Perjodohan

Semilir angin sore membuat helaian rambut nakal yang baru saja ia selipkan ke belakang telinga jatuh lagi. Langit yang biru dengan awan kecil yang menghiasinya seolah tersenyum saat ini, mentertawakan matahari yang tak muncul karna tertutupi oleh awan.

Suasana segar ini membuat hati Jeane terlalu bersemangat. Jarang-jarang di hari yang cerah tapi matahari seolah sembunyi malu-malu. Lantas, ia bentangkan kedua tangan menikmati segarnya angin sore di akhir musim semi.

-BYURR-

Jeane membelalak saat air mendarat tepat di atas kepalanya, membuat kaos dan celana pendeknya basah begitu saja. Itu bukan hujan dadakan atau keran bocor, melainkan air seember yang dijatuhkan dari lantai atas, lain tak lain ini adalah perbuatan adiknya, Jovan.

Saat Jeane mendongak ia mendapati Jovan yang juga tengah menatapnya dengan bibir mengerucut sebal. Jatuhnya di mata Jeane malah menyebalkan.

"JOVANNNN! TURUN KAU!"

"Kasihan sekali kakak ku yang singgle ini hanya bisa memeluk udara yang dingin. Pasti rasanya sepi sekali, oh aku rasanya ingin mati," katanya dengan ekspresi yang dibuat dramatis.

"HEY! Sialan kau!"

Tak berselang lama kedua kakak beradik itu saling beradu argumen di halaman dengan suara yang melengking sampai oktaf penghabisan. Karena lagi-lagi Jovan memecahkan pot kesayangan Jeane. Dan Jeane baru saja menginjak raket kesayangan Jovan sampai putus. Ya lehernya. Leher raket.

Dan berakhir Jovan berlari karna Jeane mengejarnya menggunakan sapu jagat yang siap menghantam di mana saja posisi tubuh Jovan. Ia berlari sekuat tenaga karna pukulan sapu jagat bukan main-main sakitnya.

Mereka berdua sama-sama salah. Akan tetapi, bukannya saling minta maaf mereka malah merasa paling benar. Tak ada yang mau mengalah. Ayah Abian dan ibu Edriana pasti pusing setiap hari melihatnya.

"Aduh-aduh kakak, berhenti mencubitku! Sakit! kau ini tidak berpri-kemanusiaan sekali!" Keluh Jovan memegang pantatnya yang jadi korban.

"Kali ini kau keterlaluan! Membuat bajuku basah semua. Yang jarang mandi itu, 'kan kau!"

"Akhh kakak! Sakit!" tak kuasa menahan sakit, Jovan mendorong keras kakaknya agar menjauh dengan sekuat tenaga, membuat Jeane yang lemah terhuyung ke belakang.

Jeane memejamkan matanya, menyiapkan diri kalau pantatnya akan terjatuh ke tanah yang basah. Tapi, kenapa slowmotion ini lama sekali? ini bukan sinetron. Jeane hidup di dunia nyata.

Perlahan, ia membuka sebelah matanya kemudian ia melihat presensi Jovan menatap ke arahnya dengan mata melotot. Ada apa? "Who dis?" Gadis itu menelan salivanya kasar saat tahu ia bersandar di dada bidang seseorang.

Tanpa pikir panjang ia berbalik menghadap orang yang ada di belakangnya. Setelah melihat siapa itu, sontak tubuhnya melangkah mundur untuk dekat dengan Jovan.

Kenapa? Kenapa dia ada di sini? Dan mendapati Jeane sedang dalam tidak baik-baik saja? Satu lagi, di mana orang ini tau rumah Jeane? Bertemu dengannya adalah kesialan. Jangan bilang dia mau menahan Jeane. TIDAK.

"Apa aku salah lihat? Dia pangeran kita, 'kan kak? Putra mahkota?" Jovan terlihat sangat bingung, begitupun Jeane. Nyawanya sudah tidak menapak lagi di kaki.

Celana pendek dipadukan kaos rumahan itu memang nyaman, tetapi apa yang orang pikirkan saat melihatnya dalam keadaan basah, apalagi ini laki-laki.

Astaga, Jovan! Bersiaplah, sepertinya Jeane akan memotong lehermu.

"Ada urusan apa kau kemari?" tanya Jeane sinis tanpa basa-basi.

"Siapa tahu dia mau pijat, lumayan, 'kan, mungkin kita akan dapat uang banyak," bisik Jovan. "Dia itu bukan tipe pemurah, tapi pemeras," balas Jeane tak kalah sebal.

Avery menghela nafasnya kasar, ia mulai jengah dengan kelakuan kakak beradik yang kelewat kekanakan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu menatap mereka berdua yang masih saja beradu argumen seolah Avery tidak ada.

"Kalian bekerja di sini, 'kan? Panggilkan bos kalian!" Ucapnya meminta. Bukan, Itu perintah.

