Lelaki itu menghantamkan kepalanya sendiri ke tembok.
Bisa-bisanya ia mengatakan hal demikian. Bodoh! Ia gagal. Negoisasinya gagal.
"Berhenti menemuiku hanya untuk membicarakan keegoisanmu!"
"Berhenti menemuiku ... "
"Berhenti ... Avery!"
Ucapan itu seolah terpatri di otak Avery. Berputar-putar di kepalanya seolah itu adalah bisikan iblis. Ia akui kalau dirinya egois, tetapi ini untuk kebaikan mereka. Gadis itu, Avery tak ingin mengurung Jeane yang berjiwa bebas dalam istana.
Hari-hari berikutnya Avery selalu saja mengawasi gerak gerik Jeane kalau ada yang mencurigakan. Tapi yang ia lihat adalah presensi Jeane makin tidak semangat setiap harinya. Selalu menghindar saat mereka berkontak mata.
Apa saja kiranya yang dipikirkan gadis itu, Avery yakin itu begitu berat. Akan tetapi, ia dengan posisinya sekarang bisa apa? Ia terlahir untuk diatur bukan mengatur. Egois jika ada kesempatan. Hanya untuk kebahagiaannya.
"Kau lihat bagaimana gadis itu menggoda Edward? Umm ... beib," ejek Joaan menirukan bagaimana cara gadis yang tadi pagi menggoda Jerome mengundang gelak tawa Jerome.
"Bisa diam tidak sih? Dasar jomblo baperan. Makanya cari pacar!"
"Eumm beib ... jangan emosi, nanti tidak dapat jatah," lagi-lagi Jooan menirukan gerak gerik gadis itu hingga mengundang kekehan Avery yang jarang terjadi.
"Ahaha ... Jo coba ulang sekali lagi," pinta Jerome dengan wajah yang sudah memerah karena tertawa.
"Eummm beibb ... " ejek Jooan lagi diikuti Jerome
Detik itu juga tawa mereka berdua meledak beserta bunyi sumpit Edward melayang tepat di kepala Jooan, membuat pemuda itu menggaduh sakit. Sementara Jerome terjatuh dari kursinya karena gelak tawanya sendiri.
Setelah itu, mata Avery mengedar untuk mencari pandangan lain dan detik itu netra keduanya kembali bertemu dalam satu pandangan lurus. Lagi-lagi Jeane yang memutus sepihak untuk kesekian kalinya.
"Kau melakukan ini karena uang, 'kan?"
Entah kenapa perkataannya tempo hari pada Jeane masih menghantui. Kenapa ia harus mengatakan hal itu pada Jeane yang notabene nya memang butuh uang. Ia merasa bersalah karena menyakiti gadis itu.
Memang benar apa yang gadis itu katakan, Avery tak pernah tahu apa yang menjadi beban Jeane. Namun, Jeane juga tak tauh apa yang ia tanggung. Cukup dirinya yang terkurung di sana. Ia tak ingin gadis itu berakhir sama sepertinya.
Keesokan harinya berita itu keluar dengan Jeane menjadi kandidat utama. Avery khawatir dengan reaksi gadis itu menanggapi berita para wartawan yang menanyakan ini dan itu.
Untuk itu, saat ada perintah untuk membawa Jeane ke istana, Avery berinisiatif untuk ikut hanya untuk memeriksa keadaan Jeane. Waspada kalau gadis itu akan mengakhiri hidup dengan otak kecilnya.
Namun, ekspektasi Avery ternyata salah, ekspresi murungnya hanya sesaat bertengger di wajah cantik itu. Setelah ia disuruh memakai baju seperti di drama kesukaannya wajahnya kembali ceria tanpa beban.
Semudah itu?
Ucapan Jeane tempo hari yang lalu kembali membuyarkan pikiran Avery. Maka dari itu ia hanya diam saat Jeane masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya. Ia juga hanya diam saat Jeane mengoceh bersama para pelayan sampai akhirnya Avery jengah saat melihat gadis itu mengotak atik bangkunya.
"Bisa diam tidak, sih? Kau menggangguku!"
"Tinggal pejamkan saja matamu apa susahnya, sih?"
Lagi-lagi Avery menurut untuk memejamkan matanya. Seharusnya dari awal ia tak akan ikut untuk menjemput Jeane yang sangat cerewet. Ia juga masih banyak pekerjaan di istana.
Avery paham kalau Jeane tak pernah naik pesawat pribadi. Tapi tolong jaga kehormatan di depan para pelayan. Gadis itu malah bertanya-tanya yang tidak penting membuat sorot mata Avery kembali sinis.
"Dasar kudet!"
"Aku tidak bertanya padamu. Dasar pede!"
Balasannya membuat Avery meradang. Maka ia diamkan Jeane hingga perjalanan mereka sampai ke istana. Ia kesal sampai meninggalkan gadis itu sesaat setelah sampai di gerbang istana dan gadis itu datang menemui Ibunya.
Lantas Avery merebahkan dirinya di kasur. Menutup matanya dengan kedua tangan. Kepalanya terasa berdenyut karena memikirkan gadis itu hingga ia tertidur pulas sampai lupa kalau Jeane tidak menginap hari ini.
Begitu ia membuka mata, malam telah tiba. Ia beranjak untuk ke ruang kerjanya.
"Perilakunya tidak cocok dengan pangeran Avery begitu pun istana,"
Samar-samar terdengar suara ibunya yang tengah berbincang dari depan pintu yang baru saja Avery lewati. Pemuda itu menaikkan alis, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Dia memang tidak hidup di lingkungan bangsawan dan itu menurutku wajar. Kita akan melatihnya saat tinggal di sini," Ibu suri membela.
