Bab 4

"Hai, selamat pagi." Semringah Gadis menyapa mulai dari lobi sampai ke ruangan bergandengan dengan Dinda. Setiap orang yang berpapasan dengannya turut menyambut dan membalas sapaannya. Pagi ini cukup cerah dibandingkan pagi-pagi sebelumnya dalam minggu ini, entah karena besok adalah weekend dan kantor akan libur, cukup selalu dinikmati saja selagi bisa, bukan?

"Hai, Gadis. Udah masuk nih, apa kabar kemaren kok gak masuk?" Rizal menepuk pelan pundak Gadis yang baru saja duduk di kursinya.

"Something wrong with my body, need some bedrest."

"Yang penting hari ini sudah fit dan bisa menyerang semua naskah akhir pekan yang harus diselesaikan." Rizal mengangkat tangannya dengan kepalan menunjuk ke atas sejajaran kepalanya. Semangat yang ia berikan memberikan senyuman hangat pada setiap orang di ruangan ini, Dinda, Gadis, Zu, dan Rizal sendiri. Mereka siap bertempur hari ini.

"Ah, diluar cerah banget, secerah senyuman Gadis di pagi yang hangat ini." Zu memejamkan matanya dan menghirup dalam udara yang mencuri masuk dari celah jendela yang dibukanya pagi-pagi tadi. Walau kemaren dia yang terakhir pulang kerumah, pagi ini dia mempertahankan gelarnya sebagai karyawan yang paling pertama sampai di kantor. Tipe anak teladan memang sangat berbeda.

"Haha, thank you." Gadis menelengkan kepalanya mengintip dari sekat-sekat mejanya untuk melihat Zu.

Zu balas tersenyum, betapa dia bersyukur temannya ini sudah membaik dari sebelumnya. Mungkin sebelumnya Zu sangat khawatir dengan keadaan Gadis, tapi sekarang, dia memilih jalan seperti Dinda. Kejadian beberapa hari yang lalu mungkin hanya sekedar kerikil dalam hidup yang menjadi peringatan untuk mereka. Untuk menjadi teman yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih saling memperhatikan satu sama lain. Poor Minnie, semoga dia tenang di alam yang ia jalani sekarang, dimanapun itu.

"I have such a great idea. Gimana kalau sepulang kantor kita nongkrong di café dekat rumah gua? Ada café baru disana, kayaknya enak buat tempat nongkrong." Dinda mengangkat kepalanya menoleh pada ketiga temannya satu per satu.

"That's great!" seru Gadis di sampingnya. Dan sekarang mereka melihat Rizal dan Zu bergantian.

"Ngapain lu liatin gua?" omel Zu menyadari Rizal juga menatapnya sedari tadi.

"Lu ikut kan?" Sekarang Zu yang bergantian melihat temannya satu per satu dengan mata bulatnya.

"Of course, gue ikut." Semuanya tampak sumringah. Dengan Zu yang setuju untuk ikut, itu berarti Rizal juga akan ikut. Pria itu selalu ngintil kemanapun Zu pergi untuk mengabiskan weekendnya.

"Zu, ada yang nyari." Belum sepuluh menit mereka mulai fokus dalam pekerjaannya, seorang senior yang juga kepala divisi tim fantasi -Dera- menghampiri tim mereka dan meminta Zu bersamanya. Merasa bingung, Zu menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi seolah berkata "Me? Why?" tapi walau begitu Zu tetap menurut dan mengikuti seniornya itu. Sementara temannyanya yang lain melihat dengan wajah bingung.

"Zal, kok lu gak berhentiin atau nanya alasannya kenapa Zu dipanggil? Kan lu kepala divisi kita," bisik Dinda pada Rizal di depannya.

"Gue coba cek dulu." Rizal berdiri dan mencoba mengikuti Zu di belakangnya.

Rizal berjalan di belakang Zu dan Dera tanpa sepengatahuan mereka. Rizal mengikutinya sampai ke lantai satu dimana ada dua pria paruh baya dengan setelan dinas polisi terlihat sedang berbincang dengan Manajer mereka. Tidak sampai Rizal menginjakkan kakinya di lantai satu, Dera menyadari keberadaannya.

"Ngapain lu ngikut?" kritik Dera pada Rizal yang ikut mengintil di belakang Zu.

