Ela tiba di kediaman Ade dengan perasaan yang amat gembira. Ia masih menempel pada sahabatnya itu setelah memasukkan koper kecilnya ke dalam tas.
Ade sedikit penasaran tentang isi benda itu dan kembali menanyakannya. Gadis itu tak segera menjawab dan malah membuka, membuat semua orang terkejut.
"Buku semua?" pekik Ade. "Kamu diusir tanpa membawa baju sepasang pun? Kasihan sekali nasibmu."
Ela tak ambil pusing akan hal itu. Dengan segera, ia membawa Tiara menuju dapur. Gadis itu mengeluhkan perutnya yang sedang kelaparan.
"Aku lapar sekarang. Dia bahkan tidak memberiku izin … hm, bukan begitu sih. Sebenarnya aku juga yang salah, langsung marah-marah nggak jelas. Abisnya, ngeselin banget tau nggak, sih!"
Tiara segera mengambilkan sepiring makanan untuk Ela. Begitu juga dengan Ade yang bahkan mengambilkan air minum untuknya.
"Masa iya, pakai acara perjodohan segala. Ya, aku nggak mau dong!" serunya tak habis pikir kemudian menyantap makanan itu setelah sebelumnya mendoakan dengan sangat singkat.
"Ya udah, dimakan aja dulu," perintah Tiara.
Ade segera memanggil adik sepupunya yang baru saja turun namun kembali naik ke lantai atas. Tampaknya pria itu tidak tau siapa yang datang, atau mungkin tidak begitu peduli.
"Ada apa, Bang?" balas Arsha yang berada di tangga dan tengah menoleh.
"Ke sini sebentar, kita ada tamu."
"Aku mengantuk sekarang, tidak ada waktu untuk itu."
Ela segera keluar dan menampakkan diri. "Woi, turunlah. Jangan sok jual mahal. Kamu pasti belum makan. Sini, sini."
Arsha geleng-geleng kepala. Ia pun merasa keheranan sebab gadis ini selalu saja ada di rumah ini.
"Kapan kamu akan benar-benar pergi dari kehidupan kami, ha?" tanya Arsha sembari berjalan dengan langkah gontai menghampiri mereka.
"Aku sudah tidak tau harus bagaimana sekarang. Aku butuh pekerjaan. Tolong pekerjakan aku, Sha." Gadis itu mengatupkan kedua tangannya sekarang.
"Masalahnya adalah … kemarin kan kamu sudah bilang nggak akan pernah lagi datang ke rumah ini. Kamu juga bilang nggak akan mau bertemu dengan Kak Tiara lagi. Kamu benar-benar nggak konsekuen deh," celetuk Arsha panjang lebar.
Kedua bola mata Ela hampir keluar sekarang. Memang benar, ia pernah berkata dan berbuat seperti itu. Tapi, itu semua tak lebih karena terpaksa.
Tiara menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan santai, ia memberikan tisu kepada sahabatnya itu, seolah tidak ada rasa kecewa dan marah.
"Sayang, memangnya kamu nggak marah setelah diperlakukan begitu oleh sahabat sendiri?" tanya Ade sedikit penasaran.
"Lah, untuk apa aku marah? Aku tau betul kalau Ela nggak akan pernah tega. Dia melakukannya karena terpaksa," balas Tiara dengan santai.
Ela hampir saja menangis sekarang. Ia merasa iba sekaligus bangga dengan sikap bijak wanita itu. Ingin sekali ia berteriak kencang akan rasa syukurnya memiliki Tiara.
"Makan aja dulu, nggak usah lebay," ledek Tiara yang bisa menangis sebebasnya.
Ade dan Arsha hanya saling menatap sekilas.
"Sha, kamu makanlah. Jangan bad mood mulu. Ada Ela nih, dia akan menjadi pembantu pekerjaanmu, kalau memang butuh."
"Hm," dehem semua orang kompak kecuali Arsha yang hanya diam.
***
Nita telah tiba di tempat persembunyian Mario. Dengan segera, ia memeluk pria itu dan memeriksa keadaannya. Terlihat jelas jika ia sangat mengkhawatirkannya.
Sambil bercerita ringan, wanita itu menanyakan perihal pengejaran yang baru saja didapatkan.
"Aku dikejar-kejar sama mereka, ya tiba-tiba aja," balas Mario sembari menggandeng tangan istrinya.
Keduanya berjalan dengan sangat cepat dan sangat dekat. Penyamaran yang sangat berbahaya namun harus tetap dilakukan.