"Kau tahu, 'kan? Anak itu mengalami kesulitan soal keluarganya," sang Ayah juga ikut menyela.
"Dia adalah anak yang baik karena rela mengorbankan dirinya demi kehidupan keluarganya aman. Aku terharu," Ibu suri kembali berceletuk.
"Ratuku, jangan terlalu memikirkan hal yang berat. Kita akan menjalaninya bersama,"
Dan detik itu juga hati Avery terenyuh, ia merasa sesak atas apa yang ia jalani. Mereka bisa mengerti Jeane, akan tetapi, mereka tak pernah mengerti dirinya. Seolah ia adalah alat untuk mengambil hati rakyat.
Begitulah pikirnya hingga tak sadar dirinya sudah duduk di depan ketiga orang yang baru saja membicarakan Jeane dengan seksama. Avery mengukir senyum yang sedikit dipaksa.
"Aku bersedia menepati janji kakek."
▪︎▪︎
Rasa ragu kembali berkecamuk dalam pikiran. Ia sudah menjadi beban, setidaknya satu kali, ia membanggakan. Ini begitu sulit saat gaun yang akan dipakainya untuk ke istana sudah di depan mata.
Sudah waktunya meninggalkan rumah.
Ia termenung. Mengenang kembali bagaimana tangisan sang ibu yang begitu pilu saat mengatakan kalau keluarga mereka akan baik-baik saja kalau Jeane menolak untuk menikah. Namun ia tahu, itu semua adalah kebohongan yang besar.
"Kita akan baik-baik saja ... Jangan membebani dirimu sayang,"
"Ibu ..."
"Ah, kau ingin sekolah keluar negeri, 'bukan? Ibu janji akan mengirimmu ke sana suatu saat nanti,"
"Jangan berkata seperti itu!"
"Jeane, apa kau sudah siap?"
"Bu, apa aku harus meninggalkan rumah ini? Dari lahir aku tidur di sini dan besar di rumah ini. Aku ... tidak sanggup jika harus meninggalkan kalian,"
"Ssuuuttt ... " Edriana menghapus air mata putrinya, "semua perempuan akan pergi meninggalkan rumah kala suaminya sudah menjemput. Ini sudah waktunya. Cepat atau lambat kau pasti akan meninggalkan rumah ini. Jadi sayang, jangan menyesali keputusan apa pun yang kau buat."
"Ibu ... aku akan merindukan kalian," gadis itu memeluk sang Ibu kian erat. Memejamkan matanya yang terasa panas untuk beberapa saat. Ia tenggelam.
"Putri, ini sudah waktunya anda berpakaian,"
Jeane menurut. Ia tak tahu harus berbuat apa selain menyetujui semua yang telah terjadi. Memangnya dia siapa ingin menolak putra mahkota? Calon ratu dari negara lain? Ia bukan siapa-siapa. Bahkan jika kerajaan datang untuk menculiknya tak ada yang memerangi atau keberatan.
Ini adalah kisah yang tragis.
Dulu, ia tidak percaya dengan dongeng seperti pangeran berkuda putih yang mencintai rakyat jelata, atau drama seorang bos dengan pengemis jalanan. Namun, apa yang dialaminya sekarang bak novel yang laku di pasaran.
Gadis itu menghela nafas setelah gaun panjang berlengan pendek itu melekat di tubuhnya. Rambut coklatnya dibiarkan tergerai. Cantik. Bahkan para wartawan pun terpesona akan hadirnya.
Woowww... cantik sekali!
Putri! Lihat ke sini!
Wajahnya sangat tegas.
Pose yang bagus putri!
Jeane tidak mampu mengangkat wajahnya sendiri. Para wartawan itu sudah gila. Dan ia juga putus asa. Sekali lagi menatap keluarganya dengan senyum masam. Bahkan Jovan yang biasanya sika berceloteh, kali ini hanya diam.
Mereka tak tahu kapan akan bertemu lagi. Mendatangi istana bukanlah hal mudah. Mereka tak diperbolehkan bertemu sampai upacara pernikahan berlangsung.
Jeane takut. Ia takut bertemu orang-orang baru. Dari yang ia dengar dari Avery mau pun dari buku yang pernah ia baca, orang-orang di istana begitu licik. Ia bisa saja mati sebelum menjelang tua lantaran orang di istana cemburu atas posisinya.
"Aku janji akan menemuimu secepatnya. Jangan nakal! Jangan merepotkan ibu dan ayah," wanti-wantinya pada Jovan seraya membalas genggaman sang adik.
"Ibu harap ini jalan yang terbaik untukmu, nak,"
Semoga saja. Ia juga berharap demikian.
"Ayah doakan semoga kau bahagia dan kita semua lekas bertemu seperti biasa,"
Meskipun ada ragu yang terucap. Ia tetap berusaha.
"Kami pasti akan merindukanmu, putri kecil ayah sudah dewasa," ucap pria paruh baya itu merapikan rambut sang anak yang sudah rapi. Ia tahu kalau sang anak tengah menahan air mata agar tidak jatuh.
"Aku juga pasti akan merindukan kalian," lirihnya sendu sembari memeluk keluarganya sebelum pergi.
"Putri?" tegur sang kepala sekretaris mengisyaratkan agar Jeane segera memasuki mobil yang sudah disediakan.
Setelah mereka siap akan berangkat, sekali lagi ia menoleh ke arah orang tuanya beserta Jovan yang tak bersuara. Dramatis sekali. Jeane tak suka.
Dan saat mobil berjalan. Semuanya terasa jauh. Tanpa disadari, Jeane kehilangan jati dirinya.