Bab 8

Malam menyongsong kegelapan dengan sepi yang bersahutan bersama derik jangkrik dari sekitar. Rumah tua Zu terasa dingin dengan walau cuaca di luar sana sebenarnya tidak terlalu lembab. Entahlah, pagi, siang, maupun malam, hawa di rumah ini seperti tidak pernah mengalami perubahan.

Sebenarnya rumah itu bukan jenis rumah tua yang terbuat dari kayu pada sebagian besar materialnya. Atau rumah tua dengan nuansa klasik kuno bercat coklat kemerahan. Rumah itu berdesain menimalis dengan warna cat sebahagian besar cream tua dengan padu padan coklat muda di setiap kamarnya. Tampilan luar pun memiliki warna yang sama, cream tua.

Zu meraih ponselnya setelah beberapa dering panggilan dia lewatkan. Rasanya malas untuk mengangkat panggilan itu setelah melihat nama yang sudah ia tebak sebelumnya. Menghela napas kasar, dia akhirnya menekan tanda hijau di sana.

"Kau sudah menemukannya?"

"Hm,"

"Lalu bagaimana? Sudah menemukan jalan yang lebih cerah, Nona?"

"Pak Doni, boleh tolong berhenti menggangguku? Jalanku semakin gelap karena Anda."

Bukannya mendapat respons yang baik, dia malah mendapatkan suara tawa yang begitu nyaring dari seberang sana. Pria tua ini membuat kepalanya terasa lebih pusing.

"Aku bahkan membantumu, lalu kau berkata aku mengganggumu?"

Zu menghela napas kesal. "Apa yang ingin Anda katakan? Ini mengganggu waktu istirahatku."

"Weiling Street 309D, mungkin kau akan menemukan sesuatu di sana," ucap pria itu.

Belum sempat Zu mengatakan apa pun, sambungannya sudah terputus secara sepihak. Gadis itu mengumpat pelan menurunkan ponselnya.

"Sebenarnya apa gunanya sebagai detektif? Tidak berguna!"

.

"Zu, apa menurut lu, lu bakalan bisa ngejar keduanya dengan tepat waktu?" Rizal sedang berdiri di belakangnya. Menatap pada layar komputer Zu yang sedang menampilkan sebuah naskah. Dia baru saja mendapatkan dua naskah baru begitu sampai di kantor. Diberi waktu paling lama dua hari untuk menyelesaikan kedua haskah itu.

'Bisa, kenapa? Lu mau berbaik hati membantu?"

"Of Course, kirim ke gua satu biar gua beresin." Rizal bergerak bersiap kembali di tempat duduknya.

Zu menatapnya sekilas. "Bukannya naskah target lu juga masih banyak?"

"Bisa gua atasin sendiri." Rizal balah menolehnya.

Zu menyetujui permintaan Rizal. Dengan segera dia mengirimkan naskah satunya kepada pria itu.

"Wahh, Rizal baik banget. Bantuin aku juga, dong." Gadis memanyunkan bibirnya.

"Kerjain sendiri," ketus Rizal. Gadis mencebik menarik kembali dirinya. Sementara Dinda memerhatikan mereka dengan senyum simpul.

"Zu!" Panggilan itu menghentikan langkah kaki Zu. Dinda berada di belakangnya mengejar.

"Gue boleh bareng lu, pulang?"

Zu mengangguk.

"Lu lagi ada masalah? Tumben mau main ke rumah gue." Zu membuka suara dalam keheningan mereka.

"Hm, gue punya banyak banget masalah," balasnya menoleh pada Zu. "Tapi masalahnya kali ini bukan gue, tapi elu."

Zu tertawa kecil. Memandang dalam pada jalan dari spion mobil. Apakah masalahnya tidak bisa berlalu begitu cepat seperti bayangan pohon dalam pantulan spion itu?

Dinda membuka laptop dan sebuah buku catatan dari tasnya. Dia sudah sibuk mengulik sesuatu begitu sampai di rumah itu. Zu yang melihat sahabatnya se-excited itu bergerak mengambil dua minuman kaleng dari kulkas dan menyerahkan salah satunya pada Dinda.

"Sebelumnya lu pernah bilang ke kita kalau di lokasi yang diduga lokasi pembunuhan Mbak Seri, ada Mas Dera."

"Motornya, bukan dia," sahut Zu memperbaiki.

"Yes! Motornya dan kemungkinan besar dirinya juga. Karena sore itu jelas dia balik duluan daripada gue, jadi malam itu sudah pasti dia kembali lagi ke sana."

Zu mengangguk setuju dengan ucapan Dinda.

