Check-in Yuk!

“Itu… i-tu…anu…”

“Elo nyadar apa nggak sih?” Fitri melirik genit. “Elo tuh makin ke sini makin cool luar dalem. Elo berasa nggak kalo yang demen sama elo makin banyak? Beberapa cewek bisa klepek-klepek kalo nonton aksi heroik dari seorang gitaris dan vokalis sekeren elo.”

Respon Adri terlihat bingung. Fitri lantas tersadar bahwa kalimatnya tadi pasti tak terpahami oleh Adri.

“Nggak ngerti omongan gue ya, Dri? Ya udah, nggak apa-apa. Intinya nih, elo tuh makin banyak yang suka.”

“S-suka? Suka pa kita?”

Di tengah lalu lintas yang mulai melambat karena terhenti lampu lalu-lintas yang menyala merah, Fitri mengangguk. “Gue juga gitu.”

Adri terlihat tak tersanjung. “Tapi kita nyanda pintar di beberapa pelajaran. Apalagi dalam kecerdasan berbahasa.”

“Sok merendah lu.”

Adri tersipu. Ia memang sama sekali tidak merasa istimewa. Lalu apa yang membuat Fitri mengaguminya? Kalau hanya soal kepandaiannya renang, ia yakin ada puluhan yang juga memiliki kemampuan yang sama dengan dirinya.

“Sayang...”

Adri menoleh.

“Check in yuk?”

“Maksud dirimu?”

Fitri menyibak rambut dengan satu jari. “Masa’ gak ngerti sih?”

Sambil melihati lampu lalu lintas yang masih menyala merah dan dengan kepolosan tiada tara, Adri menggeleng. “Nyanda.”

“Gue ngajakin elo buat… nginep di hotel.”

Permintaan tak terduga itu jelas mengagetkan bagi Adri. Adri menoleh ke arah lawan bicaranya dengan mulut agak terbuka. “B-ber-berdua?”

“Iya.” Fitri menoleh, menatap mesra ke arah Adri dan mengedip mata. “Yuk?”

“Mar, eh… tapi, tapi… bukankah dirimu pacarnya Nathan?” tanpa sadar Adri merapat ke pintu mobil.

Fitri tersedak. “Gue mulai nggak suka. Akhir-akhir ini gue nilai tuh anak jadi agak... melambai."

Adri setengah mati menelan ludah.

"Lagian, Dri. Di Jakarta ini, udah wajar kalo orang punya pacar lebih dari satu.”

Adri terperangah. “Edo’e… kalau di kampung kita, nyanda boleh bagitu.”

Gemas rasanya Fitri mendengar komen begitu. “Ini kan cuma ajakan nge-date sesaat. Gue pun nggak nuntut komitmen. Having fun aja untuk ngilangin penat akibat ulangan seharian.”

Adri mendegut ludah dengan makin susah payah. Tak terbayangkan setitikpun bahwa ia akan mendapat tawaran segila ini.

“Gue juga abis nyimeng nih. Abis minum obat. Jadi kalo elo nolak, bener-bener elo begonya keterlaluan.”

Kalimat itu dipahami Adri sepenuhnya. Tapi itu benar-benar membuat Adri bergidik. Tak terbayangkan bahwa berpacaran di kota besar sudah begitu mengkhawatirkan. Melawan godaan seperti ini, Adri yang kebetulan imannya di atas rata-rata, tak mau mengambil resiko sedikitpun.

Buru-buru ia membuka pintu mobil dan keluar meninggalkan Fitri begitu saja.

Setan memang takkan menggoda pria beriman. Tapi berapa lama si pria bisa bertahan kalau setannya cantik, galak dan suka memaksa?

*

Nathan hari ini tidak ikut aktifitas olahraga di lapangan. Kondisi pilek membuatnya mendekam di kelas dan sesekali ia harus membuang ingus dengan saputangan yang ia miliki. Kondisi yang parah membuat ia berulang-ulang harus memakai benda itu. Dari mulanya berada di kantung celana, tak lama kemudian sapu tangan ia geletakkan begitu saja di meja.

Sebuah kecerobohan dilakukan Arjun saat masuk ke dalam kelas bersama dengan siswa-siswa lain. Ia yang masih dalam keadaan berkeringat main ambil saja sapu tangan milik Nathan yang memang adalah rekan sebangkunya. Dan ketika itu digunakan untuk menyeka wajah, bayangkan saja kehebohan yang terjadi.

Peristiwa ini terasa lucu bagi mereka yang melihatnya. Bahkan sepertinya tidak ada siswa yang tergelak menyaksikan atau setidaknya mendengar peristiwa itu. Namun bagi Arjun ini peristiwa yang sangat memalukan. Dan entah kenapa ketika ia melihat bahwa Adri juga ikut tertawa, kemarahannya meledak dan ditujukan hanya pada Adri.

