Bab 2

"Minnieee ...."

"Mi ... minnie?" Zu menatap Dinda yang mulai melemaskan tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi kemudinya.

"Yaudah kita kesana sekarang ya, lu jangan nangis lagi. Wait there, okay?" Panggilan itupun berakhir dengan Dinda yang segera memutar balik mobilnya menuju kontrakan Gadis.

"Ini manusia satu bener-bener gak tau situasi apa? Malam-malam bikin panik, kirain apa," gerutu Dinda sembari terus mengemudi dengan kecepatan diatas sebelumnya.

"That's, buat kita itu mungkin hanya sekedar kucing, tapi buat Gadis itu teman hidupnya, Din."

"Lagian, siapasih yang bisa berbuat gitu ke kucing? Dimutilasi, gadak otaknya tuh orang." ucap Dinda menggebu-gebu. Sementara Zu malah tegang menatap jalanan ramai itu karena kecepatan mengemudi Dinda yang tidak seperti biasanya dan seolah tidak peduli dengan ramainya jalan dia terus menginjak gasnya, membuat jantung Zu berdegup lebih kencang. Apa aku akan mati malam ini juga? Hanya itu yang terlintas dibenaknya saat ini.

Tok tok tok

"Gadis, bukain pintunya, ini Zu sama Dinda." Akhirnya mereka berdua sampai di apartement Gadis.

"Gadis!" panggil Zu untuk kedua kali tapi tetap tidak ada sahutan maupun hawa hawa seseorang yang sedang berjalan mendekat untuk membukakan pintu.

"Gadis? Are you okay?" Zu kembali mengetuk dengan hati yang mulai tidak tenang. Bagaimana kalau Gadis melakukan sesuatu yang aneh di dalam sana karena stressnya melihat kematian kucing tersayangnya? Gadis polos sepertinya tidak ada yang tahu bisa berbuat apa saja kan.

Mereka berdua saling bertatapan. "Coba langsung buka." Dinda angkat suara.

"That's will be okay?"

"Ini keadaan genting, Zu. Sopan santun bertamumu kurang tepat sekarang." Dinda langsung meraih gagang pintu apartemen Gadis dan ..., pintu terbuka.

Zu sedikit bingung, kenapa pintu apartementnya terbuka? Ini apatement mahal dengan pintu dengan lock sandi, bagaimana bisa terbuka begitu saja?

Dinda masuk lebih dulu diikuti Zu dibelakangnya.

Rumah ini sepi dan gelap disegala penjuru.

"Sial, gua merinding." Zu bergidik dan menggosok lengannya sendiri dibelakang Dinda.

"Gadis!" Dinda mencoba memanggil nama temannya itu beberapa kali, mencari tahu dimana kiranya keberadaan gadis muda yang barusan menelpon mereka dan membuat keributan di malam-malam begini.

Tidak ada jawaban tapi ada suara isakan seorang wanita yang asal suara dari balkon rumah Gadis.

"Dis?" Dinda bergegas mendekati balkon dengan cahaya samar dari langit malam diluar.

Clek

Ruangan itu tiba-tiba penuh dengan cahaya terang membuat Dinda sedikit silau menghentikan langkahnya, napasnya sempat terhenti beberapa detik.

Dia segera menoleh kebelakang.

"Gelap, Din, kenapa gak dari tadi kita hidupin lampu sih, serem tau," ucap Zu tanpa rasa bersalah dengan posisi tangannya di saklar yang baru saja di switch.

"Tapi gua kaget, bangke," ucap Dinda menggertakkan giginya kesal.

Zu hanya meringis sampai ia melihat tepat ke belakang Dinda. "I ... itu." Tanpa sadar dia menunjuknya.

Dinda ikut menoleh dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Disana ada Gadis yang duduk memeluk lututnya, disudut balkon dengan pisau dapur penuh darah di tangan kirinya. Bajunya juga ikut berlumuran darah. Sementara di hadapannya ada Minnie, si kucing malang dengan tubuh yang sudah berantakan.

Bulu putih bersih yang dimiliki Minnie membuat ia jadi tambah menyeramkan saat darahnya mengalir dan memenuhi bulu-bulu putihnya.

