.
"Jerome juga tidak tau—eh?"
"Jadi selama ini kau dapat informasi dari Jerome?"
Di sisi lain, aksi kejar-kejaran masih berlanjut sampai Leanna dengan asal berbelok ke arah toilet laki-laki. Namun, saat ia lengah, gadis itu tak sengaja menabrak bahu lebar seseorang membuat tubuhnya terjengkang ke belakang.
Sedangkan Jeane yang baru saja datang tersandung tangan Leanna dan air yang ada di mulutnya muncrat begitu saja ke wajah seseorang yang baru saja berbalik habis di tabrak Leanna. Double sial.
Keduanya menahan nafas saat menyadari siapa yang baru saja mereka beri double sial saat ini. Wajah yang terlihat familiar, tidak! Sangat familiar. Seseorang yang masih hangat dibicarakan akhir-akhir ini, Avery.
Apa mereka akan jadi tahanan negara?
"Pa–pa–pa–pangeran?" ucap Jeane jadi gagap.
"Yang mulia, maafkan saya!" Setelah berkata demikian, Leanna lari seperti marathon meninggalkan Jeane dengan si pangeran es yang masih menatapnya tajam.
"Bajingan!" Kesal Jeane, kemudian ikut berlari menyusul Leanna. "Saya juga minta maaf, yang mulia!" ujarnya setelah merasa jauh dari Avery.
Saat dirasa sudah jauh melarikan diri, Jeane berhenti sejenak mengatur nafasnya yang memburu, ia mendadak batuk-batuk karena kelelahan. Gadis itu mengedarkan pandangannya untuk mencari Lenna.
"Pstt ... pst .... Jean!"
Oh Jeane menemukannya, Leanna sedang bersembunyi di ujung loker. Melambaikan tangannya agar Jeane melihat presensinya. Mereka harus sembunyi. Urusan dendam belakangan, Jeane harus aman dulu.
Namun, saat ia melangkah untuk menyusul Leanna, tangannya dicekal. Baru saja ia ingin memaki, tapi, saat tahu siapa sang pelaku, nyalinya mendadak ciut. Takut ditangkap dan menjadi tahanan negara.
"Pangeran? W-wajahmu sepertinya basah." Jeane mengambil sapu tangan yang ada di saku celananya dengan canggung. Belum sempat Jeane mendaratkan sapu tangan itu , tangannya lebih dulu disentak. Rahang lelaki itu mengeras.
Aura dingin menguar di sekitar Jeane. Tubuhnya mendadak panas dingin saat Avery lebih dulu menghempaskan sapu tangannya ke lantai. Sial! Dia benar-benar marah.
"Y-yang mulia, saya sudah sikat gigi. Lihat!" Ucap Jeane menunjukkan deretan giginya yang rapi pada Avery. Sementara lelaki itu mengernyit jijik.
"Anda jangan khawatir, airnya tidak bau," lanjutnya lagi membuat emosi Avery tidak bisa ditahan lagi.
"Kalian pikir di sini taman kanak-kanak? Jangan cemarkan nama baik perguruan tinggi di sini dengan berlarian seperti tadi!" ucapnya tegas membuat Jeane tergagap.
"Sa-sa-saya," kesal sekali rasanya dibilang begitu, namun mulutnya tak bisa diajak kompromi.
Apalagi saat pemuda didepannya mendadak melepas jaket jeansnya di depan mata Jennie menyisakan kaos V-neck saja yang melekat ditubuhnya.
Mau apa?
Tak berselang lama jaket itu dilemparkan ke wajahnya yang masih menganga, berusaha mencerna dan membiarkan jaket mahal itu jatuh ke lantai.
"Buang saja." ucapnya sarkas lalu melenggang pergi meninggalkan Jeane yang masih kesal atas perlakuan Avery. Hey, dia sudah minta maaf kenapa masih saja dibentak? Dasar pangeran arogan.
"Buang seje," ejeknya kesal menirukan apa yang baru saja dikatakan Avery tadi.
"Dasar pangeran sombong, arogan dan menyebalkan! Dia pikir aku akan menghormatinya? Huh! Bahkan pangeran Charles saja kalau mencari masalah denganku akan kusiram. Apalagi hanya dia! Sialan!"
