Jeane berjalan dengan gontai saat ia akan masuk kedalam kelasnya. Sungguh, ia kembali bersedih setelah terpukul dengan kenyataan bahwa mereka masih miskin, kehidupan keluarganya terancam jika Jeane tidak segera bertindak.
Rumah mereka akan disita karena tidak mampu bayar hutang pada rentenir dan semua itu membebani pikiran Jeane saat melihat kedua orang tuanya kembali bertengkar karena masalah hutang. Mereka, akan berpisah.
"Jeane ... kau baik-baik saja?"
"Mukamu pucat sekali."
"Kau belum makan? Aku punya roti."
Gadis itu hanya mendesah lelah, ia harus membuat keputusan yang berat dan semua itu berdampak pada masa depannya, mimpinya. Lantas ia menggeleng pada ketiga temannya lalu kembali melanjutkan acara melamun dengan tangan bertumpu di atas meja.
Ketiga gadis itu hanya menggeleng dan saling mengangkat bahu pertanda mereka tak ada yang tau permasalahan apa yang dipikirkan oleh sahabat mereka yang satu ini. Mereka tak akan bertanya sekarang, mereka akan menunggu Jeane siap.
Lantas mereka hanya berusaha menghibur.
"Hari ini mood pangeran Avery sepertinya cerah sekali," Celetuk Rosie dalam pandangan lurus ke pojok kantin di mana pangeran Avery sedang berkumpul dengan teman-temannya.
Lantas Jeane mendesah berat. Bisa tidak sih, sehari saja pangeran Averu out of pembicaraan mereka? Jeane muak. Apalagi Leanna yang akan merespon lebih kalau berbicara tentang pemuda idolanya.
"Ah tampan sekali ... aku baru kali ini melihat dia tersenyum," sahut gadis berponi itu menopang dagu.
"Tumben sekali kalian tidak lari lagi saat ada pangeran. Apa terjadi sesuatu?" tanya Jesslyn.
"Aku lelah, Jess. Aku pasrah saja kalau jadi pelayan istana, enak bisa tiap hari melihat wajah tampan pangeran," jawabnya cengengesan dan kembali memandang ke arah idolanya.
Jeane baru mengerti apa yang dibicarakan Avery tempo hari, soal kalung itu. Avery sudah mengetahuinya. Akan tetapi, Jeane begitu terlambat mengetahui semuanya. Semua ini seolah kelabu baginya, tak ada penerang sampai Jeane tak tau jalan mana yang akan ia pilih.
Akhir-akhir ini mereka juga sering melakukan kontak mata, entah disengaja atau tidak. Mata elang itu selalu menyorotnya dengan intens, yang pasti Jeane selalu lebih dulu untuk memalingkan wajahnya di saat jantungnya berdebar-debar tak karuan karena tatapan dingin itu.
Entah kenapa, Jeane berusaha menahan gejolak di dadanya dan respon alami pada wajahnya saat mata mereka bersibobrok lagi. Respon yang sama selalu terulang pada diri Jeane. Mengabaikan, adalah jalan terbaik untuknya.
"Dia menatapku? Astaga! aku baru saja berkontak mata dengan pangeran!" teriak Leanna heboh sambil memegangi dadanya berlebihan. Lantas, Jeane hanya menggeleng dan memutar bola matanya malas.
Ia kembali memutar otaknya untuk memilih jalan pintas agar semuanya aman dan teratasi dengan baik. Namun nihil, perasaan sesak dan sakit selalu merambat ke dadanya saat menatap wajah lelah kedua orang tuanya.
Jika ia lebih memilih egonya untuk menolak lantaran benci yang tak berdasar pada seseorang yang juga tidak ia kenal, lalu apa selanjutnya? Apa hidupnya akan damai?
Lantas memilih bertahan pada seseorang yang tak mengharapkan hadirnya juga bukan posisi yang bagus. Ia tak tau apa yang akan dihadapi dalam waktu dekat, mencoba bertahan walau hantaman bertubi-tubi datang itu begitu berat. Sedangkan ia lemah dalam alunan angin yang akan membawanya tanpa arah.
Menyisihkan sedikit egonya dalam membenci seseorang, ia akan memilih bertahan walau tak diinginkan, mencoba berusaha lebih baik walau tak dibutuhkan dan berusaha tidak berharap disaat hati kecilnya meraung untuk mencinta.
Ya, hanya seperti itu, ia tak akan berharap lebih walau dunia mengatakan ialah gadis yang paling beruntung.
Jeane akan bertahan, sampai dunia berkata 'setidaknya kau sudah berjuang, walau akhirnya kalah'.
"Aku menerimanya."
Satu kalimat itu, ia ucapkan dengan bangga pada kedua orang tuanya dan Jovan. Akan tetapi, tatapan mereka berubah sendu, bukan kepalang senang seperti apa yang ada di benaknya. Ia menepis beberapa kemungkinan walaupun Avery selalu berusaha mengatakan kalau ia takkan mampu berada dalam istana.
Ia takkan siap dengan badai yang menerjang setiap harinya sampai rasa putus asa kembali mencuat setiap jam dan menit. Namun, semuanya terhalang saat ada tanggung jawab di pundak yang harus mereka bina sampai akhir, sampai akhir hayat.
Namun, kedua orang tuanya tetap penting, mereka akan terjamin jika Jeane menerima perjodohan ini. Jovan yang bodoh akan segera kuliah di universitas elite tanpa mengejar beasiswa. Walaupun pada awalnya sulit, mari kita jalani sampai di mana ia akan bertahan dan membina hati agar sekuat baja.
