Hurt

Puja kerang ajaib. Pangeran arrogant itu datang menjemput.

Dentuman di dada selalu saja menggema seperti pasar malam saat berdekatan dengan kulkas tujuh pintu itu. Bukan karena Jeane suka, tetapi aura dingin yang pria itu pancarkan menusuknya sampai ke jantung saat Jeane memasuki mobil.

Bahkan saat mobil berjalan, mata itu sudah beralih menghadap jendela. Akan tetapi, masih saja Jeane merinding karena berdekatan dengannya, hawa di dalam mobil ini tiba-tiba seperti musim salju pada awal tahun. Minus.

Deru mesin mobil tidak juga melepaskan kecanggungan mereka. Sopir yang tak berani bicara, dan Jeane yang enggan walau pun hanya sekedar menatap wajah tampan itu. Entahlah, tapi ia sedikit kesal karena dijemput tiba-tiba seperti sekarang.

Tidak ada pemberitahuan. Para wartawan masih setia menunggu Jeane di luar gerbang. Dan tiba-tiba mobil kerajaan masuk dengan Avery di dalamnya. Memerintahkannya untuk segera bersiap.

Dan seperti inilah Jeane sekarang, ia disuruh memakai gaun mahal berwarna coklat ala-ala orang kaya. Sepertinya ia mengenalinya, ini seperti gaun pemeran utama drama yang selalu ia tonton.

Indah sekali. Jeane selalu memimpikan untuk memakai gaun yang terlihat elegan dan berkelas. Gaun sebatas lutut cocok untuk tubuh mungilnya. Rambut panjangnya dibuat sedikit ikal oleh para pelayan dan disela-selai bunga pada sisi rambut yang dikepang.

Jeane sungguh benar-benar seperti seorang putri.

Gadis itu berdecak kagum saat mereka akan menaiki pesawat pribadi milik Avery. Jangan salah sangka, lelaki itu tak ada bicara dengannya. Para pelayan yang memberitahu Jeane saat tiba. Interiornya sungguh berkelas. Sesuai selera Avery sekali.

Waktu setengah jam mereka habiskan di pesawat pribadi menuju istana. Jeane selalu bertanya di mana letak istana hingga mereka harus naik pesawat. Dan Jeane dapat jawabannya setelah dimaki Avery beberapa kali dengan sebutan.

"Diam!"

"Dasar kudet!"

"Jangan bicara macam-macam!"

Ya, seperti itu kiranya membuat kepalan tangan Jeane makin kuat. Kesal sekali. Ia juga tidak bertanya pada Avery, ia menanyakan semuanya pada para pengawal atau pun pelayan.

"Dasar pede!"

Balasan Jeane untuk orang angkuh seperti Avery walau tak ada jawaban, lebih tepatnya lelaki itu pura-pura tidur. Jeane yakin. Dan di perjalanan selanjutnya mereka naik mobil lagi menyisiri hutan yang ada di pulau itu sampai istana benar-benar terlihat.

Lagi-lagi Jeane berdecak kagum.

Ia akan pamer pada ketiga curut.

Setelah sampai Avery melenggang pergi meninggalkan Jeane yang masih terlihat bingung menelusuri sekitar dengan mata kucingnya. Imut sekali. Para pelayan tak berhenti gemas pada Jeane dan ingin sekali mencubit pipi chubbynya jika mereka lupa kalau Jeane adalah tuan putri.

"Lewat sini tuan putri,"

Jeane mengangguk. Kemudian menggiring pelayan itu untuk membawanya ke tempat ratu ingin berbicara, hanya berdua dengannya. Dan semua itu berhasil membuat lutut Jennie lemas seperti jelly.

Gadis itu mengelus dadanya kemudian menghembuskan nafasnya berulang kali untuk menghilangkan rasa gugup sebelum ratu datang menghampiri. Lagi. Oke sekali lagi. Sampai ratu benar-benar ada di hadapannya. Semua orang membungkuk begitu pun dengannya.

Tak ada senyuman.

Persis seperti sifat Avery.

Oh Tuhan, selamatkan Jeane.

"Kau pasti lelah," ucap ratu setelah Jeane duduk di sebelahnya.

"Sa-saya? oh, tidak. Maksud sa-saya baik-baik saja ratu, eh? yang mulia," jawabnya dengan gugup. Tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Panggil yang mulia saja, putri," bisik pelayan kemudian. Jeane meneguk salivanya kasar.

"Saya ... baik-baik saja yang mulia," ulangnya berhasil menenangkan diri. Setelah itu terdengar ratu menghembuskan nafas pelan.

"Apa yang kau pelajari selama ini? Apa saja?" tanya ratu mulai menginterograsi Jeane.

"Saya kuliah di jurusan seni, ya," Jennie memutar otaknya apa saja yang ia pelajari selama hidup. Tapi nihil otaknya tidak berfungsi.

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Jeane mengulum bibir sebelum menjawab, "ayah saya membuka usaha pijat dan saya dan adik saya sering membantu kalau ada waktu senggang."

Padahal setiap hari. Senggang tidak senggang itu sebuah keharusan.

"Lalu, bagaimana pendapatmu soal pernikahan ini?"

Jeane meremas ujung gaunnya, merasa gugup sekaligus bingung dengan apa yang harus ia jawab. Sampai para pelayan pergi meninggalkan mereka berdua atas perintah ratu agar Jeane merasa lebih nyaman.

