Segera Memaafkan

Tiara membalikkan badannya seolah tak ingin melihat sang suami yang padahal sudah datang untuk memastikan keadaannya. Wanita itu bahkan tak sekalipun membalas panggilan dari suaminya, entah apa alasannya.

Tentu saja, itu tidak baik bagi keduanya. Pria itu masih tetap berusaha memanggil dan berharap akan mendapat jawaban dari istri yang sangat dicintainya itu. Terakhgirir, ia segera bertanya, "Apa aku bisa memastikan keadaan putra kita?" tanyanya.

"Tidak. Kamu sebaiknya urus saja urusan keluargamu sekarang. Jangan membuatku gila. Pergilah dari sini."

Larangan dan usiran itu tentu saja membuat Ade tak habis pikir.

"Ada apa denganmu, Sayang? Apa aku punya salah sama kamu? Apa yang telah aku perbuat sehingga kamu semarah ini?" tanyanya lagi.

"Tolong ... tolong dengan sangat, pergilah dulu dari sini. Jangan menggangguku."

"Apa aku benar-benar tidak bisa melihat putraku?"

"Tidak."

Jawaban itu seolah menjadi sebuah kenyataan pahit bagi Ade. Ia terdiam selama beberapa saat, selama itu pula istrinya tak merespon apa-apa. Malah ia menjadi iba sekarang.

Jika posisi Tiara terus-terusan begitu, maka tidak akan baik juga bagi kesehatannya.

"Ada apa ini? Kenapa Tiara tidak mau bertemu denganku, Ela? Dia bahkan mengusirku."

"Benarkah, Bang? Aku juga heran kenapa begitu. Aku akan ajak dia bicara dulu. Sebaiknya abang urusin Kakek saja dulu."

"Aku tidak ada waktu untuk itu sekarang. Arsha yang akan mengurus masalah Kakek. Kalau sudah bicara dengan istriku, sampaikan padanya aku sedang mengurus masalah di kantor. Tidak ada siapa-siapa di sana sekarang."

"Baik, Bang. Hati-hati..."

Ade mengangguk sebelum akhirnya pergi. Ia melangkahkan kaki dengan sangat tidak tenang. Bagaimana tidak, pikirannya terus tertuju pada sang istri yang sangat dia cintai.

"Tia, ada apa? Kamu kenapa usir suamimu?" tanya Ela pada sahabatnya sekarang.

"Juga tidak bertemu dengan putraku, aku juga tidak tau kenapa aku merasa sangat kesal padanya. Dia selalu sibuk dengan urusan keluarganya yang tidak berujung. Hampir setiap hari selalu saja ada masalah. Kalau bisa, aku sudah menampar dan menjambaknya sekarang. Huft!"

"Tidak boleh begitu, Tiara. Kamu juga harus mengerti keadaan suami kamu. Kamu harus tau bagaimana bingungnya dia sekarang. Tante Nita bahkan mengaku kalau dia adalah orang yang telah melahirkan dia. Padahal selama ini, yang dia tau, orangtuanya meninggal dalam tragedi kecelakaan."

Mendengar hal itu, Tiara terdiam sekarang. Ia merasa kesal pada waktu dan keadaan yang selalu memaksanya untuk menahan segala perih di hatinya. Ia bahkan tidak punya kesempatan untuk sedikit menuntut.

"Di mana dia sekarang?"

"Kantor. Tidak ada orang di sana sekarang. Arsha mau mengurus Kakek karena masuk rumah sakit. Semuanya memang begitu runyam, jangan sampai lupa bersyukur, Tia."

Tiara terdiam. Ia sangat menyesal setelah beberapa saat yang lalu mengusir suaminya bahkan tak memberi izin untuk melihat putranya beberapa saat saja. Astaga, ia menjadi orang yang paling jahat dan buruk sekarang.

Waktu yang sangat terjadwal dan padat tentu saja tak memberi ruang pada Ade untuk segera datang saat itu juga. Ia harus menunggu sore untuk bisa bertemu dengan Ade.

"Kamu lapar?" tanya Ela sekarang.

***

Arsha menatap Nita dengan penuh kecurigaan. Ia masih tak yakin jika semua pengakuan Mario dan wanita itu benar adanya. Ade juga tak mungkin bisa mempercayai sebuah kenyataan begitu lamanya. Tak mungkin ia tak berfirasat tentang jati diri yang sesungguhnya.