"Sayang ... kau yakin? Jangan memaksa dirimu sendiri Jeane," ucap Edriana teramat lirih.
Dan saat itu, hati Jeane kembali goyah.
▪︎▪︎
"Pak tolong izinkan kami masuk untuk melihat tunangan kerajaan."
"Sekali saja pak, seluruh negeri penasaran dengan calon putri mahkota."
"Putri ... putri tolong keluar!"
Hari itu, kawasan rumah Bouvenia diserbu oleh para wartawan yang sudah teramat penasaran bagaimana rupa calon putri mahkota mereka. Edriana, Abian dan Jovan bersusah payah untuk menutup gerbang yang dipenuhi oleh para wartawan yang bar-bar.
Menanyakan hal yang sudah dikonfirmasi oleh pihak kerajaan. Justru mereka tidak percaya bahwa calon putri mahkota dari kalangan biasa. Ini benar-benar seperti dongeng untuk putri Jeane yang sekarang baru bangun dari mimpi indahnya.
Menyerap kembali dalam kenyataan yang pahit, lantas ia menghitung kancing piyamanya untuk menimbang apakah ia harus menerima perjodohan ini atau tidak. Dan dikancing terakhir, ia harus menerimanya.
"Tidak, tidak, tidak. Bagaimana kalau semuanya tidak saja? Itu lebih bagus." Jeane bangkit setelah mendapat jawabannya dan mencari kedua orang tuanya, "ayah! Ibu! Aku tidak mau menikah!" teriaknya menghampiri kedua orang tuanya.
"Oh ... itu putri!"
Pandangan Jeane mendadak buram saat salah satu wartawan menghampirinya dan menanyakan hal yang tidak ia mengerti. Sungguh, ia baru bangun tidur penampilan dan nyawanya masih di awang-awang .
"Tidak! Jangan sorot saya. Tolong menjauh dari sini!" Detik itu juga Jeane berlari masuk ke dalam rumah diikuti Jovan dan kemudian ia menangis jengah, sadar apa yang baru saja terjadi.
"Kakak, kakak! tidak kusangka kau akan jadi terkenal. Ayo kita buka televisi."
"Jovaaaannn! aku baru bangun tidur dan mereka seenaknya saja mengambil fotoku! Arrrgghhh!" teriak Gadis itu frustasi.
"Bagaimana bentuk wajahku?"
Para wartawan itu sudah memasukkan foto Jeane ke dalam berita dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur. Mereka masih saja membahas bagaimana beruntungnya Jeane yang akan jadi permaisuri putra mahkota Avery.
Mereka baru mengambil foto beberapa menit yang lalu dan fotonya sudah ada di berita? Cepat sekali—pikirnya.
Jeane menggaruk tengkuknya terasa gatal, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa gatal saat merasa gugup dan bingung. Astaga, kenapa jadi seperti ini? Ia kan berencana akan menolak. Lalu? Bagaimana nasibnya kalau menolak? Para rakyat sudah terlanjur tahu.
"Wahh ... putriku jadi artis." Kata Abian menghampiri.
"Kami bangga padamu nak. Jadi, apa kau menerimanya?" tambah sang Ibu lagi.
Gadis itu menangis jengah seraya mengangguk dua kali, "aku tak punya pilihan lain, 'kan?"
Edriana dan Abian saling menatap kemudian tersenyum singkat, kali ini mereka senang bukan kepalang, akhirnya kedua orang itu memeluk Jeane erat diikuti oleh Jovan.
"Kalau dia menjebolmu kasar di malam pertama, adukan saja padaku, biar kupotong kejantanannya." bisik Jovan di telinga Jeane.
"Yaa! Jovannn!"
Dan disini Jeane sekarang, kamar Jovann. Menekuk wajahnya dan memajukan bibirnya kesal menyerupai paruh itik. Beberapa jam yang lalu mereka bertengkar lagi karena tidak bisa sekolah bahkan keluarga Bouviane hanya berdiam diri dirumah, menunggu seberapa setianya para wartawan itu berdiri di depan gerbang rumah mereka.
"Katakan padaku! Sudah berapa kali kau membobol anak orang?"
"Harus kukatakan berapa kali sih? Tidak pernah kak! Kau ini, percaya padaku sedikit saja bisa tidak?"
"Kau pikir wajahmu seperti orang jujur? Dasar anak nakal! Kuadukan pada ayah dan ibu loh ya,"
"Yasudah, adukan saja. Sudah kubilang aku bukan pria begitu, aku ini jantan kak!"
"Aku sering loh melihatmu menonton film begituan. Padahal umurmu masih sependek kecambah,"
"Aku normal kak!"
"Tuhkan! Dasar anak nakal!" Jeane menampar pantat Jovan.
Bertikai dengan Jovan seperti makanan sehari-hari bagi Jeane. Kedua kakak-beradik itu selalu saja mempermasalahkan hal yang tidak penting dan tidak ada yang mau mengalah. Seakan argumen mereka berdua itu benar adanya.
Dan semua orang pun sadar kalau Jeane belum dewasa. Menikah bukanlah jalur yang seharusnya gadis itu tempuh, namun keadaan yang memaksa dan takdir yang mengatakan kalau Jeane harus menjalaninya.
Tubuh Jeane mendadak tremor saat duduk di mobil mewah yang tak pernah ia naiki sebelumnya. Matanya menelisik setiap sisi mobil yang begitu mewah sampai netranya menangkap sosok lelaki dingin yang telah duduk di sampingnya.
Ya, orang itu adalah Avery.