Banci

“Tapi sebelum kamu pergi ada yang aku mau tanya.” cetus Dessy. “Ini soal dua ucapan kamu di kolam renang yang aku masih ingat jelas sampai sekarang.”

“Dua ucapan? Mmm... yang mana?”

Dessy lantas berkata hati-hati. Suaranya kini setengah berbisik. “Waktu kamu mengajarkan gerakkan kaki dan tangan di kolam, kamu bilang bahwa kamu sering melihat caraku berenang.”

“Iya, memang.”

“Selain itu kamu mengingatkan aku soal warming up. Kamu ternyata tahu bahwa aku sebetulnya belum melakukan itu sejak tiba di kolam renang.”

"Memang." Adri mengangguk membenarkan. “Lantas?”

“Apakah dua hal itu bukan berarti…” Dessy menatap tajam, “… kamu suka diam-diam memperhatikanku?”

Adri sama sekali tak menyangka dengan munculnya pertanyaan itu. Tergagap-gagap, ia sekuat tenaga mencoba memberi jawabnya. Tapi hanya a-u-a-u tak bermakna yang keluar dari mulutnya.

“Bener kan kalo kamu tuh suka diem-diem perhatiin aku?”

Saved by the bell, diselamatkan dengan keberadaan taksi yang sudah ada di depan mata, ia lantas main pamit begitu saja.

"Aku pulang dulu, Dessy. Bye!"

Pemuda itu buru-buru masuk ke dalam taksi tanpa Dessy berusaha mengejarnya. Dan Dessy tak merasa perlu mengejarnya. Sikap katrok dari si bocah kampung barusan telah menguak sedikit isi hati si bocah kampung, khususnya berkaitan dengan dirinya.

*

Hubungan Adri dengan Dessy memang berbeda jauh sejak malam itu. Kendati tak terlalu akrab benar, yang jelas suasana bermusuhan telah sepenuhnya sirna dari keduanya. Mungkin terlalu jauh jika disebut Dessy dan Adri saling tertarik. Yang jelas keduanya kini tak malu menunjukkan kekariban.

Seperti apa yang terjadi di pagi itu ketika Adri yang biasanya datang pertama, ternyata kedatangannya kalah pagi dibanding Dessy.

“Rajin sekali. Pagi-pagi udah datang.”

“Iya. Karena pikirku ada yang sangat penting sekali yang aku rasa perlu sekali aku sampaikan. Dan…” Dessy terdiam sejenak. "Boleh nggak omongan gue campur-campur dengan bahasa gaul? Ngomong bahasa formal melulu lama-lama bikin gue bete."

Alis Adri tertekuk. “Permintaanmu aneh.”

“Boleh nggak?”

Adri berpikir sejenak. “Boleh. Tapi bicaranya pelan-pelan supaya kita bisa menangkap artinya.”

“Emang gue selama ini kalo ngomong kecepetan?”

“Uh cepat sekali. Aku sampai takut.”

“Takut apa?”

“Takut lidahmu tergigit.”

Dessy mengikik. Diikuti Adri.

“Gini lho. Gue mau nanya kondisi ponsel elo gimana sekarang?”

“Sudah diperbaiki,” jawab Adri dengan ekspresi datar.

“Setau gue casing-nya pecah jadi tiga bagian?”

“Betul. Tapi kan masih bisa dibetul pun. Apalagi di sini harga lakban lebih murah daripada di kampung.

"Ebuset. Terus, tombolnya yang banyak ilang diapain?"

"Kan bisa meraba-raba. Contohnya tombol kiri atas untuk tombol a-b-c. Tombol tengah atas untuk d-e-f. Gampang kan?"

Dessy terkikik lagi. Tapi mendadak Dessy terhenti ketika melihat ada yang salah pada mata kiri Adri.

“Lah, mata elo kenapa? Koq merah?”

Pertanyaan itu dijawab anggukan dari Adri. "Iya nih. Sakit."

“Sakit kenapa?”

Mendadak terdengar sebuah jawaban dari orang ketiga yang muncul di ruangan itu. “Kecolok tangan sendiri!”

Dessy dan Adri menoleh ke sumber suara dan melihat Farel yang baru saja datang.

“Kecolok tangan sendiri? Maksudnya? Koq elo tau, Fer?”

Farel menghempaskan tubuh di bangkunya. “Tanya aja sendiri ke Adri.”

“Kesian. Coba ceritain dong,” cetus Dessy yang penasaran.

“Nyanda ah,” Adri menggeleng. “Kisahnya memalukan.”

“Memalukan kenapa, Dri, Far?” Dessy berharap salah satu dari kedua pria itu bersedia menceritakan apa yang terjadi.