"Lu sisa di kantor berdua sama Mas Fajar, dia lebih dulu pulang berjarak hanya beberapa menit karena jemputannya yang lebih dulu datang," lanjut Dinda menunjukkan tulisan-tulisan pada catatan yang ia buat sendiri.

"Trus keesokan harinya, Mas Fajar ngaduin lu ke kantor polisi atas tuduhan pembunuhan yang lu sendiri gak tau kalau Mbak Seri udah mati."

"Aneh gak sih? Hanya dengan alasan lu yang paling terakhir berada di sana, lu jadi tersangka pembunuh. Di tambah, dia tahu darimana kalau itu pembunuhan? Di kantor pula? Polisi aja belum menentukan lokasi pembunuhan dimana tapi dia sudah menyimpulkan."

"Mas Fajar itu terlalu aneh dalam kasus ini, gue juga denger dari anak-anak semasa lu gak masuk. Mas Fajar sama Mas Dera sempat bertengkar sehari sebelum kejadian."

Zu yang tadinya tidak begitu fokus kini menoleh pada Dinda. Dia tidak tahu akan hal itu. Sebenarnya beberapa kali mencoba hubungan Mas Fajar dengan Mas Dera tapi dia terlalu sulit mendapatkan petunjuk karena anak-anak di kantor menjauhinya. Jangankan untuk bertanya, Zu mendekat saja mereka sudah menjauh.

"Karena itu gue juga yakin, kalau Mas Dera pasti ada hubungannya dengan ini. Walaupun hati gue masih berberat ke Mas Fajar."

"Pagi buta ke apartemen Mbak Seri dia mau ngapain? Coba pikir deh, Zu. Dan, secara misterius CCTV di setiap tempat itu hilang. Di apartement, di kamar mandi kantor."

"Gue juga bingung sih, Din. Gue gak bisa memutuskan itu hanya karena kecurigaan tanpa bukti, gak logis di mata hukum."

Dinda menghela napas kasar. Rasanya dia sudah suntuk memikirkan ini sejak beberapa hari yang lalu. Tapi tidak ada ide terang di dalam kepalanya.

"Tapi gue makasih banget, loh. Lu tuh baik banget sampe ikut mikirin itu." Zu berdiri dari tempat duduknya. "Lu mau makan apa? Biar gue masakin."

"Oooh," seru Dinda dengan senyum simpul. "Baik banget lu. Gak usah repot-repot deh, Zu. Gue mau steak tinderloin, medium rare, with barbeque sauce." Dia kini sudah berdiri di samping Zu memainkan kesepuluh jari tangannya.

"Cih, dasar, lu. Ngomong 'gak usah repot', tapi ngerepotin."

.

Seporsi steak disajikan di atas meja. Dinda terlihat menelan air liur saat menatapnya. Dari bentukannya saja, itu sudah terlihat begitu lezat. Warnanya kecoklatan yang tidak begitu nyata dengan tetesan minyak pada permukaan hingga menyentuh beberapa sudut piring putih yang dijadikan sebagai alasnya. Saos merah yang ditiriskan membentuk diagonal membuat menampilannya lebih mewah. Saat mulai diiris, cairan merah akan menetes dari dalam pori-pori dagingnya.

"Hmm, enak banget sih." Dinda mengangguk-anggukkan kepalanya, menikmati setiap kunyahan yang terasa meleleh di dalam mulut.

"Lu tuh emang ahlinya sih, Zu, dalam hal masak memasak. Walau ratenya tenderloin, tapi enggak ada bau amis atau anyir sama sekali."

"Kalau marinasinya bagus, hasilnya pasti bagus tanpa bau yang aneh," ucap Zu membereskan peralatan masak yang dia pakai sebelumnya. Dinda mengacungkan jempol. Dia masih takjub pada keterampilan memasak gadis itu.

"Eh, tapi btw, ini daging apa? Kayaknya bukan sapi, agak beda."

Zu berhenti sejenak. Membalikkan tubuhnya menoleh sekilas pada Dinda.

"Itu sapi, tapi memang lebih empuk, sapinya masih muda. Emang rasanya seaneh apa sih? Kayaknya semua daging sapi sama aja, paling teksturnya yang beda."

"Ini lebih manis, tapi gimana ya, candu kayak kopi." Zu terkekeh mendengar penuturan Dinda. Bagaimana bisa daging sapi disamakannya dengan kopi?

Balas tersenyum, Dinda menikmati steak rumahan rasa restoran bintang lima di hadapannya. Lidahnya terasa bergetar saat perlahan mengunyah dan menikmatinya, ada getaran manis, gurih saat dagingnya lumer di mulut yang menghilangkan percikan pahit di pangkal perasa.