Bab 1

"Akhhh, tolong lepaskan aku, kumohon," teriak gadis malang itu menatap mengiba pada seorang wanita yang sedang bermain dengan sebuah slice knife dengan ujung runcing, size ramping, gagang aluminium berukuran sekitar 15×30cm.

"Akhhh? Teriakanmu sangat manis, Sayang. Bisa kau beri alasan kenapa aku harus melepaskanmu?"

"Kumohon, aku masih ingin hidup, please."

"Apa baiknya hidup? Matimu akan lebih menguntungkan, kulitmu, rambutmu, dagingmu, ususmu, hati dan empedumu, tulangmu, semua bisa berguna untukku tiga bulan kedepan."

"Dasar psikopat gila!" teriak gadis itu dengan kucuran air mata yang tak berhenti keluar dari matanya.

Berdiri menghadap gadis yang sedari tadi menangis terisak dan memohon untuk dibebaskan, "aku suka kata itu." Menyunggingkan bibirnya hingga gigi-gigi putihnya terlihat jelas beriringan menimbulkan tawa geli sekaligus menyeramkan diantara hembusan angin malam itu.

Pisau itu mendekati gadis muda yang masih terisak sembari meminta tolong walau sadar tidak akan ada yang bisa mendengarkannya. Dalam hitungan detik ujung pisau itu sudah menembus kulit dan lapisan daging pada leher mulus gadis itu. Pisau itu menusuk lebih dalam dan menukik ke arah luar hingga dipaksa keluar dari celah lain. Pisau yang tadi putih berubah merah menyala dengan mencuatnya urat leher seorang gadis muda, darah mengucur hebat dari lubang lebar itu menyiprat hingga menyentuh bibir siempunya pisau. "Asin," serunya menjilat cairan merah pada bibirnya. Dia berdiri meninggalkan gadis yang saat ini mulai tenang dalam tidurnya ditemani alunan dari musik Nocturne Op. 9-No. 2.

"Lalu, apakah dia akan menguliti kulitnya, mengoleksi rambutnya, memakan daging serta bagian dalamnya, dan membuat furniture dari tulangnya?"

"Aku rasa tidak, kalau dia melakukan itu maka bisa dijamin itu tidak cukup untuk tiga bulan."

"Lalu apa yang akan dia lakukan dengan bangkai itu?"

"Mungkin mengawetkannya?"

Rizal menoleh pada wanita yang duduk disampingnya, "Diawetkan untuk apa?"

Zu menoleh balik padanya, "Mau dijadikan asinan mungkin," jawabnya datar.

"Ha?"

"Zal, itu cuman kisah fiksi dari imajinasi seorang penulis liar yang kemudian diadaptasi ke dalam bentuk novel cetak. Ya terserah dia mau dia apakan, jangan terlalu masuk ke dalamnya." Menunjuk text yang baru saja mereka baca dari komputer milik Rizal.

"Iasih, tapi penulisnya gila sih. Semua karyanya tentang psycho gore parah begini, apa otaknya gak rusak?"

"Entahlah?" Zu hanya mengangkat bahunya menunjukkan rasa peduli pada ucapan Rizal yang tidak seberapa.

Zu mengambil sebuah novel dengan cover cerah berwarna pink di meja Rizal, membaliknya dan melihat dengan seksama.

Butterfly oleh Summer. Tulisan yang terpampang pada cover buku itu.

"Ini karyanya juga kan ya?" tanya Zu pada Rizal yang sudah kembali fokus pada komputernya.

"Ho'oh."

"Bukan hanya memakinya tapi lu juga koleksi karyanya."

"Itu cukup membantu untuk meningkatkan vibe horor di beberapa cerita lain dari penulis lain, Zu. Sedikit banyak membuka dark mind of mine."

Zu mengunggingkan bibirnya mendengar penuturan Rizal, "penjilat" gumamnya pelan pada telinganya sendiri.