“Ini gara-gara nonton bioskop saat Minggu malam.” Farel akhirnya mulai bercerita. “Gue ajak Adri untuk nonton di bioskop 21 terdekat. Tapi gara-gara Adri salah liat jadwal, dan filmnya tinggal jam itu aja, gue baru ngejemput Adri setengah jam sebelum film dimulai.”

“Naik apa?”

“Naik jeep kepunyaan bokap lah. Kan gue gak punya kendaraan lain.”

“Terus? Emangnya jarak tiga puluh menit nggak cukup?”

“Cukup sih,” Farel menatap serius. “Adri ngotot kepingin nonton karena film yang dia suka emang kita udah tunggu-tunggu. Masalahnya, gue baru tau kalo temen kita yang satu ini ternyata musti pake lensa kontak dulu sebelum nonton.”

“Guys, gue gak gitu ngerti soal cara pake lensa kontak,” Dessy kemudian beralih ke Adri. “Emangnya elo gak bisa pasang sendiri? Kan kalian naik mobil?”

“Kita tadinya berpikir begitu. Tapi... ah!”

“Tapi kenapa?”

“Dasar tuangala,” Adri memaki dalam bahasa dan logat daerahnya. “… ternyata susah sekali untuk pasang lensa kontak di dalam oto.”

“Susahnya kenapa untuk masang lensa kontak di dalam mobil?” Dessy makin penasaran.

“Cara pasangnya, lensa kontak itu ternyata musti ditaruh di ujung jari. Setelah itu deketin ke bola mata supaya bleppp… masuk. Gitu,” jawab Farel. Kalem.

“Terus?”

“Waktu lensa kontak tinggal satu mili lagi kepasang di bola mata Si Adri, lahhhh… kebiasaan mobilnya ngelindes sesuatu.”

“Apa tuh?”

“Polisi tidur,” katanya dengan mimic kesal. “Itu yang bikin mata Adri kecolok tangannya sendiri.”

*

Decit ban terdengar keras menggetar gendang telinga. Adri menoleh dan melihat sebuah mobil berhenti semeter di belakangnya. Dari kaca yang kemudian terbuka, ia menemui sesosok wajah teman sekelasnya. Fitri.

“Ikut gue yuk? Mumpung hari ini gue bawa mobil sendiri.”

“Apakah perjalanan kita searah?”

“Nggak perlu searah apa nggak. Yang jelas gue nawarin nganter elo untuk pulang,” katanya sebelum kemudian menyambung dengan nada genit.“Elo mau ke diskotik juga gue anterin.”

Adri menolak halus. “Biar kita pulang sendiri. Sudah jo.”

“Sudah aja? Tapi elo gak liat langit? Sebentar lagi hujan.”

Ucapan Fitri benar. Awan tebal dan kehitaman sudah lama menggayuti langit Jakarta. Dan rintik tipis hujan sudah sejak tadi turun membasahi jalan. Dengan sedikit sungkan Adri membuka pintu mobil dan kemudian duduk di sisi Fitri.

Ketika kendaraan mulai bergerak, hujan memang mulai turun. Bintik air hujan yang berjatuhan deras di kaca depan langsung disapu wiper yang baru saja diaktifkan Fitri.

“Tuh kan. Coba kalo elo gak ngikut. Bisa kehujanan lu.”

Adri mengangguk membenarkan. Dari sisi pintu mobil Fitri lantas mengeluarkan satu bungkus rokok dan menyodorkan pada pria di sebelahnya itu.

"Mau gak?"

"Nyanda usah."

"Nggak mau nyoba?"

Adri menggeleng. "Terima kasih."

Fitri tertawa. Ia mengambil sebatang lalu mulai menyalakannya melalui pemantik api di dashboard.

“Banci lu ah,” katanya sembari menghembuskan asap rokok melalui kaca jendela yang sedikit terbuka.

Adri hanya menanggapi dengan berdiam diri. Dikatai banci toh tak perlu membuatnya marah.

“Tau nggak? Gue masih keingetan waktu elo nolong Dessy di kolam renang tempo hari.”

“Kamu menyaksiin dengan seksama pun?”

“Iya. Apalagi waktu elo ngasih nafas buatan. Uhuy…”

Muka Adri mendadak memerah.

“Gue pantengin tuh kejadiannya soalnya gue belum cabut saat itu. Gile, cing. Gue juga jadi kepingin.”

Arti kata yang terakhir terucap itu sudah masuk dalam kosakata bahasa gaul di dalam memori Adri. Akibatnya muka Adri jadi makin memerah dan ini membuat Fitri jadi tertawa lepas melihat sikap Adri yang tergagap.