Kebenciannya pada Adri pun makin menjadi-jadi.

*

Epiphone Hummingbird.

Itu bukan nama burung melainkan nama yang disematkan pada label sebuah gitar akustik yang kini ditimang Adri. Alat musik itu adalah produk impor entah dari negara mana dan bisa jadi merupakan gitar paling eksklusif yang Adri pernah lihat. Dengan struktur terbuat dari kayu mahoni dan pegangan grip dari rosewood, denting senarnya membuat output sonik yang tajam.

Gitar akustik itu bukan miliknya, jelas. Itu milik Arjun yang secara tak terduga dan mendadak pernah dipinjamkannya di panggung saat moment Creative Event berbulan-bulan lalu. Lama tak terdengar keberadaannya, gitar itu kini Adri lihat lagi di sini. Di ruang musik yang bertempat di bagian lain gedung sekolah. Dengan bergabungnya Dessy mengikuti ekskul musik tak sulit menduga bahwa Arjun tentu telah meminjamkan gitar itu pada Dessy. Arjun memang sempat mengikuti kelas ekskul musik yang sama. Hanya sayang, keinginan dan kemampuannya bagai jauh panggang dari api. Arjun memang sama sekali tak berbakat di bidang musik.

Saat Adri tiba, ruang musik dalam keadaan kosong. Tak ada Dessy di sana. Pun tak ada siswa lain. Hanya ada sang Epiphone Hummingbird. Dan Adri yang melihat gitar itu tergolek di sana matanya menjadi 'hijau'. Pun tangannya serta merta jadi gatal untuk segera memainkannya.

Posisi gitar sudah dalam pangkuan yang tepat ketika jemari Adri lincah memainkan senar. Mendenting nada-nada kunci merdu yang membuat suasana hatinya larut terbuai bahagia. Suasana itu sayangnya tak berlangsung lama ketika ponsel di sakunya bergetar. Adri yang tak ingin melayangkan momen bermain gitar lantas menerima panggilan yang masuk dengan pengeras suara diaktifkan.

“Halo Mama. Apa kabar?”

"Baik-baik. Mama so rindu sekali pa ngana." Dari ujung telpon terdengar jawaban dari lawan bicara yang tak lain adalah ibu kandungnya. "Edo'e, ngana sedang ba maeng gitar?"

"Iyo, sedang main gitar di sini."

"Ngana beli sandiri?"

"Nyanda. Ini gitar teman. Tapi Mama dengar sendiri kan? Coba Mama dengar suaranya. Keren." Adri mengeraskan dentingan gitar.

"Beli jo satu biji for ngana."

"Beli satu unit untuk kita? Aduh. Gitar ini harganya sama dengan setahun bayar sekolah di sini."

"Edo'e... pe mahal sekali. Lebih baik torang beli eee…"

"Lebih baik beli apa? Cakalang fufu? "

“Iyo! Cakalang fufu. Hahaha…”

Ah, liurnya mendadak seperti mau menetes. Sudah lama ia tidak menikmati penganan ikan cakalang yang diasapi. Tapi suara tawa Mama terdengar hambar. Adri yang tahu Mamanya mendadak sedih untuk sesaat tak mendengar lagi suara dari ujung telpon.

"Ma?"

"Ngomong-ngomong bagaimana dengan ngana pe doi?"

"Uang yang ada? Yaaah, serupa bintang-bintang di langit biru."

"Wahhh, Puji Tuhan. Berarti Mama nyanda usah kirim doi."

"Ma, kita justeru nyanda ada uang!"

"Ah, tadi ngana bilang ngana pe doi sorupa bintang-bintang di langit biru."

"Mama pernah lihat bintang-bintang saat langit biru? Nyanda toh? Jadi itulah kondisi kita hari ini: nyanda ada doi, Mama."

"oiieir$$ mmma_* jk,d,d @rthan ya_$%kyeeea hh@@ ** pp[{]];'retttt"

"Apa?"

"jk@rthanya_ $%k kdv,d,dmv/manado ekk**pp[{]];' <<<<<"

"Nyanda jelas. Tolong ulangi, Ma."

"oiie*&&&hyw qqqqassu @@@... biiiiiiip."

Percakapan telpon kemudian berakhir dan sepasang kaki kini terpampang di depan wajah Adri. Pandangan Adri melihati dari ujung kaki dan kemudian naik hingga menemukan wajah seseorang. Ia langsung menghentikan permainan ketika melihat bahwa orang itu adalah pacar dari pemilik gitar akustik yang ia sedang mainkan.