Zu mendekat dan melihat lebih jeli pada Minnie bergantian dengan Gadis. Apa gadis ini membunuh kucingnya sendiri? Itu yang pikirkan sekarang.

"Dis, are you okay?" Dinda berjalan mendekat pada Gadis.

"Bukan aku yang membunuhnya, aku sudah menemukannya seperti ini saat aku sampai di rumah, dan pisau ini ada di sampingnya." Gadis masih menangis sembari menunjukkan pisau di tangannya pada Dinda.

"Yes of course, i know. Gak mungkin kamu yang bunuh. Sekarang letakin dulu pisaunya, okay?"

Gadis meletakkan pisau di tangannya dan Dinda berjalan lebih dekat padanya untuk menenangkan memeluknya.

Sekarang gadis lebih tenang walau masih sedikit terisak di pelukan Dinda.

"Di rumah ini ada kain putih gak?" tanya Zu memecah keheningan sesaat di ruangan itu.

"Biasanya ada di lemari warna coklat di samping tempat tidur, dia ada di rak paling atas." Zu bergerak mengikuti arahan Dinda barusan.

Minnie dibungkus dengan baik dalam beberapa helai kain putih. Seluruh organ tubuhnya diletakkan dengan benar sesuai tempat yang seharusnya.

"Ini bisa dikubur dimana? Di dekat sini ada tempat yang bisa jadi tempat peristirahat terakhirnya gak?" tanya Zu sembari membawa Minnie dalam gendongannya seperti bayi.

"Di belakang ada taman yang tidak terurus, mungkin bisa di sana." Dinda menoleh pada Gadis seolah meminta persetujuan dari gadis itu. Gadis mengangguk lemas di samping Dinda.

Zu membawa Minnie dan menguburkannya di taman belakang apartemen Gadis, tidak lupa dia menabur beberapa helai daun diatasnya hasil petikannya menuju taman itu lengkap dengan sebuah batu sembarang yang dia letakkan di atas kuburan Minnie. Lama dia menatap kuburan yang baru ia buat.

"Kira-kira, bagian tubuh mana yang dia potong lebih dulu? Apakah nadi pada leher mulusmu hingga kau tidak bisa melawan?" Zu melihat sekitar dan kemudian berdiri menghadap muburan Minnie.

"Istirahat yang tenang, Minnie, good night forever," ucapnya sebelum meninggalkan kuburan itu. Beruntung ini malam hari, jadi dia tidak perlu khawatir dengan tatapan orang padanya, tapi gelapnya malam cukup memungkinkan makhluk lain yang bisa saja sedang menatapnya. Dia bergegas pergi dan kembali ke apartemen Gadis.

Gadis sudah mengganti pakaiannya dan Dinda sedang membersihkan sisa sisa darah di balkon.

Zu duduk bersama Gadis di sofa secara berhadapan setelah bersih-bersih sehabis dari taman belakang tadi. Zu menatap pekat Gadis, tidak ada apapun yang terlintas di kepalanya kini, hanya saja dia ingin menatap gadis itu seolah mencari sesuatu untuk dikatakan.

"Kenapa kamu liat aku kayak gitu?"

Zu menelengkan kepalanya, gadis itu bahkan tidak melihat kearahnya dan hanya menunduk dalam lamunannya sejak beberapa menit yang lalu. Bagaimana dia tahu Zu melihatnya?

"Gapapa, aku cuman khawatir aja sama kamu." Kembali hening diantara mereka.

"Ini masih pada belum makankan? Gua udah order makanan barusan, kita makan malam bareng disini."

"Lu selera makan, Din?"

"Gua gak selera, Zu. Tapi besok kita masih harus tetap kerja dan tetap hidup, gua rasa Rizal gak bakal terima pengajuan cuti untuk kita. Mungkin kalau lu sih bakal diterima ya."

"Hmm, maybe." Zu mengangguk dan bergegas melangkah ke dapur menyiapkan beberapa piring, sendok, dan lain sebagainya untuk makan malam mereka. Sementara Dinda sedang keluar membayar makanan yang dia pesan.

"I dont like to eat with you." Zu berhenti dengan piring-piring di tangannya. Dia menatap Gadis cukup lama, "Kenapa dengan wanita ini?" pertanyaan itu yang muncul di kepala Zu sampai Dinda datang dan menghancurkan suasana dingin diantara mereka.