BAB 7

"Aku membunuhnya malam itu, di kamar mandi wanita bilik kedua dari pintu masuk. Dia tercekik sampai napasnya terengah-engah dan mati."

Doni terkekeh dengan pernyataan Zu yang tiba-tiba. Dia kembali memasuki ruangan dan melipat kedua lengannya di dada menghadap Zu.

"Semua cerita detektif yang kau angkat dalam novelmu memang kuakui alurnya bagus, pemecahan masalahnya pun sangat berkualitas. Karena itu aku yakin kau juga tahu, caramu ini tidak akan membebaskanmu dari apapun." Doni meninggalkan Zu, dan kali ini dia benar-benar pergi meninggalkan ruangan.

Zu menghela napas kasar, dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan. Beban di kepalanya membuatnya melakukan hal yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya.

Rekaman CCTV itu, dia pasti akan menemukan siapa yang telah menyembunyikannya.

Satu-satunya orang yang diragukan oleh Zu adalah Fajar, dia satu-satunya orang yang bersama dengan mereka di kantor waktu itu.

Tapi masalahnya, sejak beberapa hari terakhir Fajar tidak pernah datang ke kantor. Dia mengambil cuti beberapa hari.

"Halo, Zal. Lu ada alamatnya Mas Fajar gak?"

"Ada, buat apa lu?"

"Tolong kirim ke gue, ada perlu."

"Itu privasi, Zu. Gue gak bisa sebar ke siapa pun tanpa ijin."

"Zal,"

"Karena lu yang minta, oke."

Sambungan terputus. Beberapa menit kemudian pesan masuk dari Rizal. Rincian alamat rumah Fajar tertulis disana.

"Thank you, Zal," gumam Zu pada layar ponselnya.

*

Tidak butuh waktu lama, Zu sudah berada di halaman sebuah rumah petak berukuran kira-kira 5x5. Melihatnya saja sudah sesak, bagaimana pria itu bisa bertahan disana selama beberapa hari ini?

"Ngapain lu disini?" Wajah Fajar terlihat menyelinap dari bali pintu.

Ngebobol rumah, lu." Zu masuk tanpa dipersilahkan.

"Ini rumah senior lu, seenggaknya sopan sedikit." Fazar mengikuti langkah Zu.

"Kenapa lu nyembunyiin salinan CCTV kamar mandi?"

Sedikit kaget. Tapi Fajar tetap berusaha memasang wajah datar.

"Emang kenapa? Kan bagus, itu bisa menutupi kejahatan lu, Zu."

Zu menatapnya tanpa ada ekspresi.

"Lu takut ketahuan selingkuh sama Mbak Seri, kan?"

Fajar yang tadinya menunduk kini menatap Zu tajam.

"Jangan sembarangan, lu!" tegasnya mendekatkan wajah pada Zu.

"Mas, bukan rahasia lagi kalau lu ada hubungan sama Mbak Seri."

"Dera yang jadi rahasia," lanjut Zu tepat di telinga Fajar.

Fajar mundur menjauh. Hawa di ruangan itu terasa semakin panas dari sebelumnya. Keringat Fajar mengucur.

"Lu gak harus kasih tau gue siapa yang bunuh Mbak Seri. Tapi gue akan cari tahu sendiri. Mulai dari semua rekam jejak CCTV yang tiba-tiba hilang maupun rusak." Zu mulai melangkah keluar dari rumah petak itu. Sampai diambang pintu dia berbalik, "Termasuk CCTV di dalam apartemen Mbak Seri," lanjutnya sebelum membanting pintu dan pergi dari sana.

Bagaimanapun juga, Zu harus mendapatkan pelakunya. Dia harus membersihkan namanya. Siapa yang akan melakukannya kalau bukan dirinya sendiri?

"Dia udah tau," suara seseorang di balik telepon genggam di tangan seorang pria lainnya.

"Hm." Hanya itu repons yang terdengar sebelum panggilan itu terputus.

"Zu, sudah beberapa hari ini lu gak ngantor. Gak takut lu kena peringatan?"

"Iya gue tau, makanya hari ini gue mau masuk." Zu memang berencana akan masuk hari ini. Entah apa yang dilakukan Doni hingga dirinya tak lagi mendapat panggilan dari pihak polisi.

"Emang semua masalah lu udah kelar?"

"Belum kelar. Tapi absensi gue bakalan nambah masalah lagi nanti."