Jeane memandang jaket mahal itu lalu menginjak-nginjaknya seolah itu adalah Avery, kesal sekali rasanya dibentak seperti itu, terlepas dari wajah tampannya tapi hatinya busuk.
Sialan! Jika ada kesempatan Jeane akan membunuhnya dengan cara tersadis yang pernah ada di muka bumi.
■■
Cahaya mentari merangsak masuk ke jendala kaca yang sudah disingkai dari tadi malam. Merasakan cahaya menusuk matanya, bukannya memejam kembali pemuda itu menatap tajam, melawan matahari terik lewat mata elangnya.
Sudah lama ia tak bangun di kamar ini, itu berarti sudah lama juga ia tak pulang ke tempat kelahirannya. Tempat yang sudah mengutuknya dengan nama belakang yang aneh dan berhasil membelenggunya hingga tak bisa berkutik.
Nama bangsawannya, nama belakang yang tak bisa pemuda itu buang jauh-jauh dan menjalani hidup seperti semestinya. Sial! Nama itu bahkan akan mengutuknya hingga mati dan menua dalam pemerintahan yang penuh kebusukan.
Pemuda itu mengusap wajahnya gusar. Rasa kantuknya masih belum hilang. Maka dari itu ia enggan untuk bangkit, meski hanya untuk menyingkap selimut yang menutupi tubuh setengah telanjangnya.
Namun, suara ketukan pintu membuyarkan keadaan sudah. Rambut ikalnya ia sugar dengan kasar, bibirnya menipis seiring emosi yang ditahan. Pemuda itu bangkit tanpa mengenakan baju, enggan membuka pintu dan hanya bicara dari dalam.
"Anda ditunggu diruang kerja raja, yang mulia."
Satu perintah itu membuat hati Avery mencelos, perasaan tidak enak merambat dalam dadanya, seandainya saja, ia bisa melarikan diri. Ayahnya pasti akan menghukum para pengawal yang tidak bersalah karenanya.
Ini dia, akhirnya, Avery kembali mencium bau penderitaannya.
"Saya menghadap pada anda semua, Yang mulia." Sapanya membungkuk hormat sembilan puluh derajat pada sang ayah, ibu serta neneknya. Kemudian menatap ketiga orang yang terhormat itu dengan senyuman palsu yang terpatri layaknya malaikat.
"Bagaimana kabarmu, pangeran? Kau pasti lelah karna terbang jauh dari Inggris," kata sang nenek.
Avery hanya mengangguk menanggapi ucapan neneknya lalu kembali menatap orang tuanya datar, menanti apa sekiranya yang hendak disampaikan. Ia ingin intinya saja, tak perlu basa-basi.
"Kuharap, kau sadar akan posisimu saat ini," kata sang raja tegas. Tetapi, sang anak hanya menundukkan kepalanya, enggan menjawab.
"Kau mendengar ayahmu, Avery?" sang ratu ikut menimpali dengan nada lembut tapi tegas.
"Iya." Avery mengangguk sekali lalu menunduk tak ingin melakukan kontak mata pada kedua orang tuanya. Entah kenapa, entah sejak kapan, itu terasa menyakitkan.
"Kau akan menikah sebentar lagi, Avery. Jangan coba membantah karna itu adalah janji raja yang terdahulu." tegas, cepat, dan tanpa basa-basi. Sepertinya sifat Avery memang dari ayahnya.
Oh, ini dia akhirnya.
"Kau harus mengerti, nak," ucap Ibunya lembut menahan agar kemarahan Avery tidak meledak secara bersamaan dengan Ayahnya.
"Maaf menyela, yang mulia. Jika pangeran tidak mau, kita bisa saja tidak melakukannya, karena rakyat juga tidak ada yang tau perihal perjanjian ini, yang mulia," ucap menteri kerajaan memberi penengahan.