"Keberadaanku sekarang bagaikan buronon, ya," ucap Mario setelah keduanya berada di depan pintu apartemen.
Pria itu memeriksa keadaan sekitar, tentang aman tidaknya apabila mereka masuk sekarang.
"Maafkan aku, Mas. Kalau tau begini … aku juga tidak akan pernah memaksamu untuk tidak meninggalkan aku," ucap wanita itu sembari membuka pintu.
Mario menyudutkan wanita itu di dinding. Keduanya saling menatap, entah apa maksudnya. Cukup lama mereka melakukannya.
"Itu karena kamu terlalu mencintaiku, Sayang," ucap Mario segera bergerak menuju dapur.
Ia mulai memasak dan segera dibantu Nita yang tengah sibuk sekarang. Keduanya bercanda riang tentang keluarga mereka. Sampai akhirnya, Mario menjujuri rasa lelahnya hingga saat ini.
"Bisakah kita berpisah saja? Mari kita jalani hidup masin-masing."
"Apa maksudmu, Mas?" tanya Nita yang raut wajahnya segera berubah sendu.
"Ya, aku pikir dengan terus bersikap begini, hidup kita tidak baik-baik saja. Aku merasa kalau memang sebaiknya kita berpisah saja. Kamu jalani hidupmu tanpaku sekarang. Tidak akan ada cerita pengejaran setiap aku berada di luar."
Nita terduduk lemas di kursi. Ia tak menyangka jika setelah sepuluh tahun, pria ini akan sanggup berkata seperti itu. Kenapa tidak dari dulu saja?
Mario segera merasa bersalah. Ia memeluk wanita itu dengan erat.
"Sayang, aku tau bagaimana perasaanmu. Tapi, bagaimana kalau ayahmu tau segalanya. Dia akan sangat marah kepadamu dan kita tidak akan pernah bisa bersama lagi setelahnya." Lelaki itu kembali memberi pengertian.
Nita segera menggeleng kencang.
"Tidak. Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu. Mario, kamu harus sadar dan ingat kalau ada Arsha untuk kita. Aku menyayanginya dengan sangat. Tidak mungkin dia tidak membalas kebaikanku sebagai seorang anak."
Mario terenyuh. Ia tau, sebesar apapun usahanya untuk memberi pengertian pada wanita ini, itu semua hanyalah sebuah kesia-siaan.
"Apa kamu sudah lapar?" tanya Nita segera mengalihkan pembicaraan.''
Keduanya segera memperbaiki posisi duduk dan mulai menikmati makanan itu. Adalah Mario yang terus menatap ke arah istrinya. Ia merasa kasihan terhadap hidupnya dan wanita itu.
"Mau nambah?"
***
Aram terlihat sedang bersama Reeno. Hubungan di antara keduanya tampak sangat baik.
Di antara perbincangan mereka, nama Ela sering disebut-sebut. Begitu juga dengan Arsha.
"Tapi, caramu yang kasar dan kejam seperti itu bisa membuat Ela membencimu, Reen. Bagaimana kalau sampai itu benar-benar terjadi?"
Reeno segera meneguk tehnya. Ia juga tersenyum ke arah pria tua itu.
"Aku sudah tidak muda lagi. Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin aku tidak akan bisa menjaganya lebih lama. Bagiku, rasanya lebih baik dibenci Ela asalkan dia tinggal bersama orang yang tepat."
"Baiklah. Apa kamu benar-benar yakin dengan cucuku?" tanya Aram untuk memastikan.
Reeno sedikit menggeleng. Ia sungguh tidak mengerti mengapa pria ini selalu menanyakan hal yang sama berulang-ulang. Padahal, sudah sejak kemarin sejak ia mengatakan jika dirinya sangat yakin dengan Arsha.
"Minum saja dulu. Tenang saja, cucumu akan menjadi suami dari anakku. Aku sangat yakin itu. Cinta yang berawal dari kata benci terkadang lebih indah dan meyakinkan," ucap Reeno terdengar bijak.
Tatkala hari sudah sore, keduanya memutuskan untuk kembali ke kediaman masing-masing. Sesungguhnya, Aram pun sudah tidak sabar untuk melihat keberadaan gadis itu di rumahnya.
"Jangan lupa kabari aku tentang Ela. Aku kasihan kalau dia tidak punya uang," ucap Reeno.
"Dia akan bekerja bersama Arsha. Tenang saja." Aram meyakinkan.
***