"Soalnya dia dari tim gue, jadi sedikit banyaknya kalau ada apa-apa ya gue bertanggung jawab juga." Melihat ada beberapa orang yang ia kenal di depan lobi yang sudah menunggu.

"Gak usah, gak ada masalah. Lu balik aja ada banyak kerjaan kan weekend. She will be okay." Zu setuju dengan Dera dan menyarankan Rizal untuk kembali ke meja kerjanya. Dia juga tidak menyadari Rizal mengikutinya, kalau tau Rizal ada di belakangnya, Zu pasti sudah mendepaknya kembali ke kursinya secepat mungkin.

Rizal sempat melihat Zu dibawa oleh dua orang yang tadi dia lihat sebelumnya. Mereka membawa Zu dengan sebuah mobil avanza hitam. Sementara Dera kembali ke lantai dua dengan Rizal.

Di dalam mobil itu Zu hanya diam dengan pikiran yang kusut dan bingung setelah mendengar penuturan dari para detektif itu tadi saat masih di kantor.

"Dengan Ibu Lazuardi?" Zu mengangguk membenarkan pertanyaan itu. "Anda kenal dengan Seri Andriani?"

"Kenal, Pak," jawab Zu

"Apakah benar kemarin malam anda bersama dengan saudari Seri Andriani pada pukul 20.00pm?"

Ada jeda sekitar 3 detik sebelum Zu membenarkan pernyataan sekaligus pertanyaan dari polisi itu. Dia belum bisa mencerna apa sebenarnya yang terjadi, apa terjadi hal buruk pada Mbak Seri? Hanya itu dia tangkap dari pertanyaan-pertanyaan polisi itu.

"Kalau begitu, boleh ikut dengan kami ke kantor polisi sekarang? Kami butuh beberapa pernyataan dari anda." Walau sedikit takut, Zu tetap menurut pada permintaan dua polisi itu. Ditambah Manajernya juga berusaha meyakinkannya untuk ikut bersama mereka.

"That's will be okay, ikut aja. Kerjaan bisa diberesin anak-anak nanti." Manajernya menepuk pundaknya pelan untuk sedikit menghilangkan rasa khawatir yang melanda Zu.

 

Dan sekarang disinilah Zu berada. Di dalam sebuah ruangan luas dengan dinding putih secara keseluruhan, hanya ada satu meja dan empat kursi di dalamnya dan juga, Fajar.

Zu dipersilahkan duduk tepat di samping Fajar sementara polisi tadi duduk berhadapan dengan mereka berdua. Apa ini? Apa dia sedang diinterogasi? Bersama Fajar? Kenapa Fajar juga ada disini? Apa sebenarnya kaitan ini semua dengan Seri?

Sebenarnya Zu tidak begitu suka dengan ruangan ini, atau mungkin membencinya. Ruangan ini hanya membawa berbagai kenangan pahit dari masa lalu ke dalam otaknya. Dia muak dengan segala sudut dari ruangan putih bersih ini. Tapi, tidak mungkin dia kabur dan memperburuk situasi yang mungkin sekarang sudah sangat buruk kan? Ya, setidaknya dia harus bertahan disini sampai tahu apa alasannya dibawa ke tempat ini.

Tidak ada basa-basi, polisi itu menyodorkan sebuah foto kehadapan mereka berdua. Dengan kaget Zu menutup mulutnya dengan mata yang membelalak, dia tahu jelas siapa yang ada di foto itu, dia wajahnya, tapi, tidak dengan tubuhnya. Tubuhnya amburadul dengan balutan darah yang menyapu hingga lantai.

Zu memundurkan tubuhnya secara spontan dan tanpa terasa bulir hangat menetes di pipinya. Apakah dia harus percaya dengan apa yang dia lihat sekarang? Apa matanya tidak salah melihat dan mengenali orang itu? Apa itu benar-benar wanita yang bercanda bersamanya malam kemarin di pantry kantor? Mbak Seri?

"Seri Andriani, wanita berusia 30 tahun seorang karyawati di Publisher Media Utama. Ditemukan meninggal dunia secara mengenaskan di apartemen pribadinya lantai 19 nomor 32 Serpong, Bekasi. Penyebab kematiannya belum diketahui pasti, dari penyelidikan sampai detik ini diduga sebagai kasus pembunuhan. Kalian mengenalnya?"