Tangis yang Disisakan oleh Aram

"Di mana Bang Ade?" pekik Arsha begitu heboh dan panik pada Reeno yang jelas-jelas baru saja kembali dari rumah.

Lelaki itu tampak ikut panik dan mencari-cari keberadaan Ade. Sesaat kemudian, anak muda itu segera sadar jika sang abang sepupu baru saja kembali dari rumah sakit untuk menemui istrinya.

"Om, tolong suruh dia segera ke sini. Kakek mau bicara berdua dengannya," pinta lelaki itu segera berlari untuk kembali masuk ke ruangan di mana Aram sedang dirawat.

***

Ade membawa pesanan sang istri. Makanan yang memang sejak beberapa hari yang lalu selalu ia pesankan dan baru hari ini jadi ia belikan. Sesungguhnya, ia sungguh merasa tak tegaan dengan wanita itu, apalagi dalam kondisi seperti ini. Seharusnya, ia memberikan tanda kasih sayang atau sedikit kemanjaan pada wanita itu.

Baru beberapa saat berbincang, ketika Ela hendak minta izin untuk bertukar posisi, ponsel Ade segera berdering. Memang, sejak tadi benda itu telah mati sebab kehabisan daya.

"Jawab, Ela," pinta Ade dengan nada yang sedikit lembut.

"Bang, kamu diminta pergi ke rumah sakit. Kakek sedang sangat membutuhkanmu. Dia ingin bicara serius denganmu. Pergilah sesegera mungkin ... sekarang. Begitu kata Arsha dan Ayah barusan," pesan Ela membuat waut wajah pria itu seketika berubah.

Ade hampir saja menitikkan air mata sebelum akhirnya ia ambruk dalam pelukan Tiara. Wanita itu memberikan ketenangan dan memberikan kalimat-kalimat positif untuk tidak berpikiran yang tidak-tidak apalagi dalam kondisi saat ini.

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Kakek. Aku tidak akan pernah memaafkan Tante Nita dan suaminya. Dia benar-benar tidak punya hati." Ade berucap dengan sangat geram. "Cup!" Memberikan sebuah kecupan yang segera menempel di kening Tiara sebelum akhirnya benar-benar berlalu dari sana.

Sepanjang perjalanan, tampak jelas jika pria itu masih sangat marah dan kesal. Perasaannya campur aduk, apalagi kenyataan bawhawa sampai sekarang, ia belum bertemu putranya. Ia tidak tau bagaimana wajah anak itu.

"Sudah di mana sekarang?" tanyanya dengan segera ketika Reeno sudah menunggu di ruang tunggu.

"ICU." Menjawab dengan nada panik juga.

"Kakek?" panggil Ade dengan nada yang sangat menyedihkan.

Aram tampaknya mendengar dan sadar akan kehadiran cucu kesayangannya itu. Beberapa saat saling melirik sebelum akhirnya pria itu menutup mata dengan air mata.

Ade segera sadar, ia mendekat dan memeluk Aram. Berusaha memastikan dengan mendengar detak jantungnya. Alhasil, pria itu memang benar-benar telah meninggal dunia.

"Kek? Kakek?" panggilnya dengan napas yang tersengal. "Kakek?" panggilnya sekali lagi ketika kedua pria itu menyahut dan memanggil-manggil nama Aram.

Dalam hitungan hari, dunia Ade berubah total. Hal itu memang terjadi setelah hadirnya Mario yang mengaku sebagai ayahnya. Pria itu hanya ayah jadi-jadian, begitulah anggapan Ade terhadapnya. Bisa ia pastikan, jika pria itu memang bukanlah ayah kandungnya.

"Bang?" panggil Arsha sungguh tak kuasa sembari memeluk Ade. Keduanya saling menatap sebelum akhirnya saling berpelukan.

***

"Ayah sudah meninggal, apa kamu tau isi surat wasiatnya?" tanya Mario dengan nada panik ketika Nita baru saja masuk ke ruangannya sambil membawakan bubur.

"Ap-apa? Ayah sudah meninggal?" tanya wanita itu sungguh kaget dan belum percaya sama sekali.

Dalam hitungan detik, langkahnya sudah berpindah dan sekarang tengah memastikan isi pesan dari putranya.

