Bab 6

"Masuk, hari ini?"

"Hm, masuklah, kenapa?" Zu membuka matanya perlahan, duduk dengan perlahan untuk mengumpulkan kesadarannya. Pagi ini harinya dibuka dengan panggilan masuk dari Rizal. Beberapa hari ini pria itu cukup sering mengganggunya. Pagi, siang, malam, dia seperti menghantui Zu dengan pertanyaan yang sama.

"Lu beneran baik-baik aja, kan? Dari suaranya kayak masih baru bangun tidur. Lu begadang ya semalaman?"

"Ia, gua baik-baik aja." Zu meraih kaca mata di nakasnya dan bergegas dari tempat tidur.

"Apakah begadang adalah sebuah kejahatan? Dari dulu juga gue sering begadang, Zal."

Beberapa detik tidak ada jawaban dari seberang sana. "Kalau lu ngerasa gak sehat, cuti aja dulu beberapa hari, Zu."

Zu tidak mengindahkan perkataan Rizal, dia bahkan hampir tidak mendengar apa saja yang dikatakan Rizal. Dia cukup sibuk membersihkan tempat tidurnya yang berantakan.

"Gue mau beberes dulu, Zal. Lanjut nanti ya." Zu meraih ponselnya dan akan mematikannya saat ucapan gerakhir Rizal terdengar samar.

"Oke, see you." Panggilan itu sudab terputus.

Zu meraih handuk dan memasuki kamar mandi dengan ponselnya yang kembali berdering di atas tempat tidur. Tidak ada nama kontak yang tercantum, hanya nomor berjejer yang bergetar tampak disana.

Rencananya Zu akan masuk kantor hari ini, tapi panggilan dari kantor polisi memaksanya untuk ijin. Entah sudah berapa kali Zu mengunjungi kantor polisi itu, rasanya sudah muak dengan semua yang ada disana. Akan lebih baik jika ada perkembangan dari kasus yang menimpa seniornya dengan keberadaannya disana, tapi buruknya tidak ada perkembangan apapun.

"Pak, sebenarnya saya capek menghadiri panggilan begini setiap saat, masih ada banyak hal yang harus saya lakukan untuk hidup. Kenapa tidak hentikan penyelidikan kepada saya? Toh saya gak tau apa-apa."

"Kami melakukan penyelidikan sesuai dengan laporan masuk, Bu. Panggilan hari ini kami layangkan setelah ada bukti baru yang merujuk akan keberadaan Ibu di toilet kantor bersama dengan korban pada malam hari kejadian."

Zu mengernyitkan keningnya. Polisi itu menunjukkan rekaman CCTV yang menunjukkan wajahnya secara jelas memasuki kamar mandi sesaat setelah Seri masuk lebih dulu.

Berjarak lima menit, Zu keluar sementara Seri tidak ada kembali sampai CCTV itu akhirnya gelap.

"Butuh waktu sedikit lebih lama dari dugaan kami untuk mendapatkan bukti CCTV ini karena sempat hilang, sekarang anda akan ditetapkan sebagai tersangka utama."

Zu menghela napas dan bersandar pada kursinya. "Saya memang masuk ke kamar mandi itu, Pak. Tapi selama disana, saya tidak melihat Mbak Seri sama sekali, saya bahkan tidak tahu kalau dia ada masuk ke kamar mandi di jam itu." Zu berusaha membela dirinya yang memang merasa tidak melakukan apapun dan tidak melihat apapun.

"Apakah ada bukti atau saksi bahwa anda memang tidak bersamanya di kamar mandi itu?"

Zu speechless dengan pertanyaan itu, bagaimana dia bisa membuktikannya? Keadaan saat itu sudah malam, dan hanya ada mereka di sana. Ditambah posisi di kamar mandi tidak ada CCTV.

"Wah, Pak. Itu sudah malam dan posisinya hanya kami berdua disana, lalu bagaimana saya membuktikannya?!"

Zu menatap polisi di depannya dengan kesal. Ia tahu bahwa polisi itu hanya mengikuti prosedur dan kini dia ditetapkan sebagai tersangka. Hanya saja, dia kesal dengan semua keadaan yang dia juga tidak tahu harus berbuat apa.

"Lagian, bukti itu tidak menunjukkan bahwa saya membunuh Mbak Seri. Itu hanya rekaman saya masuk ke kamar mandi setelah dia masuk lebih dulu. Tidak ada bukti kekerasan apapun di dalamnya, Pak."

