Bab 3

"Gimana kabar Gadis?" Gadis saat ini tinggal di rumah Dinda untuk sementara waktu, melihat keadaannya kemaren rasanya tidak akan bagus meninggalkannya sendiri di apartemennya.

"Lebih baik dari yang kemaren."

"That's great. Trus gimana selanjutnya? Lu gak mau bawa dia ke psikiater?"

Dinda menatap Zu yang sedang asik menyantap makan siangnya. "Kenapa dia harus ke psikiater? She's good," ucap Dinda tanpa mengalihkan pandangannya dari Zu.

"How can you say that she's good? Dia bunuh kucingnya sendiri, dan itu kucing kesayangannya." Zu balik menatap Dinda sembari mengunyah makanannya.

"Bisa gak lu pelanin suara? Lu mau kasih tau itu kesemua orang di kantor ini?" Dinda menatap sinis pada Zu.

"I said it lowly, gue gak teriak-teriak. Lu gak harus marah sih kayaknya." Mereka berdua sedikit bersitegang dengan saling menatap satu sama lain.

"Gini deh, Din. Oke gua tau lu sama Gadis udah sahabatan dari kalian kecil, tapi gua juga yakin lu gak akan sebodoh itu untuk percaya bahwa itu kucing dibunuh sama stranger people yang dengan sengaja ngebobol sebuah apartemen sebagus itu demi ngemutilasi seekor kucing. Gak logika." Zu memecahkan hening diantara mereka yang memperburuk mood Dinda.

"And then, kalau lu memang yakin bukan dia, apa yang buat lu nolak bawa dia ke psikiater? Sekedar konseling biasa ya no problem lah."

"Zu, dia bilang bukan dia, so, ya bukan dia, oke." Zu meletakkan sendoknya dan memperhatikan Dinda dengan seksama. Apa yang dia sembunyikan dari Zu? Apa yang Zu tidak ketahui tentang mereka berdua? ah, pasti banyak. Zu menyenal mereka baru beberapa tahun terakhir sementara pertemanan antara Dinda dan Gadis sudah sejak dari mereka duduk di Taman Kanak-kanak.

"Oke deh bukan dia, trus siapa?"

Dinda diam mengalihkan pandangannya kesembarang arah, menghela napas kasar, "I don't know."

"You know, but you don't wanna know."

"Yes i do. Tapi memang kenyataannya kita gak tau apa yang sebenarnya terjadi, Zu. Kita gak lihat dengan mata kepala kita sendiri kalau dia yang lakuin itu, gak ada bukti. So, lu gak bisa asal ngejudge bahwa Gadis yang ngelakuin itu. Lagian it's just a cat, gak harus dibesar-besarkan." Dinda berdiri dari kursinya dan meninggalkan Zu di pantry itu sendiri dengan berbagai pertanyaan di kepalanya.

"Ah, it's just a cat," gumam Zu dengan senyum tipis.

***

"Okay guys, hari ini tidak ada lembur. All of you can go home more early then yesterday." Rizal bangkit dari kursinya dengan kalimat memerintahkan teman-temannya untuk segera bergegas untuk pulang lebih awal. Hari ini mereka tidak perlu mengejar deadline naskah karena semua naskah dengan jadwal terdekat sudah selesai.

"I will stay. Ada beberapa yang harus gua selesaiin malam ini." Zu masih asik dengan komputernya.

"What? Are you writing? Do it on your home, Babe."

"I'am not your babe~," ucap Zu bernada sementara Rizal hanya terkikik, dia geli sendiri dengan ucapannya.

"Gua mau selesaiin novel gua, kalau gua tutup sekarang entar bakalan gak mood lagi. Jadi, silahkan kalian pulang lebih dulu."

Dinda sudah hampir selesai dengan barang-barang dan mejanya. Sementara Rizal masih bergeming. "Gua temenin, mau? Ntar gimana kalau lu tiba-tiba ada pembunuh bayaran yang masuk?" tawarnya pada Zu yang membuat mereka bertiga bergeming.