"Sudah aku baca. Aku tau itu dari pesan Arsha. Sial sekali. Kita bahkan belum tau sediit pun tentang harta pembagiannya. Seharusnya, kita bisa mengatur banyak sebelum dia meninggal. Kalau sampai kita tidak mendapatkan apa-apa, rugi benar."

Mario terus mengoceh membuat Nita benar-benar kesal dan ingin menghukum wanita itu saat ini. "Sialan kamu, Mario. Bagaimana bisa kamu memikirkan harta di saat-saat seperti ini. Bagaimana pun juga, dia adalah ayahku. Tidak sepantasnya kamu membelokkan pandangan ke uang dan melupakan posisimu sebagai menantu."

Setelah merapikan tasnya, ia segera bergegas untuk pergi dari sana.

"Aku tau betul bagaimana isi otakmu, Nita. Tidak usah munafik, walau badan kamu memang pergi ke sana, tapi pikiranmu tetap saja dipenuhi masalah uang."

Tak mau berdebat lebih lama dan banyak, wanita itu memilih pergi. Itu adalah sebuah keputusan yang sangat bijak. Sesungguhnya, perkataan Mario benar adanya. Tapi, ia juga bukan manusia yang terlalu tamak, memikirkan hal gila seperti itu di saat seperti ini, sungguh konyol.

Tangisan itu terdengar sangat jelas. Jenazah yang sudah ada di rumah membuat semua orang berkumpul di sana. Mereka yang peduli dan sayang pada Aram, jelasnya.

Pria itu memang dikenal cukup ramah sehingga tidak sedikit orang yang mengenalnya di sana. Walau memang benar, jika tempat tinggal sebenarnya ada di luar negeri.

"Katanya, dia akan tinggal di rumah ini bersama putri dan cucunya. Dia tidak ingin cucu pertamanya terganggu akan keramaian di rumah besar Ade, apalagi setelah mereka punya anak," decit seseorang dari mereka yang berkumpul di sana. Hal itu memang cukup menyedihkan bagi Ade yang mendengarnya.

"Kek, bagaimana nanti kalau rumah kakek sudah jadi? Apa rumah itu akan aku berikan pada adekku yang nakal ini?" tanya Ade dalam tangisnya.

Arsha yang mendengar itu tentu saja tidak terima. Ia merasa terhina sekarang. Ucapan Ade sudah sangat keteraluan.

"Kek, terima kasih telah meninggalkan rumah besar itu untukku. Aku janji agar membuat jalan yang berbeda dari gerbang utama agar tidak bertengkar dengan cucumu yang paling alim dan tidak nakal it," balasnya.

Mendengar hal itu, orang-orang banyak yang kebingungan dibuatnya. Namun, itulah harapan Aram semasa hidupnya. Jika mereka memang berhasil mengabulkannya, maka mereka adalah orang-orang yang sangat hebat.

Tak terasa, waktu berputar begitu cepatnya. Semua anggota keluarga telah mengucapkan kalimat perpisahan masing-masing, kecuali Nita yang baru saja tiba dan segera memeluk sang ayah dengan penuh kerinduan.

"Kami akan tetap dan selalu mencintaimu, Ayah. Tugasmu di dunia telah kau tunaikan dan selesai. kembalilah pada sang pencipta dan semoga bahagia di sana." Setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera menjauh dan duduk menyendiri di sudut ruangan itu.

Hal itu sungguh membuat Ade semakin kesal. Penilaiannya pada wanita itu semakin buruk adanya. Bagaimana tidak, di saat-saat seperti ini, tidak seharusnya ada jarakpada semua anggota keluarga. Sikap Nita memang begitu buruknya dan iya tidak segan-segan untuk memberi hukuman nantinya, tunggu saja.

"Selamat jalan, Kakek," ucap semua orang sebelum akhirnya peti mayat ditutup dan segera diangkat untuk segera diantarkan ke pemakaman.

"Apa Mamah bisa tinggal di luar malam ini? Pesan dari mamah soalnya dia sibuk katanya," ujar Arsha membuat Ade semakin kesal dan bahkan merasa jijik pada wanita itu sekarang.

"Sialan!" umpatnya.

***