Bab 5

Sekitar pukul 15.00pm Zu sudah sampai di rumahnya. Dia langsung merebahkan diri pada sofa di ruang tamu. Dia mengambil nafas secara perlahan dan mengeluarkannya dengan sangat halus. Dia butuh menenangkan dirinya sendiri sekarang.

Zu bahkan tidak ada kembali ke kantor hari ini, ponselnya bergetar sedari tadi tetapi tidak ia hiraukan. Dia bisa menebak siapa yang meneleponnya secara beruntun, kalau bukan teman sedivisinya ya siapa lagi.

Seharian ini Zu hanya menghabiskan waktu di kantor polisi, dia dikurung dalam ruangan pengap itu.

Sendunya langit dan redupnya ruang tamu itu membuat Zu mengantuk dan mulai terlelap. Dia harus menyimpan tenaga untuk besok, baik ia harus ke kantor polisi lagi atau harus bertemu dengan teman-temannya untuk dicerca pertanyaan yang lebih banyak dari polisi yang menginterogasinya.

*

"Huft," Zu menghela napasnya kasar dengan Gadis yang mengelus pundaknya. Hari ini mereka sengaja berkumpul di cafe di dekat rumah Dinda sesuai dengan jadwal batal kemarin pagi. Zu menceritakan semua yang ia ketahui dari kantor polisi kemarin kepada teman-temannya. Mereka tidak kaget di awal cerita ketika mendengat kematian Seri, kabar itu pasti sudah beredar di kantor dan mereka bertiga pun pasti sudah tahu. Yang membuat kaget adalah kondisi tubuhnya yang polisi itu tunjukkan pada Zu, kecuali Rizal.

"Tapi, btw nih, kenapa Mas Fajar juga disana?"

"Ya karena dia juga lembur bareng sama Mbak Seri sama Zu lah, On." Dinda menatap Gadis yang bertanya dengan kepolosannya dan kebodohannya yang beda tipis.

"Dia yang ngasih laporan ke polisi, karena dia yang nemuin pertama jenazahnya." Ketiganya serentak melihat Zu. "Mas Fajar ada di lokasi kejadian," sambung Zu kembali.

"So, bisa jadikan dia pelakunya?"

"Gadis, stop it. Kalau dia pelakunya ya ngapain dia lapor polisi?" Dinda yang lagi-lagi menyanggah omongan Gadis.

"That's right, ngapain dia lapor polisi." Zu menjatuhkan dirinya pada sandaran kursi yang ia duduki. "Tapi, kenapa juga dia nuduh gue sabagai pelakunya hanya karena gua yang ketemu terakhir sama Mbak Seri?"

"What?! He did it?!" Dinda meletakkan roti dari genggamannya kembali ke tempat asal mula roti itu.

"Tapikan mayatnya ditemukan di apartemennya sendiri, trus atas alasan apa tuduhannya? Lu berdua malahan masih ketemu di kantor sementara Mbak Seri udah pulang duluan." Kali ini Rizal ikut berbicara.

"Karena ... tidak ada bukti maupun jejak pembunuhan di apartemen itu. Kemungkinan dia dibunuh di tempat lain dan mayatnya diantar ke apartemennya." Pernyataan Zu ini membuat ketiga temannya kembali menyerutkan kening dengan serentak.

"So, TKPnya kantor kita dong?!" ucap Gadis membelalakkan matanya.

"Belum tentu, karena kita gak tau mungkin aja Mbak Seri ke tempat lain setelah dari kantor kan?" Ketiga mengangguk setuju dengan Zu.

"Tapi aneh tau gak? Dari pernyataannya Mas Fajar, tas dan barang-barang Mbak Seri tuh masih tinggal di kantor waktu dia pulang duluan dan ngabarin pulang duluan aja lewat chat Wa doang. Sementara, dari keterangan polisi semua barang-barang, tas, sama ponselnya ditemukan di tempat kejadian, di apartemennya."

Keadaan menjadi senyap, mereka semua diam dengan berbagai pikiran masing-masing.

"Sama satu lagi, malam itu ... " ucap Zu pelan yang membuat dia jadi fokus utama, "... kita keluar kantor sekitar jam sembilan malam. Mas Fajar pulang duluan naik ojol. Gak sampai lima menit gue juga pulang naik taxi online, tapi …," Zu menatap keempat temannya sekilas, "… gue liat motor Mas Dera parkir di depan butik samping kantor." Mereka yang melihat satu sama lain.

"Ngapain dia disana? Enggak ada café, restoran, atau apapun disana." Dinda seolah mengutaran pertanyaan dari mereka berempat.

