“Aku dipanggil, aku dipanggi interview.”
“Nah kan. Aku yakin kamu pasti dipanggil. Nggak mungkin sutradara mengabaikan wajah dan tubuh seindah ini.”
Masih dengan mata berbinar, Debbie menanyai lagi dengan manja. “Memang menurutmu aku indah?”
“Ya.”
“Bo’ong.”
“Iya.”
“Taunya?”
Ditantang begitu Tito lantas menggerakkan telunjuknya. Ujung telunjuk itu menyentuh perut Debbie dan digeser naik hingga menyentuh dada dan berakhir di bawah leher. Setelah itu Tito mencicipi dengan memasukkan ujung jarinya tadi ke mulutnya, seolah baru saja mencolek sebuah kue tart.
“Lezaaat.”
Diperlakukan seperti sebuah ‘kue’ seperti itu tidak membuat Debbie tersinggung. Ia malah jadi mulai terangsang. Ia mendekat dan dengan lembut mengecup sekilas ujung mulut pria itu.
“Kamu selalu membuatku berharga, Tito. Mulutmu ini selalu membuat bangkit semangatku, dan karena itu kurasa kau pantas kuberi hadiah.”