Reeno kemudian menepuk bahu pria itu sekarang. Ia memberi jeda dan waktu untuk keduanya saling berbincang.

"Aku akan coba pastikan keadaan Mario sekarang," katanya.

Arsha masih tampak sangat kesal dan bingung. Ia bahkan terduduk lemas sekarang. Sungguh tak ada maksud untuk bicara berdua dengan sang ibu.

"Kamu masih tetap percaya sama mamah, kan?"

"Aku capek, Mah. Tolong jangan diganggu dulu."

"Sha, kamu masih tetap percaya sama mamah, kan?" Lagi, Nita bertanya untuk memastikan. Ia bahkan ragu sekarang, sangat ragu.

"Aku capek, Mah, capek! Tolong-jangan-banyak-bicara!"

Mendengar teriakan dan bentakan itu seketika membuat Nita tersentak. Ia menjauh sekarang. Rasa takutnya mencuat semakin dalam.

"Sha?"

"Pergilah!"

"Baiklah, Nak. Aku pergi sekarang."

***

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Ade pada dokter yang menangani persalinan istrinya sekarang.

Uang memang bisa membeli waktu seseorang. Ya, memang itulah yang tengah dilakukan oleh Ade. Namun, ia tetap saja berpikir secara logis. Ia hanya membeli waktu luang seseorang, tidak untuk waktu sibuk.

"Itu wajar dan memang kerap terjadi pada ibu yang baru saja melahirkan. Terlebih lagi, Pak Ade tidak ada di sisi Bu Tiara ketika beliau melahirkan. Dia yang berjuang sendirian, lahirannya secara normal pula."

"Benarkah? Bukankah itu sangat sakit?" tanya Ade sekarang.

"Memang itulah permintaan Bu Tiara, Pak." Dokter itu segera memberi penjelasan, takut jika kejadian ini akan menjadi sebuah urusan penting dan sulit bagi pekerjaannya. "Tapi, semuanya baik-baik saja. Istri dan anak anda selamat."

Ade tertegun sekarang. Ia menjadi semakin merasa bersalah, bagaimana mungkin ia tak berada di sisi istrinya ketika akan melahirkan. Apalagi, itu adalah untuk yang pertama kalinya. Ah, sungguh kejadian ini membuatnya sangat tertekan.

"Bagaimana sekarang? Apa aku harus melakukan sesuatu untuknya? Apa yang harus aku lakukan agar dia segera menerima dan memaafkanku?" tanya Ade dengan perasaan sangat tidak nyaman.

"Tenang saja. Cukup berikan perhatian lebih dulu. Mungkin saja istri anda akan mengerti keadaan sekarang. Apalagi itu semua terjadi karena kakek anda yang juga mengalami hal sama. Saya turut prihatin dengan apa yang terjadi."

Setelah mendengar pernyataan dan saran dari sang dokter, Ade segera memerintah wanita itu untuk pergi sekarang. Ia masih ingin melanjutkan bayangannya tentang wajah putranya sekarang. Berharap jika itu akan sangat menyenangkan, apalagi jika mirip dengannya.

Semua memang telah terlanjur terjadi. Yang bisa dilakukan sekarang hanyalah berharap agar Tiara segera memaafkannya dan beberapa detik setelahnya, dering ponselnya memanggil ia.

"Di mana sekarang? Tiara mau ngajak bicara, nih," ucap Ela secara langsung.

"Di-"

"Maaf, Sayang." Segera saja suara itu bertukar dengan suara Tiara yang terdengar penuh penyesalan. "Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Aku juga tidak punya hak untuk melarangmu melihat putra kita."

"Kenapa tidak, Sayang? Aku memang pantas diberi hukuman dan kenapa tidak pantas? Dia adalah putraku, juga putramu. Dan karena kamu yang mengandungnya selama beberapa bulan, maka kamu yang lebih berhak atasnya. Itu wajar, Sayang."

Tiara dan Ela terdengar tertawa geli sekarang. Ya, tentu saja mereka tahu jika Ade bukanlah orang yang mudah marah apalagi jika ini berurusan dengan putranya.

"Nanti mau dibawain apa?" tanya Ade membuat Tiara tertawa dan menjawab dengan girang.

***