Mario Dalam Bahaya

Dalam hitungan jam, kehidupan Nita segera berubah drastis. Ia sungguh tidak menyangka jika putranya bisa menerima Mario dengan mudah. Mungkin insting seorang ayah dan anak tak akan bisa ditipu.

Beberapa saat kemudian, tatkala rumah sudah sangat sepi. Wanita itu segera masuk ke dalam kamar putranya untuk membahas masalah pertemuan Arsha dengan ayahnya tadi.

"Aku sedang tidak ingin membahasnya, Mah. Tolong mengertilah. Aku mau istirahat sekarang."

"Sha, kamu bisa lihat sendiri, kan. Wajah kalian bahkan sangat mirip, tapi kakekmu selalu tega padaku dan kamu. Entahlah apa yang sebenarnya membuat dia seperti itu." Nita mengelus puncak kepala sang anak dengan kasih sayang penuh.

Arsha segera menegakkan tubuhnya untuk duduk dengan benar. Keningnya tampak mengerut, tampaknya ada hal yang membuat batinnya tidak tenang.

"Mah, aku penasaran dengan cara hidup Papah selama ini. Kalau dia sudah dianggap meninggal, Kakek tidak akan tinggal diam begitu. Dia pasti akan terus mencari informasi apakah dia masih hidup atau telah benar-benar mati. Lalu, bagaimana dia hidup selama ini?"

Nita segera terdiam, ia tahu jika otak putranya ini tidaklah semudah yang ia kira. Tidaklah mudah baginya untuk menaklukkan seorang Arsha yang kecerdasannya di atas rata-rata.

"Kenapa Mamah diam? Mamah kan yang membiayai seluruh kehidupan dia selama ini?"

Semakin diam dan merasa disudutkan, wanita itu hendak berlalu dari sana. Namun, segera ia tahan sebab sadar jika Aram tengah mengarah ke kamarnya.

"Kalian berdua lihat Ade dan Tiara?" tanya pria tua itu membuat Nita terkesiap.

"Mereka sedang dinner di luar. Kakek kenapa harus pakai acara naik tangga segala, sih?" ketus Arsha yang segera turun dari ranjangnya.

Ia memang sangat peduli dengan kesehatan sang kakek. Bagaimana pun, ketika pria tua itu menaiki tangga seperti saat ini, bukan tidak memungkinkan untuknya mendapat bahaya.

Nita hanya bisa terdiam melihat kepergian cucu dan kakek itu. Keduanya bercanda satu sama lain. Ada perasaan tak tega membuat keduanya harus saling membenci dan menyakiti.

"Dia bahkan punya insting kedatangan kakeknya, hm…" Wanita itu bergumam pelan sebelum akhirnya melangkah pergi alias kembali ke kamarnya.

***

Sementara Tiara tengah sangat bahagia sekarang. Ia dan suaminya benar-benar sedang menikmati malam yang cukup indah itu. Langit sedang memamerkan sinar bintang di sana.

Ade kemudian mendekat dan mengelus perut istrinya. Ia juga tak lupa memberikan ciuman di sana. Berharap jika lahir nanti, anak itu akan segera mencarinya.

"Sayang, kalau anak kita lahir akan dikasih nama apa?" tanya pria itu sembari memeluk istrinya dari belakang.

"Apa saja. Terserahmu."

"Haha … baiklah, aku akan segera menemukan nama untuknya setelah kita tahu jenis kelaminnya. Bagaimana, Sayang?"

"Iya. Benar katamu, Sayang." Tiara segera membalik badannya untuk membalas pelukan pria itu.

Wanita itu pun segera meminta pulang sebab rasanya sudah sangat lelah dan bosan. Ia tengah memikirkan nasib Ela sekarang.

Pertemuan yang sangat tidak terduga itu pun terjadi. Tatkala mobil mereka melintasi jembatan, kedua mata Tiara segera tertuju pada seseorang yang tengah berdiam di pinggiran jalan.

Ia tahu dan sepertinya memang kenal dengan orang itu. Hanya satu koper kecil yang dia bawa. Ade pun menuruti permintaan istrinya untuk berhenti di sana.

Keduanya segera turun kemudian memastikan orang yang ternyata benar-benar Ela. Gadis itu tengah menikmati angin malam.