"Saya ... belum yakin dengan itu, yang mulia,"

Ratu menoleh kaget setelah mendengar jawaban gadis itu yang sangat tidak masuk akal di zaman sekarang pada puteranya yang selalu dipuja. Ratu mulai mencurigai kenormalan gadis itu meski ini sedikit memalukan.

"Setelah menikah, apa keluarga saya akan baik-baik saja? Apa setelah itu mereka tidak akan kesulitan lagi?" lanjutnya lagi membuat ratu menggeleng pelan.

"Itu termasuk pembicaraan yang tidak sopan. Kau berbicara masalah uang denganku," jelas ratu terdengar kasar dan membuat Jeane merasa takut.

Gadis itu mengulum bibirnya sebelum membuka mulut, "itu, saya terlahir bukan dari keluarga yang berada, oleh karena itu saya akan menikah kalau nasib keluarga saya juga akan berubah, yang mulia."

"Jadi kau tidak mencintai puteraku?"

Pertanyaan yang klise.

"Ah, itu, saya baru beberapa kali bertemu putera mahkota. Kalau saya bilang saya mencintainya anda akan mengira saya berbohong, jadi ... " Jeane mengangguk saat otaknya tidak lagi mendapat ide untuk menjawab.

"Soal keluargamu, tentu mereka akan sangat baik. Aku akan memberimu sedikit waktu lagi untuk berpikir dan saat waktunya tiba, kau harus tinggal di sini sebelum upacara pernikahan. Kau akan belajar bagaimana caranya agar menjadi putri mahkota dan menjadi ratu dimasa depan kelak—

—banyak hal yang akan kau hadapi untuk ke depannya. Kuharap kau bersedia mendampingi puteraku dalam keadaan apa pun, Jeane."

Bisakah?

Bisakah ia bertahan sampai saat itu tiba?

Dengan Avery?

▪︎▪︎

Untuk kesekian kalinya Avery lagi-lagi harus bersabar untuk menemui gadis yang selalu menjauhinya karena tertangkap basah sedang mesra-mesraan dengan mahasiswa dari Hongkong itu. Apa-apaan mereka bercanda dan bergandeng tangan di depan matanya. Tidak ada harga dirinya.

Lagipula untuk apa dia menghindar? Seperti anak kecil saja. Padahal Avery hanya ingin bicara bukan untuk memukulinya. Bagaimana bisa gadis itu jadi putri mahkota? Kelakuannya saja bertolak belakang dengan Avery apalagi tradisi kerajaan. Untuk jadi anggun dari segi mana pun.

"Apa?" ketusnya saat tak bisa lari lagi dari Avery.

"Kau benar-benar siap dengan apa yang terjadi nanti?" jelasnya jengah pada gadis di hadapannya.

Sebenarnya ia tak begitu peduli. Tetapi, entah kenapa ia harus menjelaskan apa yang akan dijalani gadis itu nantinya.

"Siap atau tidak juga sudah terjadi, 'kan? Kau juga tidak menolak. Orang tuaku sudah berharap akan perjodohan ini, apa kau bisa membuat hidupku tenang seperti sebelumnya?" balas Jeane dengan emosi yang meluap.

Avery menyeringai, kemudian berdecak tepat di depan wajah Jeane, "sekarang aku mengerti kau melakukan ini demi apa. Uang, 'kan?"

Ucapan lelaki itu sukses membuat Jeane geming di tempatnya dengan rahang mengetat.

"Brengsek!" Gadis itu tersulut emosi hingga tangan mungilnya tergerak untuk menampar pemuda itu.

Namun, seperti sudah diperkirakan, tangannya ditahan ke belakang pinggang. Lelaki itu memojokkan Jeane agar presensi mereka tidak terlihat oleh siapa pun membuat gadis itu berontak dengan mata menyorot tajam. Sialan!

Avery merasa tercancam dengan tatapan itu.

"Aku tak menyangka seorang pangeran yang selalu dihormati mengatakan hal demikian pada rakyat rendahan sepertiku," ucapnya menyalak tajam pada Avery, membuat hatinya sedikit mencelos, pemuda itu termenung sesaat.

"Dengar! Aku sudah sering memberitahumu bagaimana tinggal disana. Uang, bukan segala—"

"Tahu apa kau!" potong Jennie dengan wajah memerah, "kau lahir dari keluarga yang berkecukupan, uang memang bukan segalanya untukmu, pangeran!"

"Jeane," Avery setengah mendesis memanggil nama gadis itu. Nafasnya memburu menahan emosi yang bergejolak. Keras kepala. Avery tak tahu lagi harus berkata apa.

"Apa?" Tantangnya hingga jarak wajah mereka semakin menipis. Bahkan keduanya bisa merasakan nafas masing-masing yang berhembus, "kau ingin menghinaku lagi? Memangnya kenapa kalau aku melakukannya demi uang? Kau keberatan?"

Avery terpaku di tempatnya. Sebuah binaran di mata Jeane disaksikan olehnya, air mata sudah menggenang di kelopak mata gadis itu. Avery yakin sekali kerjap maka air asin itu akan jatuh mengenai pipi mulus Jeane.

"Kau tidak mengerti, kau memaksakan kehendak demi dirimu sendiri, kita jelas berbeda," ujar gadis itu terdengar pilu.

"Setelah ini ... jangan pernah menemuiku hanya untuk membicarakan keegoisanmu!"

Gadis yang biasanya ceria itu pergi seraya mengusap air matanya penuh luka.