"Hai, Nona Manis." Suara barito dari seorang pria paruh baya menghentikan mereka berdua. Pria itu menyuruh polisi yang baru saja menginterogasi Zu pergi.

"Lama tidak bertemu dan sekarang saat bertemu kembali, sama seperti dua belas tahun yang lalu, kita bertemu kembali di kantor polisi. Bagaimana kabarmu?" Pria itu duduk di hadapan Zu.

Dia adalah Doni Subono, seorang polisi senior yang beberapa tahun lalu pernah berurusan dengan Zu. Dia adalah kepala polisi yang menangani kasus kematian Ibu Zu yang diduga sebagai kasus pembunuhan. Bukan hanya itu, setahun kemudian, Ayah Zu juga meninggal dunia. Dugaan polisi itu adalah kasus pembunuhan, tapi karena kurangnya bukti, kasus itu ditutup sebagai kasus bunuh diri karena depresi. Putrinya yang masih berusia tiga belas tahun ditemukan dengan beberapa luka pisau di lengan dan kaki sementara sang ayah meninggal di tempat kejadian dengan luka gorok di sekitar lehernya.

Walau begitu, Zu tidak menyukai Doni sama sekali. Dia membenci pria itu. Kedua kasus orang tuanya ditutup dengan alasan yang tidak seharusnya, tidak pernah Zu mendengar nama dari pelaku yang melakukan itu kepada orang tuanya. Seandainya dulu pelaku pembunuhan ibunya ditemukan, Zu tidak akan kehilangan ayahnya juga. Baginya, Doni adalah penyebab kacaunya hidupnya selama bertahun-tahun.

"Kenapa kau itu sepertinya sangat dicintai masalah-masalah pembunuhan?"

Zu tidak menjawab apapun karena pertanyaan itu memang tidak untuk dijawab olehnya. Bukan sebuah permintaan seorang anak ditinggalkan oleh kedua orang tuanya karena kasus pembunuhan.

"Kau tidak sedang dalam keadaan depresi berat seperti ayahmu, kan?"

Zu menatapnya dingin.

"Sebenarnya aku hampir mengalaminya, tapi itu tidak terjadi, Pak Doni. Dan juga, ayahku bukan penderita depresi." Penekanan pada setiap katanya menunjukkan luka dan kesal di dada Zu sedang memberontak. Orang di depannya membawanya pada ingatan yang sejak lama berjuang ia buang.

"Sepertinya kau sangat membenciku, Nona Zu." Doni terkekeh melihat wajah Zu yang sudah memerah dan menatapnya tajam.

"Tapi kau harus lebih tenang mulai dari sekarang, karena untuk kasus ini akan diambil alih olehku. Jadi, mohon kerja samanya."

Sekarang berganti Zu yang terkekeh geli. "Kenapa anda tidak menutup kasusnya dengan bunuh diri saja? Seperti dulu," menatap Doni dengan wajah excited setengah mengejek mungkin.

Doni tidak menghiraukan ucapan gadis itu, dia menyerahkan sebuah flashdisk pada Zu.

"Video CCTV tadi tidak sekuat itu untuk menyeretmu ke penjara. Kami tidak memiliki bukti yang lebih kuat untuk membuatmu jadi pelaku. Jadi, kau boleh pulang dan cari tahu siapa yang menyembunyikan rekaman itu sebelumnya."

Zu menatap flashdisk dan Doni bergantian. Apa yang dimaksud pria ini? Apa yang dia mau sekarang?

"Aku tahu kau punya intuisi yang sangat baik, Zu. Proses pemecahan kasus di kepalamu bisa menyelematkanmu dari tuduhan ini."

"Tuduhan? Anda percaya bahwa ini adalah tuduhan?" Zu setengah percaya dengan apa yang ia dengarkan barusan.

"Aku bisa memercayaimu melebihi ayahmu, Nona Author." Doni keluar meninggalkan ruangan itu. Video itu adalah bukti yang cukup kuat, kenapa memberinya pada tersangka utama seperti Zu?

"Aku memang membunuhnya!" Doni berhenti di pintu mendengar ucapan Zu. Dia berbalik menatap gadis itu.

"Aku membunuhnya malam itu, di kamar mandi wanita bilik kedua dari pintu masuk. Dia tercekik sampai napasnya terengah-engah dan mati."