Pesan Untuk Tuan Besar Wang

Lewat dua puluh jurus kemudian, satu per satu dari lawannya mulai mengalami luka yang cukup parah. Masing-masing dari mereka terlempar. Ada yang ke samping, ada pula yang kembali ke tempat asalnya tadi.

Sembilan Pendekar Bintang itu meringis menahan sakit. Mereka adalah pendekar yang sudah berusia tua, pengalaman bertarungnya pun sudah sangat banyak. Berbagai macam luka yang menimbulkan rasa sakit juga sudah pernah mereka rasakan sebelumnya.

Tapi sungguh, orang-orang itu baru merasakan luka dan rasa sakit yang mereka rasakan saat ini. Rasa sakit yang diakibatkan oleh pedang lawan terasa sangat menusuk. Seolah-olah ada jutaan jarum yang sedang menyerang seluruh tubuhnya.

Sekuat dan sehebat apapun seseorang, tapi kalau dirinya didera oleh rasa sakit yang teramat sangat, maka rasanya mereka tidak akan tahan juga.

Begitu pula yang sedang dialami oleh para Pendekar Bintang tingkat dua itu.

Walaupun pertarungan telah dilanjutkan kembali, tapi keseruannya sudah jauh berkurang. Dan setelah melewati sepuluh jurus berikutnya, akhirnya pertarungan itu pun benar-benar usai.

Enam dari sembilan orang Pendekar Bintang tingkat dua itu telah tewas oleh keganasan Pedang Bunga Mawar.

Darah segar keluar dari seluruh tubuhnya. Bau amis seketika tercium dengan jelas. Empat orang yang tersisa merasa mual. Malah sebagian dari mereka ada yang muntah-muntah.

Di sudut lain, Mei Lan masih berdiri di posisinya semula. Pedang Bunga Mawar tetap berada pada genggaman tangan kanannya. Walaupun seluruh tubuhnya sudah dipenuhi oleh luka-luka, tapi gadis itu tidak menghiraukannya.

Apalagi, luka yang dia derita hanyalah luka luar. Sedangkan untuk luka dalamnya sendiri, tidaklah terlalu parah.

Suasana di hutan itu kembali hening. Rembulan ternyata sudah berada di tempat yang lebih tinggi. Angin malam berhembus. Bau bunga mekar bercampur dengan bau darah.

"Apakah kalian masih ingin berbuat nekad?" tanya Mei Lan dengan nada dingin. Sepasang matanya tetap menatap empat orang itu dengan tajam.

Empat orang yang dimaksud tidak menjawab. Mereka hanya bisa menggertakkan giginya saja.

"Kau, siapa namamu?" tanya Mei Lan sambil menunjuk kepada seseorang dengan pedangnya.

"Aku?" tanya orang yang ditunjuk itu memastikan.

Suaranya terdengar lemah. Sinar matanya pun redup. Sangat berbeda dengan sebelumnya, di mana sinar matanya begitu membara. Seakan-akan api neraka berada didalamnya

"Namaku Hu Ping," jawabnya.

"Apakah kau yang ditunjuk menjadi pemimpin?"

"Benar, Nona,"

"Bagus. Kau memang layak menjadi pemimpin," kata Mei Lan kemudian.

Di antara empat Pendekar Bintang yang tersisa, hanya orang bernama Hu Ping itulah yang mengalami luka paling ringan. Hal tersebut tentu saja disebabkan karena kemampuannya sedikit lebih tinggi daripada orang-orang yang datang bersamanya.

Mei Lan memujinya bukan lantaran dia menaruh simpati kepada orang tersebut. Dia hanya merasa kagum kepada orang yang menyuruhnya. Yaitu Tuan Besar Wang.

Hal itu disebabkan karena orang tersebut, ternyata sangat teliti. Bahkan dalam memilih seorang pemimpin sekalipun.

"Nona terlalu memuji," jawab Hu Ping sambil tersenyum kecut.

Mei Lan tetap tampil dingin. Bahkan dia tidak terlihat tersenyum walau sedikit pun.

"Benarkah kau tidak ingin melanjutkan pertarungan ini?" tanyanya sekali lagi.

"Aku … aku tidak berani. Kalau bukan karena tugas yang sudah menjadi kewajiban, sejak awal aku pasti tidak mau berurusan dengan gadis seperti nona," ucapnya dengan jujur.

Hu Ping benar-benar jeri terhadap kemampuan gadis cantik yang berdiri di depannya saat ini. Jika disuruh memilih, maka dia lebih memilih bertarung dengan seekor siluman yang ganas daripada harus bertarung dengannya.