"Kalau ada pembunuh bayaran masuk, sekalipun lu ada disini gue bakalan tetap mati. Malah jadi double ditambah sama mayat lu, Zal."

"Ya setidaknya gua tetap ada di samping lu kan."

"Kalian tuh capek gak sih saling flirting satu sama lain? Kenapa lu berdua gak pacaran aja sih sekalian?" Dinda berdiri menenteng tasnya menatap dua orang dihadapannya.

"Nope!" jawab mereka hampir bersamaan.

Dinda menyunggingkan bibirnya seolah jijik dengan kedua temannya ini. Selalu saling menggoda dan selalu sok saling menolak satu sama lain.

"Go home. Lu juga, Zal. Gua gak perlu teman sekarang." Dengan berat hati Rizal bergegas dan meninggalkan Zu disana sementara Dinda mungkin sudah hampir sampai rumah melihat kecepatannya menyambar kunci mobilnya tadi.

Zu sebenarnya tidak sendiri, karena di perusahaan penerbitan besar seperti ini tidak jarang melihat editor editornya menghabiskan malam di kantor untuk mengejar deadline masing-masing. Sama seperti malam ini, Zu disana tidak sendiri. Ada dua editor lain dari divisi fantasi yang masih setia dengan komputernya masing-masing.

"Kayaknya rencananya bakalan nginap nih," sindir Zu pada seorang wanita yang kebetulan bertemu dengannya di pantry. Keduanya sedang menyeduh kopi untuk menghilangkan rasa ngantuk yang mulai merajai.

"Entahlah, akhir-akhir ini banyak naskah bertebaran. Kebahagian untuk penerbit dan kesengsaraan untuk editor, huft." Wanita itu menghela napas tampak lelah. Walau begitu senyum tipis dari di bibirnya masih terlihat manis dengan keramahan yang luar biasa.

"Ya, buat editor juga ada kebahagiaannya sih, Mbak. Entarkan lemburan bakalan cair." Zu menyenggol pelan lengan seniornya itu.

"Haha, tidak berharap banyak. Tapi, ya," menatap Zu dengan menelisik, "kayaknya lumayan gede bulan ini," lanjutnya dengan nada yang lebih pelan dan kemudian diiringi tawa ringan dari mereka berdua.

Jam di ponsel Zu sudah menunjukkan pukul 21.00pm. Ia harus segera bergegas pulang karena ia memang tidak pernah berencana untuk menginap di kantor ini.

Sebelum benar-benar keluar dari kantor itu, Zu menyempatkan melihat ke ruangan divisi fantasi. Sudah tidak ada orang disana, berarti seniornya sudah pulang lebih dulu. Zu memutuskan bergegas menuruni anak tangga satu persatu karena lift sudah tidak beroperasi lagi. Lampu pun sudah hampir keseluruhan padam dan tersisa lampu lobi luar yang hidup.

Ada seorang pria yang berdiri di depan lobi. Dia tampak tak asing bagi Zu.

"Mas Fajar?" Pria itu menoleh dengan kaget.

"Eh, hai, Zu," sapa pria itu tanpa menoleh sedikit pun pada Zu.

"Baru pulang, Mas?" Zu dengan ramahnya menyapa pada pria itu yang juga adalah seniornya dari divisi fantasi. Dia tadi memang bersama dengan Seri --senior wanita yang bertemu dengan Zu di pantry.

"Ah, ia. Baru kelar jam segini."

"Mbak Seri tadi bareng sama, Mas, kan? Dia udah pulang duluan?."

"Ia, mungkin." Zu menoleh pada Fazar sepersekian detik. "Maksud gua, ia, dia udah pulang duluan. Kayaknya ada hal genting, dia chat gua sih kalau dia udah pulang duluan tadi." Zu ber-oh ria dengan suara angin yang menemani keheningan diantara mereka sampai sebuah ojol datang menghampiri mereka dan Fajar permisi untuk pulang lebih dulu pada Zu. Tak sampai lima menit Zu juga pulang dengan taxi online yang sudah ia pesan beberapa menit yang lalu.

 

Pesan masuk

+62xxx 21.09pm

Done.