Jealous

"Koq nelponnya berhenti?"

"Baterainya mati." Adri tersenyum malu.

"Gue bisa bantu. Elo butuh charger?"

"Percuma. Paketnya habis."

"Gue bisa bantu. Elo butuh pulsa?"

"Percuma. Sinyalnya juga susah."

"Gue bisa bantu. Elo butuh palu?"

"Palu? Untuk apa?"

"Buat getok ponsel elo," jawab Dessy gemas. "Elo tuh anak sekolah atau kolektor benda purbakala sih? Heran, ponsel bikin darah tinggi itu masih juga elo sayang-sayang."

Dessy sekarang duduk di bangku panjang yang sama di samping Adri. Namun karena merasa jarak keduanya menjadi sangat dekat, Adri yang merasa jengah lantas menggeser tubuhnya untuk sedikit menjauhi.

"Dri, elo udah nolong di kolam renang. Apa salahnya kami balas kebaikan elo."

"Maksudmu?" Adri kembali memainkan gitar.

"Gue kepengen banget ngebales budi. Beliin elo ponsel baru atau yang lain. Tadi gue denger elo pengen banget gitar ini. Kalo elo mau gue rela ngasih Epiphani Hummingbird untuk elo."

Alis Adri terangkat.

"Bukannya gitar ini milik Arjun?"

"Minggu lalu dia kasih ke gue."

Adri meng-ooo tanpa bersuara. Bermaksud menampik tawaran Dessy, ia secara cerdik mengganti topik pembicaraan. "Enak ya punya pacar orang kaya."

Komentar itu membuat Dessy tergelak. Adri yang ikut-ikutan, mulai tertawa beberapa detik kemudian.

"O ya, jadi bagaimana kah?"

Dessy yang mengerti maksud kalimat yang sebenarnya, balik bertanya. "Bagaimana kah apanya nih?"

"Hubungin, eh... hubungan kamu dengan orangtuamu?"

"Ohhhh yang saran supaya jalan bareng?"

"Nah itu maksud pun saya."

"Gue udah lakuin. Jumat malam kemarin kami ke PIM. Makan malam jam tujuh disambung nonton sambil makan pop corn dan soft drink. Sambil nunggu jam tayang, kami beli-beli buku di Gramedia deh. Puas?"

Adri mengacungkan jempol ke arah Dessy yang menatap dengan pura-pura galak.

"Gue tadi sempat nguping pembicaraan elo berdua. Ngeliat kedekatan elo dengan nyokap elo kayaknya gue juga mau makin sering-sering ngelakuin seperti itu. Gara-gara kedatangan elo sih, Papa sekarang pulang lebih cepet untuk bisa ngabisin waktu bersama isteri dan anaknya yang cantik ini."

Ekskul musik segera dimulai dan beberapa siswa mulai memasuki ruangan. Dessy terkikik saat melihat kecanggungan Adri ketika ia kembali menggeser tubuhnya untuk lebih mendekati pemuda itu.

"Koq elo ngejauh? Elo pikir gue bakteri apa? Salmonella?" Dessy malah gatal dan jadi ingin lebih mendekat sehingga Adri kini terpojok di ujung bangku panjang yang mereka duduki.

Sambil meletakkan gitar ke sisi lain Adri dengan risih menggeleng kepala dengan matanya takut-takut sesekali melihati Dessy.

"Kenapa elo jadi salah tingkah begini sih?"

Entah bermaksud melucu atau memang lugu, butuh waktu beberapa saat sebelum Adri menjawab dengan muka memerah. "Kamu terlalu cantik untuk bersama orang seperti kita."

Dessy mencibir. "Jangan bikin gue klepek-klepek dong! Di daerah asal elo kan gudangnya cewek cakep."

"Masalahnya kecantikan nyanda cuma dilihat dari fisik tapi harus diperhitungkan juga faktor kecerdasan."

Dessy tersanjung sambil di saat yang sama memijit kening. “Kalo denger elo ngomong kayak gitu gue lebih suka supaya elo gak usah ngomong deh. Serius. Sama Tejo gue ngerasa geli dengan logat Tegal, sama elo gue ngerasa geli karena bahasanya amburadul.”

Adri tersipu. Deretan gigi putihnya kini terlihat Dessy memantulkan kilau. Seperti biasa sikapnya pada seorang gadis, ia tidak berani berbicara dan memandang langsung ke mata lawan bicara. Adri lebih sering menunduk.

Dan karena menunduk itulah ia terperanjat ketika Dessy tiba-tiba meletakkan sesuatu ke pangkuannya.

“Ini surat undangan dari gue. Gue bawa khusus untuk elo. Semingguan lagi gue ultah. Bikinnya di hotel Ritz-Carlton. Rugi kalo gak dateng karena acaranya diatur oleh Event Organizer ngetop. Jadi pasti seru dan sudah pasti keren.”

“So pasti keren?” Adri menimang amplop undangan itu. “Berarti ada badut dan sulap?”