"Oke deh, lanjut di kantor entar." Zu memutuskan panggilannya dengan Rizal. Entah kenapa dengan pria itu, akhir-akhir ini dia cukup sering menghubungi Zu.

Seperti yang diharapkan. Mengunjungi kantor hampir sama dengan mengunjungi neraka rasanya.

Entah sejak kapan teman sekantornya ini berubah menjadi monster menakutkan saat orang lain berada di titik terendah. Mungkin memang dasarnya mereka begitu, hanya saja baru terjadi pada Zu sekarang.

Zu sedang mengisi botol minumnya di pantry. Awalnya ada banyak orang disana, tapi setelah kedatangan Zu, semuanya tiba-tiba menghilang.

"Apakah mereka berfikir pembunuh akan membunuh di keramaian apa?" gumamnya menyesap minumannya. Seolah sedang menikmati orang-orang yang menjauhinya. Zu berlama-lama di tempat itu. Mencari tahu, berapa lama manusia-manusia ini akan menahan haus hanya karena dia?

"Geser lu!" Dinda mendorong tubuhnya menjauh dari dispenser.

"Lu kira ini milik nenek moyang lu apa?" celetuknya sembari memenuhi botol bening seukuran dengan milik Zu.

"Hm, gue rasa ini memang milik nenek moyang gue. Lu lihat gak ada satupun yang berani nyentuh." Zu merentangkan tangannya pada seisi pantry.

"Perempuan gila," ucap beberapa orang disekitarnya dia abaikan.

Dinda mengikuti pandangan Zu. Sebenarnya dia juga menyadari perlakuan semua orang pada Zu.

Dia bisa mengerti perasaan mereka yang was was, tapi dia juga benci pada omongan mereka yang semakin buruk saat berpindah mulut. Menyebarkan omong kosong tanpa fakta apapun.

Dinda bergegas dari tempat itu. Tidak lupa dia juga menyeret Zu untuk ikut. Matanya terasa lebih sakit melihat gadis bodoh itu berdiri di depan dispenser.

Seperti yang dikatakan oleh nona-nona yang tadi, sepertinya Zu mulai kehilangan akal sehatnya.

"Zu, sebenarnya dari semuanya ini keberuntungan lu cukup hebat loh," ucap Dinda begitu mereka sampai di ruangan.

"Aku setuju." Gadis menyahut.

Zu menghela napas kasar. "Kalian masih bisa bilang keberuntungan karena bukan kalian yang ada di posisi gue," ucapnya tanpa menoleh dari laptop di hadapan.

"Gue serius. Karyawan mana cuba yang bisa hadis tiga kali seminggu ke kantor. Kena kasus pembunuhan, dan buat keributan di kantor. Tapi tidak dipecat!"

"Aku setuju." Gadis kembali mendukung pernyataan Dinda.

"Gue barusan dapat surat dari Pak Subono," ungkap Zu membuat ketiga temannya menoleh.

"Gue kena SP, " lanjutnya melihat ketiga temannya.

"What?!" Dinda yang bereaksi berlebihan.

"Cuman SP doang?" lanjutnya mengundang tatapan tajam dari ZU.

"Why? Lu seneng kalau gue dipecat?" Menatap nanar pada Dinda.

"Ya enggak juga. Gue seneng lu masih bisa kerja. Cuman," menatap Zu dalam. "Lu ada koneksi apa sama yang punya penerbit ini?" lanjutnya berbisik. Kali ini bukan hanya Zu yang melihatnya tapi juga kedua orang lainnya.

Semua hampir tahu keadaan Zu. Anak yatim piatu yang dibesarkan oleh tantenya yang single sampai dia menghembuskan napas terakhir kalinya dua tahun yang lalu.

Zu tidak memiliki keluarga manapun lagi. Ibunya hanya dua bersaudara semenatar ayahnya bahkan tidak tahu siapa orangtuanya.

Nenek dan Kakek? Mereka sudah lebih dulu mati sebelum kedua orang Zu. Kehidupannya memang dipenuhi orang-orang yang sudah almarhum.

Dinda menarik tubuhnya dan duduk dengan lebih tenang. Ingin menarik kata-katanya, tapi sudah tidak bisa.

"Gue gak peduli sama kisah hidup, lu. Satu hal yang pasti, gue yang akan beresin tuh anak kalau lu sungkan."

Dua pria saling bertatapan di meja panjang milik warung kaki lima.