"Ha?" Rizal yang hanya mendengar huruf t dari gumaman Zu berusaha memperjas apa yang ia dengar tapi tidak di respons oleh Zu.

"Dari pada gumam gak jelas, gimana kalau lu bantuin gue ngedit nih cerita, mual gue lama-lama."

"Gua Lazuardi, seorang penulis bukan editor." Zu meninggalkan meja Rizal dan kembali ke mejanya yang berapa di samping Rizal, "Fighting begadangnya," ucapnya sepuluh detik kemudian.

Lazuardi, atau lebih sering dipanggil Zu. Dia seorang penulis yang berprofesi sebagai editor. Dalam kata lain, sebenarnya dia editor juga seperti Rizal, tapi dia juga adalah seorang penulis dengan genre Thriller-Mystery. Tapi begitulah kebiasaannya, saat diminta mengedit dia akan bilang dia penulis dan saat diminta menulis dia akan bilang dia adalah seorang editor, walaupun sebenarnya dia melakukan keduanya.

"Hai, Gadis, how about your work?" Zu baru memasuki ruangan yang berisi gadis-gadis muda dan seorang pemuda pekerja keras yang kadang terlalu keras pada hidup mereka sendiri.

"Hai, Nona, dari bau baunya dia tidak akan selesai walau hidup mungkin akan berakhir," jawab Gadis masih berkutat dengan komputer dan naskah naskah yang bertumpuk di meja dan emailnya.

Zu meletakkan secangkir kopi panas di meja Gadis, ia ingat gadis itu memintanya sekalian menyeduhkan kopi untuknya saat pantry di lantai satu tadi.

"Akh, kenapa harus seburuk ini hanya untuk mengisi sejengkal perut." Dinda menjatuhkan tubuhnya pada tumpukan kertas di mejanya.

"Itu karena perutmu mengaret, Din, diisi sebanyak apapun tidak akan penuh."

"Setuju!" seru Zu dari meja kerjanya.

"Gimana kalau gua bantu menuhin?" Rizal muncul dari ruangan tetangga yang juga lembur malam ini. Dinda menaikkan kepalanya.

"Ide bagus, kebetulan gua bawa gunting. Usus lu keknya renyah, Zal." Dinda menjilat bibirnya seolah baru mendapat santapan paling nikmat.

"Stop it, Din." Rizal menatap Dinda yang membuat kepalanya semakin pusing. "Keknya kalian pada harus pulang duluan deh, udah pada ngawur. Pusing gua dengan segala berbau psycho. Ditambah si Summer-summer ini lagi." Rizal mengurut kening dengan jarinya. Entahlah, dengan berbagai cerita creepy yang dia edit hari ini ditambah buku Butterfly yang ia baca tadi, kepalanya terasa pusing. Ditambah candaan Dinda lagi yang kurang tepat untuknya saat ini.

"Can i stay?" Zu menatap Rizal dengan wajah kecil mungil dan matanya yang bulat, ditambah lagi tambut pendeknya ikut bergiyang saat ia menggoyangkan kepalanya ke kiri dan kanan. "Siapa yang nemenin kamu nanti?" Menarik narik pelan ujung kaos Rizal dengan manja.

"Bacot beut, gua gaplok lu baru tau." Rizal menatapnya datar.

"Ya abis lu nyuruhnya 'kalian', emang lu gak pulang?!" Wajag imutnya berubah sangar sekarang.

"Gua juga udah mau balik bentar lagi, kalian beres-beres aja duluan."

"Siap Pak Ketua!" Gadis segera berdiri mengemasi barang-barang dan menyatukan file-file dan naskah di mejanya. Zu dan Dinda juga sama dengan Gadis membereskan meja mereka masing-masing. Walau tadi mungkin menolak, tapi di dalam hatinya dia juga sebenarnya ingin pulang secepatnya. Sudah cukup malam untuk gadis berkeliaran di jalan.