*

Menjelang usai sekolah, Arjun berlari-lari kecil mendekati Dessy. “Entar sore gue anter elo pulang ya?”

“Mobil elo udah keluar dari bengkel, Jun?”

“Udah dong.”

“Akhirnyaaaa...”

Dengan provokatif, Arjun menggamit lengan Dessy. Tak peduli beberapa pasang mata serta-merta menyoroti ulahnya. “Elo gak perlu lagi nebeng Monique apalagi naik mobil anter-jemput Mamah Tanti. Elo kan sebel tuh sama Si Tarzan. Nah, mulai sekarang elo gak perlu lagi semobil sama dia.”

Dessy terkejut. “Ng-nggak se-semobil?”

“Iya lah. Ngapain sama-sama dia lagi. Begonya minta ampun. Ngomong belepotan. Sok jadi pahlawan lagi.”

Dessy melepas pegangan tangan Arjun. Ia duduk di anak tangga, diikuti Arjun yang duduk di sebelahnya.

“Arjun, kenapa elo bilang dia itu sok pahlawan?”

Arjun menoleh ke arah Dessy sebelum berbicara dengan setengah berbisik. “Gue tahu elo makin sering ngobrol sama dia. Penyebabnya ya apa lagi kalo bukan karena kejadian di kolam renang antara elo sama dia. Waktu dia jadi pahlawan kesiangan saat elo tenggelam.”

Tubuh Dessy bergerak. Siap untuk berbicara ketika Arjun buru-buru menyambung ucapannya. “Denger dulu, Say. Gue nggak cemburu. Ngerti? Yang jelas gue tau banget dari info seseorang kalo dia nyuri kesempatan dengan pura-pura ngasih napas buatan atau megang-megang elo. Sebetulnya itu pelecehan seksual dan kalo mau gue bisa laporin ke pihak Yayasan supaya dia ditendang dari sekolah.”

Tatapan Dessy menunjukkan kalau dia kurang setuju dengan pemikiran Arjun. “Gue ini masih cewek lu apa bukan sih?”

“Ya masih dong.”

“Terus, ketika ada orang yang nolong orang yang elo sayang, apakah berhak elo nuduh dia yang nggak-nggak? Pake nuduh pelecehan seksual segala.”

“Dia nyentuh tubuh elo kan?” Arjun mencoba berkelit.

“Kalo pun iya, emang kenapa? Apakah bisa orang yang mau ditolong nggak disentuh secara fisik? Apakah bisa dokter nolong pasien tanpa nyentuh?”

“Gue ngerti maksud lo. Tapi tetap aja dia jangan sentuh-sentuh gitu dong.”

“Sentuh gimana?’

“Nyentuh buah dada.”

“Siapa yang bilang gitu? Panggil dia, biar kita kroscek bareng.”

“Pokoknya ada deh.”

“Kalo nggak tau beritanya jangan ngada-ngada. Itu hoax namanya.”

Sadar dirinya terpojok, Arjun menyerang dari sisi lain. “Koq elo jadi nyolot? Dan lihat sikap lu sekarang. Elo makin sering ketawa-ketiwi sama dia.”

“Menurut elo dia itu kuman yang harus dijauhin?”

“Kalo perlu.”

“Elo jealous?"

"Amit-amit."

"Elo marah?”

“Jelas dong, gue marah ke dia. Mangkanya gue sama tim gue, kreatif banget.”

“Maksudnya kreatif?”

“Terus-terusan bikin ulah yang bikin dia sengsara lah,” Arjun menyeringai. “Ngilangin buku, ngumpetin sepatu, putusin senar gitarnya. Banyak deh. Dan kayaknya Si Tarzan makin nggak betah di sini deh.”

“Kenapa elo marah ke dia?”

“Jelas marah dong, Say. Dia manfaatin kesempatan. Dengan alasan mau ngasih nafas buatan, eh dia malah nyium elo. Sebagai cowok yang sayang sama elo, ya gue berhak marah dong.”

Dessy melipat tangan di dada. “Gue nggak ngerti sama elo, Arjun. Elo bilang kalo elo sayang sama gue. Tapi elo koq marah waktu Adri nolong gue. Elo gak bisa becain cium dengan kasih nafas buatan? Atau elo punya teknik ngasih nafas buatan sendiri? Pake apa? Pake pralon? Apakah barang itu ada di sana saat kejadian? Nggak kan? Dan elo tau apa yang terjadi di kolam? Kaki gue mendadak keram sehingga gue kelelep dan butuh pertolongan detik itu juga. Elo – seperti biasanya – di ekskul berenang gak pernah hadir. Dan saat itu semua orang udah pada naik dari kolam. Mayoritas malah udah pada ganti baju. Kalo kemudian muncul Adri yang nyebur di saat udah berpakaian lengkap untuk nolong orang yang katanya elo sayang, kenapa elo jadi marah? Mustinya malah elo tuh berterimakasih sama dia.”