Sekarang bukan jamannya lagi saling menjodoh-jodohkan dua manusia yang tidak saling tertarik. Semua anak muda sekarang pasti memiliki pasangan mereka masing-masing. Apalagi pemuda tampan seperti Avery. Untuk mendapatkan seorang gadis hanya akan semudah menjentikkan jarinya.
Itu fakta umum.
"Aku sudah memutuskan. Janji tetaplah janji. Raja yang terdahulu pasti merasa hutang budi maka dari itu mengikat janji ini pada sahabatnya meskipun dia hanyalah sebatas pengawal kerajaan," Avery mendongak dengan seringai tipis.
"Aku sudah memeriksanya," sela ibu suri lalu tatapannya melembut saat bertemu netra gelap Avery. "Dia anak yang ceria dan hangat. Nenek yakin, kau pasti akan menyukainya."
Pemuda itu menampilkan senyum mirisnya, "apa ada alasanku untuk menolak? Dia akan tetap baik di mata kalian."
Ya. Tak ada alasan untuk menolak, sekalipun ia menolak dengan alasan yang sempurna tetap saja ia dianggap mempermalukan keluarga kerajaan. Apalagi kalau ia melarikan diri, seorang pangeran pengecut yang lari dari tanggung jawabnya.
Setidaknya untuk saat ini, ia bukan pengecut.
Semakin hari ia semakin penasaran dengan gadis yang akan jadi pengantinnya kelak, mencari tahu lewat pengawal pribadinya belum juga membuahkan hasil. Katanya, mereka satu sekolah. Tapi tidak ada yang mencurigakan selain kelakuan para penggemarnya.
Berteriak seperti orang bodoh. Ia tidak suka akan hal itu saat kakinya menapak pada halaman kampus. Ketampanan Avery tidak bisa dilewatkan.
"Kupikir kau tidak akan sekolah di sini, Ave," celetuk pemuda bersuara lembut yang duduk di sampingnya. Tangan lelaki itu sibuk bermain ponsel.
"Jo benar, aku juga mengira begitu awalnya," tambah pemuda surai blonde itu dengan bibir tebalnya yang mengkerucut menatap satu lagi makhluk di antara mereka. "Kau juga mengira begitu, 'kan Ed?"
Merasa bahunya disenggol, Edward menoleh pada Jerome dengan wajah dinginnya. Wajah bak anime ini hanya menatap Jerome datar tanpa minat untuk menjawab pertanyaan konyol itu. Menurutnya.
"Jika aku menuruti apa yang mereka mau, mereka juga akan menuruti permintaanku," sahut Avery kemudian.
Untuk saat ini, ia hanya ingin menangkan hatinya yang begitu sakit bagai teriris benang tipis nan kasar. Menyibukkan diri pergi ke sekolah dan sekedar tertawa dengan sahabatnya mungkin menghilangkan rasa lelahnya. Ia juga tidak suka sibuk dengan urusan kerajaan.
Setelah hari berat yang ia lalui, mungkin hari ini adalah hari sialnya. Bagaimana bisa seorang mahasiswi main kejar-kejaran dengan mulut penuh air di perguruan tinggi, di sini bukan TK. Anak-anak bebas bermain asal mau pergi ke sekolah, dan juga mereka bukan anak-anak.
Tunggu saja, ia akan memberi pembalasan yang setimpal. Wajah tampannya dikotori dengan air yang sudah tersimpan lama dalam mulut.
Sialan! Berani-beraninya dia. Avery bersumpah akan membalasnya dengan satu ember air comberan.
"Ave!"
"Apa!"
Jerome terkesiap, kemudian mengerjap, "kau ini kenapa sih? Apa yang membuatmu emosi seperti ini? Hm? Nay lagi?"
Avery menyugar surainya ke belakang. Mengatup kedua belah bibirnya pertanda emosinya sudah di ubun-ubun. Ia Menghembuskan nafasnya lelah sebelum menyadarkan seorang Jerome yang mengerutkan kening bertanya-tanya.
"Jangan membahasnya!"
Kemudian senyap, Jerome tak lagi berani bicara. sedangkan Jooan dan Edward tidak tertarik membahas tentang 'mantan''. Pembahasan yang sedikit sensitif. Karena tak ada perpisahan secara baik-baik.