Baginya, gadis itu sangat misterius. Selain karena asal-usulnya yang tidak diketahui, ilmu silat yang dimilikinya juga terhitung sangat aneh. Apalagi jurus-jurus pedangnya.

Seumur hidup, rasanya baru kali ini saja dia menghadapi lawan seperti Mei Lan.

"Baiklah. Kalau kau memang tidak mau melanjutkan pertarungan, silahkan pergi dari sini sekarang juga. Jangan lupa, bawa serta rekan-rekanmu yang sudah menjadinmayat ini," kata Mei Lan kemudian.

"Sampaikan juga kepada Tuan Besar Wang, didik anaknya baik-baik dan jangan mencari masalah denganku lagi," lanjutnya.

Hu Ping hanya menganggukkan kepalanya saja. Dia tidak berkata lagi. Entah karena terlampau takut, atau memang dia bingung harus menjawab bagaimana.

"Kalau begitu, pergilah sekarang juga,"

Hu Ping bangkit berdiri, begitu juga dengan tiga rekannya. Meskipun tubuh mereka terasa sangat sakit, tapi orang-orang itu tetap memaksakan dirinya masing-masing.

Mereka lebih memilih menahan rasa sakit daripada harus tinggal lebih lama di tempat itu.

Setelah kepergian Hu Ping dan yang lainnya, Mei Lan tiba-tiba merasa lemas. Gadis itu langsung jatuh terduduk. Keringat dingin telah mengucur deras, membasahi seluruh pakaiannya.

Dia merasa sangat kelelahan. Pertarungan melawan sepuluh Pendekar Bintang tingkat dua itu benar-benar telah menguras banyak tenaganya.

Untung saja Hu Ping tidak menerima tantangan darinya. Kalau sampai menerima, entah bagaimana nasibnya sekarang.

Sebenarnya, Mei Lan berkata demikian tujuannya tak lain adalah untuk menjatuhkan mental lawan. Siapa sangka, ternyata usahanya membuahkan hasil.

Sekarang, gadis itu sedang menenangkan diri. Pedang Bunga Mawar sudah dia masukkan kembali ke dalam Cincin Ruang. Setelah tenaganya kembali terkumpul —walaupun sedikit—, Mei Lan segera masuk kembali ke dalam goa yang menjadi tempat tinggalnya.

Begitu sampai di dalam, dirinya langsung melakukan meditasi. Langkah ini dia lakukan agar enregi langit dan buminya kembali terkumpul dengan sempurna.

Malam semakin larut. Rembulan merangkak makin tinggi. Kentongan pertama baru saja selesai dibunyikan.

Mei Lan telah selesai melakukan meditasinya. Dia merasa lapar. Kebetulan sekali, kelinci hutan bakarnya masih ada. Tanpa membuang banyak waktu, dia segera menyantapnya dengan lahap.

Begitu rampung mengisi perut, gadis tersebut langsung beristirahat. Bagaimanapun juga, istirahat merupakan kebutuhan pokok bagi seorang manusia. Dan Mei Lan pun termasuk manusia.

Keesokan harinya, ketika mentari pagi baru saja muncul di ufuk timur, Mei Lan baru saja bangun dari tidurnya. Luka-luka yang semalam dia rasakan, sekarang sudah membaik.

Tubuhnya juga terasa jauh lebih segar.

Gadis itu beranjak dari tempatnya. Kemudian dia keluar goa. Mei Lan lalu berjalan sedikit, dia berhenti ketika sampai di tepi sebuah jurang.

Pemandangan indah terbentang di depan matanya. Langit yang biru kekuningan. Warna hijau dari sawah ladang. Liukan sungai yang membentuk ular panjang dan raksasa. Belun lagi dengab suara nyanyian merdu dari bintang-bintang penunggu hutan. Semua itu membuat matanya terbuka lebar-lebar.

Entah kenapa, ketika sedang berada dalam keadaan seperti sekarang, Mei Lan selalu merasa sangat nyaman. Bahkan dia merasa begitu tenang, seolah-olah hidupnya tidak punya beban dan masalah.

Apakah manusia diluar sana, pernah mengalami hal yang sama dengannya?

Apakah ketika berada di alam, manusia selalu merasa kenyamanan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata?

"Betapa indahnya pagi ini." gumamnya seorang diri. Mei Lan menghirup nafas sedalam mungkin. Dia membiarkan paru-parunya terisi penuh oleh udara. Setelah penuh, barulah dirinya mengeluarkan secara perlahan.