Jeane dan Jovan menjatuhkan rahang mereka seketika. Apa maksudnya? bos mereka? Siapa? "Maksud yang mulia, ayah kami? Dia di—"

"Tidak usah," pemuda itu sedikit tersentak dan buru-buru menyela Jovan.

Kemudian, matanya menelisik tubuh Jeane dari atas sampai bawah sebelum pergi meninggalkan pekarangan rumah dengan motor hitamnya.

Kedua kakak beradik itu masih mencerna apa yang baru saja terjadi, putra mahkota ingin bertemu ayah mereka tetapi tidak jadi? Ini semakin membingungkan.

Hembusan angin menyadarkan Jeane dari lamunannya, dan otaknya kemudian mengingat sesuatu. "Jovan, dia melihatku atau melihatmu?"

"Tentu saja kau, kak." Jeane membulatkan mata. Kakinya melangkah begitu saja ke arah gerbang dengan emosi yang meluap-luap, wajahnya memerah karna menahan malu.

Sialan, apa pemuda itu baru saja menilainya? Sedangkan Jovan berusaha menenangkan Jeane yang ingin mengejar Avery dan menghajarnya dengan membabi buta. Jovan akui, pangeran itu sedikit arogan, namun itulah sifat orang kaya. Biasalah.

"Apa maksudnya begitu?"

■■

"A-a-apa? Anda bercanda? Abian ... tadi malam kau mimpi apa? Mengaruk berlian?"

Mata sepasang suami istri Bouviane ini membola, masih mencerna apa yang baru saja mereka dengar dari sang sekretaris dan kepala pengawal kerajaan.

Kedua pria paruh baya itu tiba-tiba datang di pagi hari dan memberikan kabar yang ambigu bagi mereka. Entah senang atau takut saat keduanya datang membawa kabar itu, sepasang suami istri ini mendadak bingung, tak mengerti dan tak tau apa yang harus mereka katakan.

Senang untuk hidup jauh lebih baik tetapi juga sedih mereka akan kehilangan satu anggota keluarga yang berharga.

"Jadi ... Jeane anakku akan jadi putri mahkota?" Tanya Edriana mengatupkan tangan lalu menghadap ke arah Abian.

"Jeane kita tidak akan jadi bahan hinaan lagi," sahut Abian antusias.

Entah para rentenir yang selalu datang atau para warga sangat iri dengan kecantikan Jeane dan beasiswanya untuk masuk ke universitas elit. Mereka selalu menggunjing Jeane dan menyuruhnya untuk jadi jalang agar kebutuhan keluarga mereka tercukupi.

"Jadi, apa Jeane kami sedang dilamar?" tanya Abian ikut bangga pada putri sulungnya.

"Tentu. Ini adalah janji raja terdahulu dengan kakeknya nona Jennie, yaitu ayah anda sebagai kepala pengawal yang selalu setia pada baginda. Kami sangat menghormatinya."

"Jadi, benar apa yang selalu kau bilang? Kita ini ada darah bangsawan?" tanya Edriana saat menghentikan tangisnya sesaat.

"Aku, 'kan selalu bilang tapi kalian yang tidak mau percaya padaku,"

"Tapi ... bayi kita akan berdiri di altar pernikahan," tangis Edriana kembali pecah.

"Dia akan jadi istri orang," ia tersedu seolah Jeane benar-benar akan pergi meninggalkan dunia ini.

Abian juga mendadak ikut sedih bagaimana ia membawa Jeane dan mengantarnya pada pemuda lain untuk mengurus putrinya kelak. Apa ini sudah saatnya? Keduanya menangis tersedu membuat sekretaris dan kepala pengawal hanya menatap mereka bingung.

Mereka menangis seolah Jeane direnggut dari dunia ini.

"Sebagai hadiah, kami memberikan liontin kerajaan turun menurun dari putri mahkota terdahulu. Ibu suri langsung yang menyuruh kami untuk memberikannya pada kalian agar nona Jeane bisa memakainya mulai sekarang."

Sekretaris kerajaan menyerahkan sebuah kotak kecil yang diisi kalung berlian dengan liontin ruby yang menghiasinya. terlihat sederhana, namun elegan. Bisa dipastikan harga kalung ini melebihi mahalnya rumah yang mereka tinggali sekarang.

Siapa saja ingin berada di posisi Jeane sekarang. Menjadi putri mahkota bersama pangeran tampan dan hidup di istana mewah adalah cita-cita semua gadis yang ada di kerajaan mereka. Lalu, apalagi yang kurang? Jeane tak mungkin menolak.

"Kami akan membiacarakannya pada Jennie, tolong beri kami waktu," pinta Edriana.

"Tiga hari. Setelah itu mungkin nona Jennie akan kami Jemput untuk pelatihan di istana." Putus sekretaris kerajaan sebelum meninggalkan rumah kekuarga Bevilmiro.

"Tiga hari?" ▪︎▪︎