Tiara segera memeluk Ela dengan sangat erat. Ia sama sekali tidak peduli dengan tolakan gadis itu.

Ade yang tengah berada tepat di belakang istrinya, pun memberi isyarat untuk menerimanya saja. Hal itu membuat Ela luluh dan segera membalas pelukan itu.

Tak terasa, air mata keduanya membasahai wajah masing-masing. Ade hanya bisa menatap dengan bingung, sebab ia sama sekali tidak tahu apa yang tengah terjadi saat ini.

"Kamu dari mana aja, sih, El? Kamu bahkan tega memusuhi aku, padahal kan aku nggak punya salah. Kamu kenapa sebenarnya? Sekarang juga malah bawa-bawa koper, mau ke mana, ha?"

Pertanyaan wanita itu malah membuat Ela tertawa dalam tangisnya. Ia benar-benar merasa geli sekarang ini.

"Ya kaburlah, Ti. Emang ngapain lagi yang paling masuk akal?" balasnya santai.

"Kabur atau diusir?" tanya Ade sedikit meledek sembari mengangkat koper gadis itu dan memasukkannya ke dalam bagasi.

"Kira-kira begitulah."

"Kenapa berat sekali? Apa aja isinya? Kamu bawa emas batangan ya di sini?"

"Enggak sama sekali. Ada-ada aja kalau ngomong." Ela menjawab dengan ketus kemudian masuk ke dalam mobil dan duduk di sana tanpa rasa bersalah sedikit pun.

"Mau diantar ke mana, Bu?" canda Ade membuat kedua wanita itu tertawa kencang.

"Aku diusir Ayah. Aku juga udah capek sih di sana. Selalu dipaksa ketemu klien. Dia hanya memikirkan diri sendiri dan perusahaannya. Coba kalian pikir, kalau aku diapa-apain, gimana coba?"

"Ya kan, nggak mungkin dong ayah kamu ngelepas begitu aja. Dia pasti ngirim pengawal dari jauh."

"Kamu hanya tidak tau bagaimana pekerjaannya!" kesal gadis itu. "Tiara, apa aku perlu menggoda suamimu juga?" candanya di akhir pembicaraan mereka sebelum akhirnya bicara dengan nada serius.

***

Mario tengah menunggu Nita sejak sejam yang lalu. Ia sungguh kesal tatkala wanita itu tidak bisa menepati janji. Rasanya sudah sangat sabar sejak sepuluh tahun yang lalu selalu bersembunyi.

Di meja makan yang padahal sudah disusun sedemikian rupa agar terlihat menarik dan romantic, pria itu merusak segalanya. Ia menghancurkan segalanya, bahkan tak bersisa sedikit pun.

"Nita!" teriaknya sangat kencang.

Pria itu kemudian keluar dari apartemennya tanpa menggunakan masker yang padahal sedari dulu selalu ia kenakan ke mana-mana. Langkah kakinya membawa ia ingin bebas dan makan di tempat umum.

Sesaat, ia sadar jika hidup bebas walau dalam kemiskinan rasanya lebih damai dan tenang. Ia tidak harus memikirkan bagaimana hari esok jika ketahuan atau mungkin sekarang. Tatkala ia tengah merasakan tatapan dan perhatian seseorang, segera ia berlari kencang meninggalkan tempat itu.

Ia segera sadar jika empat orang tengah mengawasinya sejak tadi. Segera saja ia merasakan penyesalan yang teramat sebab telah bertindak sesuka hatinya. Ia berbuat yang membahayakan dirinya sendiri.

"Nita, siapa yang sedang mengikutiku sekarang?" tanyanya dengan nada takut melalui sambungan telepon tatkala sudah berada di tempat persembunyian darurat.

"Kamu keluar, ya? Sudah aku bilang jangan cari-cari bahaya. Mario, jaga dirimu sekarang, aku akan segera datang. Sabar ya, sabar!"

Mario menghela napas panjang setelah mendengar kalimat menyejukkan dari wanita itu. Ia memeriksa tubuhnya yang kini sedang dipenuhi oleh keringat. Wajahnya juga sangat pucat.

"Ah, dasar! Tapi tak apa, anggap saja bagian dari olahraga," gumam pria itu merasa lebih enakan.

***