"Gak mungkin dia lembur juga karena gua masih papasan sama dia pas sore-sore mau balik sama Dinda." Rizal melipat kedua tangannya di dada.

"Yup, gue saksi hidupnya." Dinda mendukung pernyataan Rizal. "Kecuali nih, dia balik lagi ke kantor pas malamnya ya gue gak tau," sambung Dinda kembali.

"Gak lah, selama gue di kantor dia sama sekali enggak ada. Kalau ada, pasti gue lihat." Zu menyanggah sebagai saksi hidup untuk pernyataan yang ini. Mereka saling bertatapan satu sama lain, apa mungkin Dera ada hubungannya dengan kematian Seri?

"Bisa jadi dia disana buat jemput Mbak Seri." Ucapan Gadis membuat semua mata tertuju padanya. "Mereka kan pacaran, wajar kalau saling peduli, kan?"

"What?!" Pernyataan itu membuat mereka bertiga kaget. Bagaimana mungkin? Sesekantor tau kalau Mas Fajar ngebet banget pengen pacaran sama Mbak Seri, bahkan walaupun sudah pernah ditolak Mas Fajar tetap tidak menyerah. Dan sekarang, Mas Dera yang ternyata pacaran sama Mbak Seri? Itu jadi pertanyaan di kepala mereka.

"Khayalan lu kali, Dis. Kalau lu sebut nama Mas Fajar gue gak bakalan heran, tapi kalau Mas Dera, keknya gak mungkin aja gitu. Masa gak ada bau baunya sama sekali sih."

"Tapi aku seriusan, Din. Mbak Seri pernah cerita sama aku, dikarenakan aku gak sengaja lihat mereka lagi kencan gitu berdua."

"Where?" Zu jadi turut penasaran.

"Di Merrcure Hotel."

"Uhuk." Rizal tersedak makanannya sendiri, dia berusaha menepuk dadanya dibantu Zu menepuk pundaknya pelan. Dinda ingin mengangkat suara tapi batal karena melihat Rizal tersedak luar biasa, padahal bukan hanya dia yang kaget.

"Aku melihat mereka beberapa kali jalan bareng, jadi gak mungkin itu cuman cinta satu malam," lanjut Gadis yang seolah membaca pikiran Dinda dan menjawabnya. Keheningan terjadi diantara mereka.

"Wait, sebelumnya gue kepikiran tentang tasnya Mbak Seri. Apa Mas Fajar sengaja kesana pagi-pagi buat nganterin tasnya Mbak Seri dan ternyata sampai disana dia ngelihat keadaan Mbak Seri seperti itu dan lapor polisi. Tapi sekarang, bisa jadi dia balik kesana nganterin tasnya sekalian buat balas dendam karena ditolak dan jadian sama Mas Dera."

"Trus kenapa dia malah laporin kalau tas Mbak Seri masih tinggal di kantor dong?" Rizal melemparkan pertanyaan untuk pertanyaan yang dilontarkan Dinda.

Zu menggelengkan kepalanya, "Kita juga mereka bukan anak ABG yang balas dendam karena cinta ditolak." mengaduk kopi di hadapannya sebelum menenggak keseluruhan.

"Dan lagi, tanpa ada bukti yang kuat itu semua hanya akan jadi fitnah, sih. Jadi kita cukup diam aja dan biarkan yang berwenang melakukan tugasnya." Setuju dengan perkataan Rizal, mereka kembali diam dan mencoba menikmati minuman masing-masing.

Sementara itu, Zu masih berkelud dengan pikirannya. Bagaimana pun juga, secara unofficial dia menjadi tersangka yang tidak disebutkan. Entah bagaimana hari ini dan hari-hari selanjutnya dia akan menjalani ini semua, bolak-balik bertemu dengan polisi dan menghadapi teman sekantornya yang mungkin akan menatapnya dengan berbeda.

"Apakah orang berwenang itu akan benar-benar menyelesaikannya dengan benar?" gumamnya pada dirinya sendiri.

*

Badan yang terbujur kaku dengan luka sayatan di leher hingga membentuk lubang yang cukup besar, perutnya terbelah dan ternganga, kedua lengan dan kakinya terpisah dari tubuhnya, setetes air mata yang jatuh menyentuh telinganya menunjukkan seberapa menderitanya dia.

 "Tolong, lepaskan aku."

Fajar membuka matanya dan segera bangkit dari kasurnya. Napasnya terengah-engah dengan keringat yang sudah membasahi tubuhnya. Dia serasa kehilangan nyawanya beberapa detik dan kembali lunglai saat menyadari bahwa barusan itu hanyalah mimpi.

 

Pesan masuk

sxxxxx 20.44pm

Toilet wanita ruangan ke-2 dari pintu masuk.