Ketiga gadis itu keluar dari wilayah kantor bersamaan sementara Rizal masih di ruangannya. Tidak melakukan apapun, hanya melamun menatap komputernya yang bertulisan "We Will Die" -salah satu judul yang harus dia edit hari ini. Sebenarnya dia sudah dengan cerita-cerita itu, tapi kerja tetaplah kerja. Memaksa teman-trmannya tetap stay juga bukan pilihan yang tepat, mereka sudah bekerja keras seminggu full dan tinggal ini yang tersisa, Rizal bisa menanganinya.

Sebagai editor thriller mystery dan horor, novel-novel dengan tema psycho, pembunuhan, ataupun santet-santetan sudah menjadi langganan mereka. Itu sebabnya kadang anggota tim mereka bisa saja jadi bertindak aneh dan kadang diluar ambang normal. Terlebih lagi saat seperti sekarang ini minat pembaca Indonesia sedang marak-maraknya pada genre psycho mystery dan horor yang membuat penulis dengan genre itu semakin banyak dan naik daun. Tugas mereka jadi lebih berganda dan memaksa mereka lembur hingga beberaoa hari terakhir.

Seharusnya itu sudah menjadi hal normal bagi tim editor ini saat mereka harus mengedit banyak cerita mystery setiap harinya. Namun, bulan ini penulis yang hiatusnya sangat mereka senangi malah ikut berpartisipasi meramaikan jagat perpsychoan Indonesia. Penulis yang sudah lebih setahun hiatus tanpa karya apapun, muncul dengan karya terbarunya yang creepy luar biasa seperti biasanya. Itu membuat mereka mual setengah mati saat dibayangkan.

"Udah setahun tuh makhluk gak pernah update novel baru lagi, tiba-tiba muncul keluarin novel yang sama sekali tak berniat gua baca." Dinda duduk di bangku kemudi dengan Zu yang duduk di sampingnya. Mereka memang sering pulang bersama karena kebetulan rumah mereka searah. Sementara Gadis, apartemennya dekat dengan kantor. Jalan kaki lima menit juga sampai. Kalau Rizal, itu juga menjadi tumpangan favorit Zu kalau sedang tidak bisa pulang bersama Dinda.

"Hmm, mungkin baru dapet ilham kali," sahut Zu tampak tak begitu tertarik, lelahnya membuat dia tidak bersemangat.

"Are you okay?" Dinda menatapnya sekilas sebelum kembali pada jalanan yang sudah gelap dengan penerangan lampu jalan dan kendaraan lainnya.

"I'm okay." Zu menghela napas kasar, sepertinya tubuh tidak sesuai dengan dengan apa yang ia katakan.

Drrttt ... drrtt ....

"Eh? Gadis nelpon gua mau ngapain dah? Baru ketemu padahalan." gerutu Zu mengangkat ponsel yang ia letakkan di pangkuannya.

"Zu ...," panggil Gadis dari ujung sana sembari terisak membuat Zu bingung.

"Hei, kamu kenapa?"

"Zu ... hiks ... dia ... mati, Zu ... hiks"

"Ha? Siapa yang mati?! Cerita dulu yang bener, kalau gak aku matiin telponnya nih." Zu mulai kesal yang membuat Dinda di sampingnya ikut penasaran.

"Kenapa si Gadis?" Zu mengangkat bahunya isyarat dia tidak tahu.

"Dia meniggal ... hiks, kepalana ... hiks kepalnya copot ..., perutnya keluar-keluar aaa ..., dia dibunuh!"

Zu menghela napas pelan dan menyisir rambutnya kasar dengan jemari tangan kanannya. "Ngomongnya yang jelas, Dis. Gua gak paham sumpah, lu tenang dulu trus cerita yang bener. Siapa yang meninggal?! Siapa yang dibunuh?!"

Cittt

Deg. Dibunuh? Spontan Dinda menghentikan kendaraannya di pinggir trotoar yang sebenarnya dilarang parkir. Dia menatap Zu dengan sedikit panik.